Damar berdiri membeku.
Di antara pepohonan gelap, sepasang mata merah itu tidak berkedip, menatap lurus ke arahnya. Nafasnya tercekat di tenggorokan.
Ia ingin berlari. Tapi kakinya seperti tertanam di tanah.

Liontin di tangannya semakin bergetar.
Dalam bisikan halus, liontin itu seolah membisikkan satu kata di dalam pikirannya:
"Jangan takut."

Dengan keberanian yang bahkan tidak ia mengerti dari mana datangnya, Damar melangkah maju. Sekali, dua kali. Mata merah itu bergerak, berkelip samar di antara kabut.

"A... apa kau yang memanggilku?" suara Damar gemetar.

Dari balik pepohonan, sosok kecil muncul. Bukan monster, bukan makhluk mengerikan seperti yang diceritakan orang-orang desa. Melainkan seorang gadis muda — kira-kira seusianya — dengan rambut panjang berwarna perak dan pakaian robek-robek.

Dia tampak ketakutan. Tapi matanya, meski merah, tidak memancarkan kebencian.

"Namaku... Lira," ucapnya lirih. "Aku butuh bantuanmu."

Damar tidak tahu harus berkata apa. Otaknya penuh pertanyaan. Siapa gadis ini? Kenapa dia di sini? Kenapa suaranya bisa masuk ke dalam mimpinya?

"Aku... terperangkap di sini," lanjut Lira. "Ada sesuatu... yang menjaga hutan ini. Aku tidak bisa pergi tanpa bantuanmu."

Tiba-tiba, tanah bergetar halus di bawah kaki mereka. Dari kejauhan, terdengar raungan panjang — dalam dan menggelegar — membuat seluruh hutan bergema.

"Dia datang," bisik Lira panik. "Kalau kita tidak cepat, kita berdua akan terjebak di sini... selamanya."

Tanpa menunggu jawaban, Lira menarik tangan Damar dan mulai berlari masuk lebih dalam ke dalam Hutan Kelam.
Damar tidak punya pilihan selain mengikutinya, liontin di tangannya bersinar semakin terang, menerangi jalan mereka di antara kegelapan.

Di belakang mereka, bayangan raksasa mulai mengejar — mata merah lainnya mulai bermunculan satu per satu dari balik pohon...