Wah, mata saya kembali melek
di pagi hari yang mendung (hati saya).
Dahulu saya sangat rajin,
tetapi belakangan saya ialah kaum rebahan.
Tak tahu mengapa, menjadi malas menghadapi dunia.
Coba tebak, luka apa yang belum menghampiri saya?
Engkau pun tahu, satu luka saja bisa membunuh …
Apalagi banyak luka!
Eh, kok saya masih hidup?
Ah … entahlah!
Aneh sekali manusia yang dianggap sampah
seperti saya bisa terus berpijak di sini.
Ya … mungkin karena kuasa Tuhan.
Setiap pagi saya berusaha keras memegang
segelas air dengan tangan gemetaran.
Setengah mati saya berusaha meneguk
tetes tiap tetesnya tanpa tangis dan berkata,
“ayo minumlah!”
“ayo hiduplah! Mungkin ‘tuk satu hari lagi saja?”
“ayo lanjutkanlah perjuangan ini!”
Saya berusaha melonggarkan diri saya
bahwa dalam hidup ini saya tak perlu berlari,
cukup berjalan pelan dengan derap pasti
sembari menghitung nafas ‘tuk menjemput rasa lapang.
Satu … dua … tiga … empat …
Saya berusaha meyakinkan diri
bahwa sebentar lagi saya akan sampai!
Tapi ternyata …
Saya masih dalam perjalanan panjang.
Tetapi tak mengapa …
Ketika besoknya saya melek lagi,
saya akan meneguk teh manis,
kali saja perjalanan panjang ini berbuah manis.
Ya … kali saja …
kali saja … mana tahu.
Beginilah cara saya melewati hari-hari depresi.
02:24, Medan 03 Februari 2020