Read More >>"> Saat Aku Bersama Sarra
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Saat Aku Bersama Sarra
MENU
About Us  

Semua temanku terlihat bahagia, namun aku terlihat sebaliknya. Semuanya terlihat ceria dan banyak tertawa, namun aku terlihat sebaliknya. Matahari bersinar dengan cerah, namun rona wajahku terlihat sebaliknya. Tak cerah sama sekali wajah ini, justru terlihat pucat pasi. Tubuh ini benar-benar tak bisa diajak kompromi. Tak sedikit pun senyuman bisa terlukis di wajahku.

Disaat-saat menyenangkan seperti ini, aku malah terkena flu berat. Ingin rasanya aku berdiam diri di dalam kamar kos. Tidur nyenyak berselimutkan kain sarung serta jaket tebalku. Namun sayangnya, disaat badanku terasa remuk begini, aku malah terjebak dalam bus ber-AC yang dinginnya terasa menyiksa.

Kini aku terjebak dalam bus tujuan Pantai Pangandaran,Tasikmalaya. Terjebak? Ya, aku memang tak berniat ikut rombongan ini sama sekali. Keadaanlah yang memaksaku untuk ikut dalam trip tiga hari dua malam ini. Kami adalah rombongan dari Himpunan Mahasiswa yang ingin mengadakan liburan demi mempererat anggota tim. Aku yang memang sedang tak enak badan sejak kemarin terpaksa ikut karena kemarin sore aku tiba-tiba ditarik oleh sang ketua himpunan saat aku sedang dalam perjalanan pulang dari kampus ke kos-kosan. Memang aku sangat tahu betul tabiatnya, dia hanya ingin seluruh anggotanya ikut tanpa terkecuali. Dia ingin semua keluarganya di himpunan ikut merasakan bagaimana senangnya liburan di tengah aktivitas kami yang menggunung. Akan tetapi, bisakah ia mengerti bahwa aku ini sedang tak sehat? Tak lihatkah bahwa orang yang ia tarik ini berjalan lemas sambil sesekali menyeka hidung yang berair?

Seribu alasan aku utarakan, seribu penolakanlah jawabannya. Ia berpendapat bahwa liburan dan udara segar yang akan aku hirup nanti justru akan menyembuhkan penyakitku. Sudahlah, sulit untuk berdebat dengan perempuan kepala batu ini. Aku yang tak punya banyak tenaga akhirnya benar-benar ‘ditarik’ ke dalam bus. Aku hanya mematung dan memandang kaku teman-temanku saat pintu tertutup dan bus perlahan berjalan. Rekan-rekan himpunanku memandangku dengan tatapan mengasihani. Kami amat sangat hafal betul tabiat sang ketua, dan kami ‘harus’ maklum dengan sifatnya itu.

Beberapa detik kemudian, aku didudukkan di bangku nomor dua dari depan di baris kanan. Aku didorong olehnya hingga ke pojok sisi jendela, kemudian ia duduk dengan manis tepat disampingku dengan seringainya. Oh Tuhan.. punya dosa apa aku ini.

Oh iya! Aku ingat sesuatu.

“Sarra! Gawat, gua gak bawa apa-apa! Aduh!” ujarku kaget lalu berdiri sampai tak sengaja kepalaku membentur kabin bis yang rendah. Nyut nyut rasanya. Aku baru ingat bahwa aku tak membawa persiapan apa-apa untuk trip ini. Pakaian ganti dan kebutuhan lainnya sama sekali tak ada yang kubawa. Di dalam tasku hanya ada barang-barang untuk kuliah. Buku catatan, alat tulis, dan dua buah buku linguistik. Barang-barang tersebut tak berguna sama sekali disaat seperti ini.

“Wah, iya.. lu baru pulang kuliah tambahan ya tadi. Hehe. Yaudah sih lu cowok, kebutuhan lu gak ribet kayak cewek,” katanya dengan enteng seakan tak berdosa sama sekali.

“Eh, lu pikir cowok gak mandi, gak ganti baju, dan gak makan?!”

“Makanan ‘kan bisa beli nanti. Kalau lu ga mau pinjem baju ke temenlu, di Pangandaran juga pastinya banyak yang jual kaos dan celana murah. Kalau alat mandi pasti bisa pijem sama temen cowok lu ‘kan. Si Rico, Randi, Wahid, atau yang lainnya bisa tuh. Katanya anak organisasi, tapi gitu aja dibuat pusing,” ucapnya enteng.

Ia mungkin berpikir kalau ucapannya adalah suatu solusi cerdas yang bisa membuat semua masalah terselesaikan. Terbukti dari diriku yang tak membalas kata-katanya dan terlihat menerima begitu saja. Bukan. Aku bukannya menerima, aku hanya tak ingin berdebat dengannya karena semua yang berdebat dengannya akan dipaksa kalah. Daripada meributkan hal yang tak perlu diributkan, lebih baik aku diam saja dan seakan tak peduli akan kata-katanya.

Bagaimana ini, uang yang kubawa tak akan cukup untuk membeli baju dan makanan untuk tiga hari ke depan. Meminjam pada teman rasanya mustahil karena kami sama-sama anak kos yang biasa hanya membawa uang pas-pasan. Semoga di dekat pantai ada ATM. 

Setelah perjalanan yang menyiksa ini, kami sampai juga sekitar pukul sepuluh pagi di penginapan di sisi Pantai Pangandaran. Melihat dan mendengar debur ombaknya yang menakjubkan, laut yang terbentang luas, dan langit berwarna biru cerah tanpa awan telah membuat perasaanku sedikit membaik. Aku sangat menyukai langit biru cerah tanpa awan karena aku merasa seakan dunia ini benar-benar kosong tanpa beban, hanya ada aku dan angin yang menyejukkan. Suasana pantai pun tak begitu ramai, setidaknya aku bisa beristirahat di penginapan dengan tenang.

Menjelang sore, aku ingat sesuatu. Aku harus membeli baju ganti, rasanya tak tahan mencium bau badan sendiri. Karena demam, tubuhku banyak mengeluarkan keringat. Kupaksakan badan ini untuk bangkit dan dengan langkah yang tak begitu mantap, kaki ini bergerak juga untuk mencari ATM di sekitar penginapan. Letak penginapan kami memang agak jauh dari keramaian, pasti akan sulit untuk mencari ATM.

Aku berjalan dan berjalan, namun ATM sama sekali tak terlihat. Gawat. Aku sepertinya terpaksa harus meminjam uang dari Rico atau Wahid.

Eh? Dimana ini? Aku terlalu jauh berjalan. Suara riuh-rendah teman-teman sudah tak lagi terdengar. Sejenak aku berjalan menyusuri karang dan batu-batu pinggir pantai hingga menjelang senja.

BRUKKKK GEDEBUGG

Aduduhhh, punggungku sakit. Ternyata karang-karang tadi berlubang besar dan aku tergelincir rumput laut yang licin hingga jatuh ke bawah sini. Aku lihat ke asal dimana aku jatuh, rupanya lumayan tinggi sekitar hampir setinggi orang dewasa. Pantas rasanya sakit.

“Eh! Lu kejebak disini juga?” ujar seseorang yang suaranya tak asing. Siapa yang ada di dalam gua karang ini? Kuarahkan pandangan ke asal suara di pojok kanan. Rupanya dia. Dia lagi, dia lagi.

“Ya ampun Sarra, kok lu lagi sih? Disaat gue terjebak di tempat yang gak masuk akal gini kok ada lu juga? Kok elu lagii?” ucapku sambil mengucek kepalaku sendiri.

“Hee.. harusnya lu seneng lah. Berarti lu gak kejebak sendirian di tempat yang kata lu gak masuk akal ini. Yah sebenernya gue sih yang bersyukur. Udah dua jam gue kejebak sendirian di tempat ini. Gue bersyukur banget ada yang datang,” katanya dengan nada yang tak biasa. Ada getaran rasa takut yang sepertinya amat diusahakan untuk ditutupi.

Ia memang kepala batu dan menyebalkan, namun ia juga seorang perempuan biasa. Sarra memang tegas sebagai ketua dan sering bertindak seenaknya padaku, tapi ia bukanlah tokoh antagonis dalam cerita hidupku karena aku tahu hatinya amat baik. Ia hanyalah sesosok perempuan yang berusaha kuat karena mengemban amanah besar. Ada setumpuk beban dalam pundaknya yang harus ia tahan. Hanya saja, memang ia belum bisa mengendalikan sifat ke-ketua-annya. Ia masih sering bertindak sesuka hati pada rekannya. Walaupun itu untuk kebaikan kami juga, tapi kadang masih terkesan menyebalkan.

“Kita harus cari tahu gimana caranya keluar dari tempat gak masuk akal ini,” kataku.

“Harus banget ya, lu pake kata-kata ‘tempat gak masuk akal’? Tapi emang iya sih gak masuk akal. Gue gak nyangka kalau bakal jatuh ke tempat kayak gini. Kalau aja gue gak jalan-jalan buat nyari spot bagus untuk acara besok, pasti gue tetep ada di antara teman-teman sekarang. Gue nyesel punya rencana untuk main jauh dari penginapan. Pasti bahaya banget bawa kalian ke sekitar sini besok. Gue nyesel udah jalan ke sini,” ujarnya dengan nada menyesal. Aku benci itu.

“Seorang ketua gak boleh menyesal atas apa yang sudah ia lakukan demi kepentingan anggotanya karena setiap langkahnya pasti untuk kebaikan semua. Jatuhnya lu kesini bisa jadi sebagai tanda. Kalau lu gak jalan kesini berarti yang kena bahaya besok bisa aja teman kita yang lain dan bisa aja keadaannya lebih buruk dari kita. Tindakan lu tepat, kok. Kalau elu menyesal, gue menyesal udah jadi wakil lu,” kataku. Tak kusangka kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Ia menatapku kaget lalu tangis langsung pecah darinya. Apa ucapanku terlalu kasar? Aduh.

“Eh, maaf, Sar. Gue gak maksud marahin lu atau gimana. Gue cuma mau lu gak menyesal,” ucapku. Haduh,  jadi merasa bersalah.

“Bukan. Nangis ini bukan karena kata-kata lu. Jujur, gue cuma takut. Udah dua jam gue disini dan seakan gak ada jalan lagi buat keluar. Akhirnya gue cuma nunggu seseorang yang mungkin bakal datang. Tapi gue tetep takut, gimana kalau gue gak bisa keluar lagi sampai air bener-bener udah pasang dan akhirnya gue pulang ke rumah tinggal nama, hiks,” ucapnya dengan setengah terisak. Aku bingung mau berkata apa.

“Malu-maluin banget ya gue.”

“Ko gitu? Nggak Sar, perasaan takut lu tuh manusiawi banget ko,” urcapku berusaha menenangkan.

“Gue cuma ngerasa lemah aja. Selama ini gue selalu berusaha kuat, tapi justru gue juga bisa capek. Jujur, sebenernya gua masih lemah,” katanya putus-putus di sela tangisnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Aku mengerti kok, tanpa ia jelaskan pun. Akhirnya uneg-unegnya keluar juga dan sepertinya ia mulai tenang. Sarra berusaha keras berhenti menangis dengan menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Ia ulangi beberapa kali hingga tangisnya benar-benar berhenti.

“Gue ngerti banget ko. Lu pasti capek dengan segala tindakan lu. Setelah ini, lu gak perlu sok kuat atau gimana. Kalau lu takut, lu bilang takut. Kalau lu gak kuat akan sesuatu, ya bilang aja. Kita kan tim di himpunan. Lu ga sendiri, Sar. Se-enggaknya lu bisa ngomong ke gue. Gue jadi wakil yang payah kalau gak tahu gimana sebenernya perasaan ketuanya. Jadi, lu harus jujur ke gue ya,” kataku panjang lebar. Akhirnya uneg-unegku keluar juga. ini adalah kata-kata yang sudah lama ingin aku sampaikan padanya, tapi aku sungkan.

“Iya. Thanks, ya. Lu bener-bener udah nyadarin gue. Jadi ketua bukan berarti jadi yang paling kuat, tapi jadi yang paling bisa menguatkan. Dan gue juga butuh lu buat jadi tempat keluarnya uneg-uneg gue,” ucapnya sambil tersenyum dan aku pun membalas senyumannya. Dari sisa-sisa cahaya, aku bisa melihat matanya masih basah dan pipinya masih merah.

“Oh iya. Ayo cepat cari cara keluar. Baterai hp gue mulai habis, nanti gelap.”

Heh? Rupanya sejak tadi yang membuat gua ini cukup terang adalah senter dari smartphone-nya Sarra.

“Lu bawa hp? Kenapa gak menghubungi seseorang dari tadi?”

“Gak ada sinyal di bawah sini.”

Benar juga. Kurogoh saku celana dan kuambil smartphone-ku, ternyata baterainya habis. Aku putar otak dan akhirnya menemukan cara.

Batu-batu yang ada di gua karang ini bisa dikumpulkan untuk menjadi tangga. Namun, kami harus teliti dalam memilih batu karena jika salah ambil, satu batu saja dapat mencelakakan kami. Sarra membantuku menyusun dengan batu yang lebih ringan. Kami bahu-membahu menyusun batu hingga cukup tinggi. Namun, mendadak hp Sarra mati karena baterainya habis. Tak ada penerangan sama sekali selain cahaya mentari senja yang remang-remang. Sarra panik dan aku sudah tak bisa mengumpulkan batu lagi karena semakin gelap. Aku paksa Sarra untuk perlahan naik, namun ia masih belum bisa mencapai bibir gua. Ia masih perlu berjinjit untuk mencapainya dan ia tak berani. Sarra bilang kalau ia berjijjit, tangga batu ini tak akan kuat menahan bobot tubuhnya. Padahal aku rasa tangga batu buatan kami cukup kokoh, ia hanya merasa takut.

“Tutup mata lu lalu pikirkan apa yang bisa buat pikiranlu tenang. Habis itu, perlahan jinjit dan raih bibir gua. Nanti gue dorong lu dari bawah.”

“Gue ga bisa mikirin apa-apa. Gue takut.”

“Coba tutup mata dan bayangin apa aja yang lu suka dan bisa bikin hati lu tenang. Serius, cepetan! Air laut sudah mulai masuk lewat sela-sela dinding karang, Sar,” kataku dengan sedikit memaksa. Entah berapa lama lagi gua ini akan dipenuhi air dan aku tak ingin berada di sini sampai saat itu.

Perlahan ia berjinjit dan tangannya bisa meraih bibir gua. Sepertinya ia melakukan apa yang tadi aku katakan. Syukurlah. Kemudian aku dorong badannya hingga ia bisa keluar dari gua. Cukup sulit mengeluarkan orang dari bawah seperti ini. Setelah Sarra keluar, kupaksa badanku untuk keluar dengan menahan pada bibir gua. Akhirnya kami berdua berada di luar gua. Samar-samar, tampak muka Sarra yang amat lelah.

“Makasih ya,” ucapnya. Aku hanya menjawab dengan senyuman.

Langit tampak menggelap, hanya terlihat semburat jingga jauh di ujung barat. Laut tampak kelam dengan sedikit saja pantulan cahaya keemasan. Disertai pula dengan ombak ganas yang menghantam ujung karang, namun semuanya terlihat amat indah dan menenangkan.

“Oh iya, Sar. Kalau boleh tahu, tadi apa yang lu bayangkan sampai ngebuat lu tenang?” ujarku penasaran.

“Hem.. langit biru. Langit biru cerah tanpa awan dan gue memandang lagit itu dengan semilir angin yang lembut,” ucapnya tenang sambil menatap laut yang pekat. Wajahnya dipenuhi keringat, namun terpancar binar yang tak biasa. Akhirnya satu lagi hal yang aku pelajari darinya, Sarra menyukai apa yang aku suka. Lalu aku menyadari bahwa dunia dalam hatiku kini akan dipenuhi oleh dirinya.

 

 

Tags: drama

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Utha: Five Fairy Secret
15      7     0     
Fantasy
Karya Pertama! Seorang pria berumur 25 tahun pulang dari tempat kerjanya dan membeli sebuah novel otome yang sedang hits saat ini. Novel ini berjudul Five Fairy and Secret (FFS) memiliki tema game otome. Buku ini adalah volume terakhir dimana penulis sudah menegaskan novel ini tamat di buku ini. Hidup di bawah tekanan mencari uang, akhirnya ia meninggal di tahun 2017 karena tertabrak s...
dr. romance
732      433     3     
Short Story
melihat dan merasakan ucapan terimakasih yang tulus dari keluarga pasien karena berhasil menyelamatkan pasien.membuatnya bangga akan profesinya menjadi seorang dokter.
Lost Daddy
247      23     1     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
KESEMPATAN PERTAMA
310      250     4     
Short Story
Dan, hari ini berakhir dengan air mata. Namun, semua belum terlambat. Masih ada hari esok...
Rose The Valiant
49      12     0     
Mystery
Semua tidak baik-baik saja saat aku menemukan sejarah yang tidak ditulis.
Satu Nama untuk Ayahku
120      26     0     
Inspirational
Ayah...... Suatu saat nanti, jikapun kau tidak lagi dapat kulihat, semua akan baik-baik saja. Semua yang pernah baik-baik saja, akan kembali baik-baik saja. Dan aku akan baik-baik saja meski tanpamu.
Goresan Luka
437      365     10     
Short Story
Cerpen ini menceritakan tentang kisah nyata hidupku. Aku memiliki kakak yang mempunyai kecacatan mental yang bernama Ina. Meskipun mempunyai kekurangan, aku sangat menyayanginya. Aku sangat takut kehilangannya. Hingga pada suatu hari ia meninggalkanku ketika pulang les menari. Aku dan keluargaku benar-benar khawatir padanya. Akankah kak Ina dapat ditemukan? Akankah kak Ina benar-benar pergi menin...
Our Tears
5      1     0     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan
Mapel di Musim Gugur
5      5     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
CLBK: Cinta Lama Belum Kelar
39      13     0     
Romance
Tentang Edrea Lovata, yang masih terjebak cinta untuk Kaviar Putra Liandra, mantan kekasihnya semasa SMA yang masih belum padam. Keduanya dipertemukan kembali sebagai mahasiswa di fakultas yang sama. Satu tahun berlalu dengan begitu berat sejak mereka putus. Tampaknya, Semesta masih enggan untuk berhenti mempermainkan Rea. Kavi memang kembali muncul di hadapannya. Namun, dia tidak sendiri, ada...