Gadis kecil itu kini tertunduk lesu. Ia yang biasanya sangat semangat dan ceria, kini diam seribu bahasa saat harus menulis cerita mengenai ibunya. Ia masih terlalu kecil untuk mengingat banyak hal yang pernah dilakukannya bersama ibunya dulu.
“Aulia, kenapa melamun? Apakah tulisanmu sudah selesai?” Tanya gurunya sambil mendekat. Ia hanya tersenyum dan kembali berkutat pada pikiran juga tulisannya yang belum terisi sedikit pun. Guru itu hanya tersenyum dan mengelus pelan rambut lebatnya.
“Tulislah apa pun yang kau bisa, karena ibu yakin kau pasti punya banyak hal yang bisa disampaikan.” Lanjut guru itu lalu tersenyum dan beranjak meninggalkannya.
Gadis itu hanya diam, dan melihat sekelilingnya. Semua teman di kelasnya sedang bersemangat tanpa keraguan. Seketika memorinya berputar mengenang semua masa kecil yang bisa ia ingat hingga kini. Matanya berkaca-kaca saat menuliskan apa yang ia pikirkan, hingga tak sadar waktu sudah habis dan tulisannya sudah berakhir. Kini waktunya ia maju ke depan dan membacakan tulisannya ke seluruh penjuru ruangan.
Dengan suara bergetar ia memulai, “Namaku Aulia, ibulah yang memberikan nama ini untukku. Ibu bilang arti nama ini sangat bagus sesuai dengan harapan ibu agar aku menjadi cahaya bagi orang di sekelilingku. Ibu meninggal karena sakit dua tahun yang lalu, saat aku baru saja mendapatkan tambahan umur menjadi empat tahun. Tak banyak hal yang kuingat darinya, tapi yang pasti ibu adalah orang yang sangat baik, penyayang, perhatian, dan penuh canda. Saat aku akan tidur ibu akan membacakan berbagai cerita lucu yang sangat kusukai. Ibu tidak pernah marah saat aku menangis, dan ia selalu menemaniku ketika bermain. Aku sangat merindukannya, dan rasanya aku ingin membawanya kembali pulang kesini. Tapi ayah bilang, ibu sudah tenang di sana, dan tidak bisa dijemput lagi.” Ia berhenti sejenak untuk menghapus bulir air matanya yang menetes melewati pipinya.
“Walau begitu, aku tidak kesepian di sini. Ayah selalu menjagaku dan menyayangiku. Ia melakukan semuanya seperti ibu. Ia bahkan terkadang mencoba menceritakan cerita yang pernah ibu ceritakan padaku, dan dengan ekspresinya yang kaku itu, ceritanya tidak lagi terlihat lucu. Ibu memang sudah tidak ada, tapi kata ayah ibu bukan meninggalkanku melainkan menjagaku dari tempat yang tak terlihat. Dan apapun yang terjadi, ayah akan selalu bersamaku. Aku memang sangat merindukan ibu, tapi ada ayah yang sangat kusayangi disini yang terkadang juga menjadi seperti ibu. Aku tidak apa-apa sekarang, dan semoga suatu saat kita bertiga berkumpul bersama lagi.” Dengan tersendat-sendat ia mengakhiri kalimatnya disertai senyuman yang sangat manis. Semua orang di ruangan itu pun ikut terharu dan menepuk tangannya tanda kagum pada gadis kecil periang itu.
Sang guru mendekat lalu berkata, “Aulia, kamu adalah anak yang sangat baik. Aulia pasti akan selalu membanggakan kedua orangtuamu.” Gadis kecil itu hanya tersenyum dan mengangguk lalu kembali ke tempat duduknya.
***
“Assalamualaikum, Aulia pulang.” Ucap gadis kecil itu riang sambil melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Namun tidak ada jawaban, berarti ayahnya belum pulang.
Dengan tergesa ia mengganti pakaiannya dan berkeliling rumah mencari apa yang bisa ia lakukan sambil membawa tulisannya yang baru saja mendapat nilai besar dari gurunya. Ia ingin menunjukkannya pada ayahnya, saat ayahnya pulang nanti. Saat melihat setumpuk pakaian yang baru dicuci, terpikir olehnya untuk membantu ayahnya melakukan pekerjaan rumah. Ia menyalakan setrika dan mulai menggosok sebuah kemeja yang ia yakini pakaian ayahnya. Baru saja memulai kegiatan barunya, tiba-tiba terdengar suara salam, membuatnya bergegas menyambut kedatangan ayahnya. Ia lupa akan setrika yang masih mematung di atas pakaian yang sedang digosoknya.
“Ayah! Ayah sudah pulang!” Seru gadis kecil itu sambil berlari menghambur ke pelukan ayahnya.
“Aulia lagi apa tadi?” Tanya ayahnya sambil mengelus pelan rambut putri kesayangannya itu.
“Aulia lagi belajar menyetrika pakaian.” Jawabnya polos. Membuat ayahnya seketika terlihat tegang.
“Udah dimatikan setrikanya?” Tanyanya lagi sambil menatap lekat putrinya. Gadis kecil itu hanya menggeleng pelan. Seketika sang ayah berlari dan mendapati pakaiannya yang sudah hangus dan berlubang. Segera saja ia mematikannya dan meletakannya kembali ke tempatnya semula.
“Aulia, kalau kamu tidak bisa melakukannya jangan coba-coba! Ini pakaian yang dijahit ibumu, ini kesayangan ayah!” Ucap ayahnya marah lalu menggenggam erat kedua lengan putrinya yang mulai ketakutan.
“Maafin Aulia yah, Aulia gak tahu kalau bakal rusak. Maafin Aulia yah, Aulia gak sengaja.” Gadis itu hanya menunduk dengan tubuh gemetar ketakutan. Air mata yang berusaha ia tahan akhirnya jatuh saat melihat wajah murka ayahnya. Ia belum pernah melihat ayahnya semarah ini.
“Ayah kan udah pernah bilang, jangan mainan barang elektronik! Kamu harusnya nurut sama ayah!” Genggamannya di lengan gadis itu semakin kuat, bahkan mungkin membekas merah di lengan putrinya.
“Maaf yah, Aulia mau bantuin ayah. Aulia bukan mainin setrika.” Ucapnya pelan masih diiringi air mata tertahan. Sekilas sang ayah melihat sesuatu di belakang punggung putrinya. Saat ia lihat dengan jelas, ia dapati itu adalah sebuah kertas yang digenggam erat putrinya di balik tubuhnya. Genggaman tangannya melonggar dan akhirnya terlepas. Ia menggapai kertas itu dan mulai membacanya.
Kalimat demi kalimat ia telusuri. Hingga tak terasa matanya panas dan mulai berair. Ia melirik ke arah putri kecilnya, dan ia dapati tubuh yang masih bergetar dengan tangis yang mengalir tanpa suara. Ia sadar bahwa reaksinya tadi terlalu berlebihan, dan ia sangat menyesal.
“Nak, ayah takut kamu terluka juga. Lain kali kalau kamu mau belajar melakukan sesuatu, bilang pada ayah biar ayah yang ajarkan. Kalau kamu mau membantu ayah, cukup belajarlah yang rajin dan jangan jadi anak yang nakal.” Ucap ayahnya lembut lalu memeluk tubuh mungil putri kecilnya itu.
Gadis kecil itu tersenyum dalam aliran air matanya, sambil mengalungkan lengan mungilnya ke leher ayahnya. Ia sadar telah melakukan kesalahan dan berjanji dalam hatinya untuk tidak mengulanginya. Ia akan memenuhi harapan orangtuanya, dan menjadi sosok yang membanggakan.
"Maafin Aulia juga yah, Aulia janji akan jadi anak yang rajin dan penurut. Aulia gak akan nakal lagi. Aulia sayang ayah, Aulia gak mau ditinggalin ayah." Ucap gadia kecil itu dengan sesenggukan.
"Iya nak, ayah gak akan tinggalin Aulia. Ayah juga sangat menyayangi Aulia." Jawab ayahnya sambil memgelus pelan kepala putri mungilnya.
"Apa ibu sekarang melihat Aulia yah?" Dengan wajah polosnya ia menatap kedua mata ayahnya yang hanya dapat menjawab dengan anggukan kecil. "Kalau begitu, berarti ibu nanti akan melihat harapannya yang terkabul. Aulia akan menjadi cahaya untuk orang di sekeliling Aulia." lanjutnya dengan senyim lebar. Kinj ayahnya ikut tersenyum lebar dan memeluk erat putrinya penuh kehangatan.
-TAMAT-