Read More >>"> Shine a Light
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Shine a Light
MENU
About Us  

Disini memang bukan tempat anak seumuranku untuk menghabiskan waktu luangnya. Bukan juga ditemani dengan hal menyenangkan yang membuatmu tertawa riang bersama teman-teman sebayamu. Hanya duduk diantara bangku kayu panjang dengan orang-orang berpakaian formal yang berlalu lalang. Sedari tadi berkutat dengan pensil, mengoreskan kemanapun tangan ini melangkah. Sesekali aku tersenyum sendiri melihat apa yang kugambar, bukan gambar yang bisa mengejutkan berpuluh pasang mata memang, hanya gambar imajinasi remaja yang berada dalam  masa labil.

 

Seorang gadis cantik yang juga terlihat mengerikan dengan setangah badannya yang berbentuk menyerupai kuda terpatri di kertas itu. Yah gambar centaurs, tapi yang sedikit lebih feminim, dengan gaun atasan manisnya. Ini adalah gambar yang paling kusuka diantara ketiga gambaranku sebelumnya yang hancur berantakan. Yang ini menampilkan sosok yang kuat dan anggun disaat yang bersamaan.

“Kenapa senyum-senyum sendiri sedari tadi?”

 

Aku berhenti mengoreskan pensilku, menyisakan mahkota sang gadis dalam gambaranku yang belum terarsir sempurna. Disana di depanku, berbalut dengan kemeja kerja rapinya seseorang mencuri pandang pada kertas yang sedari tadi menjadi satu-satunya objek yang kugeluti. Matanya menyipit berusaha untuk melihat lebih jelas.

Aku tersenyum melihatnya, karena itu artinya aku akan punya teman bicara untuk beberapa saat kedepan.

“Cewek memang kelihatan cantik kalau sedang tersenyum, tapi kalau terlalu lama agaknya itu akan jadi mengerikan tahu tidak?” Katanya sambil mengankat sebelah alisnya.

Entah bodoh atau bagaimana aku malah tersenyum  makin lebar, “Baru tahu tuh, Pak Rafi.”

 “Rule number one.” Balasnya mengingatkan. Membuatku menghela napas pelan.

 

Rafi Ardiansyah masih berusia 23 tahun, berlum terlalu tua, baru lulus kuliah dua tahun yang lalu. Dan belum mau dipanggil bapak oleh orang yang bukan kliennya. Terlebih dengan bocah SMA yang lulus saja belum, seperti Vika Armilia Putri. Karena Rafi masih muda, masih keren, belum tua dan bergelambir. Belum cocok jadi bapak-bapak.

 

Aku memutar bola mata berlagak bosan mengingat aturan pertama yang pria itu buat sendiri dulu. Aturan yang mengharuskan aku menghilangkan kata ‘Pak’ padahal dia adalah rekan kerja ibuku, dan aku disini hanya remaja usia 17 tahun yang hobinya mencari pelarian ke tempat kerja ibunya setelah pulang sekolah, dengan alasan mengantarkan bekal makanan.

Kalau tidak memanggil Pak bagaimana memang? Dia kan rekan kerja sang Ibu.

“Jadi?” Tanyanya setelah tak mendapat respon dariku.

“Iya, Kak Rafi. Saya ingat aturannya.” Kataku penuh penekanan.

 

Kak Rafi tersenyum manis, tak tahu seberapa besar efeknya bagiku disini, pipiku rasanya memanas. Aku tak bermunafik, aku memang suka semua senyum dan kehangatannya, rasanya benar-benar tulus. Kak Rafi juga pernah menolongku dulu saat aku menimbulkan kericuhan di kantor ibu ini. Aku pernah tak sengaja memecahkan guci milik kantor dengan tongkat yang kupegang dan dia satu-satunya orang yang mau membelaku—Ibu saat itu ada meeting- Kak Rafi yang mengurusnya, dia yang menghentikan omelan dari Office Boy berwajah garang yang mencecarku. Menghindarkanku dari semua hal buruk yang siap datang sampai ibu datang. Bahkan ketika Ibu mulai mendelik murka, pria itu masih membantunya. Sejak itulah aku perlahan-lahan menyukai sosoknya, sosok tulusnya.

 

Bahkan bukan hanya sekali Kak Rafi membantuku. Ketika aku berkali-kali terjatuh ketika itu pula Kak Rafi membantuku berdiri, sembari berkata. “Tak papa pelan-pelan.”. Pria itu juga rasanya tak malu menyapa seorang anak nyasar sepertiku ini. Seperti saat ini ia yang duduk disebalahku, mengabaikan pandangan pegawai lainnya yang lewat. Sesekali Kak Rafi mengganguk memberi salam hormatnya.

“Nah, itu bagus. Kembali ke pertanyaan awal. Kenapa Vika tadi senyum-senyum sendiri?” Tanya Kak Rafi dengan nada polos yang terdengar mirip seperti anak paud.

 

Aku menunjukkan gambar Centaurs ku yang belum sepenuhnya jadi, mengankat alisku meminta pendapatnya. Kak Rafi mengusap dagunya berlagak seperti seorang kritikus yang siap dengan semua semburan opininya. Meneliti gambaran amatir itu dengan cermat, seolah itu adalah lukisan yang biasanya ada di pameran.

Dan saat matanya jatuh tepat di mataku dengan kilau beningnya, dia tersenyum kembali. Senyum yang selalu terlihat hangat itu selalu ada disana.

“Kalau menggambar itu yang rasional, Vika. Mentang-mentang lagi jamannya siluman, gambarnya juga siluman.”

Tapi pada dasarnya senyum itu memang bisa menipu, karena ucapan itu lebih tajam dari rajaman pisau. Aku menarik gambaranku yang ada di tangan Kak Rafi. Yang benar saja Centaurs adalah makhluk mitologi hebat malah disamakan dengan siluman, memangnya ini jaman kapan masih ada siluman?

“Sudah sana, kerja, jangan ganggu orang. Nanti di sembur Pak Bos besar.” Usirku.

“Sekarang jam istirahat. Pak bos lagi sibuk meeting sama semua ketua direksi. Anak kecil yang gak tahu, gak boleh sok tahu.” Katanya mengejek.

 

Diam-diam aku melirik arloji di pergelangan tanganku, untuk memastikan pukul berapa sekarang. Tapi buru-buru berlagak seperti seorang yang tak mendengar ocehannya. Ini memang waktunya istirahat. Pantas, Kak Rafi nekat duduk sambil mengobrak-abrik buku gambarku yang tergeletak tanpa keamanan di sampingku.

Aku pura-pura tak menghiraukannya, berkutat dengan centaursku, padahal tak tahu apa yang akan selanjutnya harus ku gambar.

“Mau keluar, cari pemandangan untuk di gambar?”

Aku mengangguk mengiyakan dan dibantu olehnya, kami mencari pemandangan bagus yang bisa kugambar.

 

******

Kau tak kan pernah tahu dengan siapa akan jatuh hati, tak akan pernah tahu batas apa yang akan  kau hadapi nanti. Hanya bisa menjalani untuk tahu jawaban di akhir.

Aku juga tak pernah tahu akan jatuh hati pada seorang yang enam tahun lebih tua dariku, tak pernah tahu akan jatuh hati dengan ketulusan murni seseorang, tak pernah tahu apakah boleh untuk bersikap seperti ini, tak pernah tahu apakah orang yang kusukai juga menyukaiku atau tidak. Aku tak tahu apa-apa.

Aku hanya dianggap adiknya mungkin? Tapi aku masih disini, melakukan apa yang ingin ku lakukan, berusaha datang mengantar bekal untuk ibu meski harus sedikit tertatih, dengan imbalan bisa sekedar menyapa seseorang yang kusukai. Mengasyikkan atau menyedihkan?

Tapi disinilah aku, ikut tertawa saat dia tertawa, sekalipun tak ada yang perlu ditertawakan. Ikut tersenyum saat dia tersenyum, sekalipun tak ada yang lucu.

 

Hidup memang selalu manis saat kau jatuh cinta, tapi kau tak pernah tahu, bagaimana perasaan orang lain terhadapmu, jika belum ada yang mengutarakan, dan itu yang menjadikan kita butuh harapan lebih. Bolehkan aku berharap?

 

******

“Mainlah bersama teman-temanmu, Vika.”

Aku mendongak menatap ibuku yang duduk disebelahku, bekal yang ku bawa ada di tangannya. Tak tersentuh sama sekali, kuletakkan pensil yang ada di tanganku. Menatapi ibuku, yang balik menatap.

“Mau sampai kapan kau ke kantor ibu terus begini?”

“Aku mengantar bekal ibu.”

“Ibu bisa membawanya dari rumah saat pagi, tak perlu diantar.” Ibu berkata.

Aku diam. Kurasa aku tahu kemana pembicaraan ini akan berlanjut, aku akan diam dan mendengarkan disini, ini bukan kuasaku.

“Tak perlu mengantarkan makanan untuk ibu, nanti kau lelah. dan akan lebih asik lagi kalau kau menggambar di rumah atau di tempat khursus. Kau juga jarang bermain bersama teman-temanmu.” Ujarnya padaku, aku hanya menunduk menatapi pensil yang ada di pangkuanku.

 

Aku tahu, tak seharusnya bermain di kantor perusahaan orang lain kecuali kau anak pemilik perusahaan  itu. Yah aku tahu, aku  sadar aku  hanya berusaha untuk tak tahu.

Tahukah Ibu kalau aku menguntit seseorang? Kak Rafi rekan kerjanya?

Ini cara ibu melarangku untuk datang ke kantornya lagi. Masih belum mengalihkan pandanganku aku bertanya. “Apa Ibu terkena masalah karenaku?”

“Tidak.”

“Oh, syukurlah. Oke, aku pulang sekarang. Besok-besok sepulang sekolah, Vika langsung pulang ke rumah kok gak ke kantor lagi.” Balasku. Aku tersenyum pada Ibu yang hanya memandangiku dalam diam

Aku tahu Ibu mungkin malu atau sedikit risih dengan semua tindakanku, maksudku aku hampir datang ke kantornya untuk mengantar bekal atas nama Ibuku. Dan aku sendiri malah berlama-lama disini hanya untuk sekedar melihat orang yang kusuka. Egois sekali.

Aku membenahi barang-barangku untuk segera pulang, lagipula mungkin aku bisa ke kantor ini sebulan sekali, entah dengan alasan apa lagi. Yang jelas tidak setiap hari seperti biasanya, semua juga butuh pengertian dan tahu diri untuk menempatkan dirinya berada dimana.

Ini bukan tempatku, dan kurasa aku harus mencari tempat yang lain. Entah itu dimana, tapi pasti akan kutemukan. Aku tak bisa disini dan terus berbuat seenaknya.

 

***​​​​​​​***

Sejak itu aku tak kembali ke kantor Ibu, tidak barang hanya sekali.

Move on, Barang  kali itu yang  ku lakukan. Harusnya mudah, tapi ternyata sulit.

Banyak yang bilang cara melupakan seseorang yang ampuh adalah mencari penggantinya, atau biarkan waktu menghapus sang kenangan. Tapi entahlah, tak pernah berhasil padaku. Rasanya terlalu hambar, tak seperti saat bersama Kak Rafi. Padahal sudah kuingatkan diriku berkali-kali bahwa Kak Rafi enam tahun lebih tua dariku, lagipula mana ada mereka yang dewasa suka dengan mereka yang masih bau kencur sepertiku. Terlebih seseorang itu adalah pria dengan kebaikan hati paling tinggi dan senyuman yang membuat siapapun ikut balik tersenyum. Sedangkan diriku ini?

 

Aku menghela nafas panjang, sambil menggoreskan goresan searah pada kertas gambarku. Entah apa yang ku gambar, hanya jalan setapak dengan satu pohon yang berguguran saja yang ada di gambaran itu.

Dulu aku menggambar di tempat kerja Ibuku, sekarang aku disini, menggambar di taman kota sambil ditemani oleh burung-burung yang beterbangan, candaan anak-anak kecil atau sekedar di temani oleh beberapa pengunjung lain yang duduk di bangku taman di sekitar.

Semakin lama gambaran ditanganku semakin tak beraturan, dan memilih untuk membalik buku sketsaku ke lembar yang baru. Mencoba menggoreskan gambar yang lain, terkadang dalam menggambar itu tak ada aturan, bahkan meskipun terlihat berantakan diawal belum tentu hasil akhirnya juga berantakan. Jadi aku tetap fokus menggambar sesukaku.

“Wow, masih suka menggambar?”

Sebuah suara disebelah mengagetkanku, suaranya aku kenal.

Aku menoleh untuk memastikan. Terlalu cepat hingga rasanya pusing. Disana seseorang yang sedari tadi ada di pikiranku, bersardar di bangku taman sebelahku sambil, melihat-lihat kertas gambar yang berceceran di sana.  Sekali-kali senyumnya mengembang, membuatku diam ditempat.

Tangannya dengan lihai membalik-balik kertas gambarku.

“Kau tahu, berbahaya ada ditempat umum sendiri dan tanpa kesadaran yang utuh.” Ujar Kak Rafi mengacak rambut hitamku.

 

Bolehkan ini disebut takdir Tuhan. Bahwa aku ingin bertemu dan dia datang, Aku mengatur detak jantungku, menormalkannya kembali di bawah kendali nafasku.

“Memangnya aku kesurupan, sampai kesadaran tak utuh?”

“Kalau kau sadar kau akan tahu kalau aku sudah memperhatikanmu sedari tadi dari kursi sebrang tepat di depanmu. Dan kalau kau sadar kau akan tahu kalau aku sudah disini duduk diam, menemanimu menggambar sendiri.” Iris keemasan itu memandangku. "Kalau kau sadar, kau akan tahu bahwa kau selama ini tak pernah benar-benar sendirian, Vika."

 

Aku masih memandangi paras tegas itu. Bolehkah aku berharap sekarang? Berharap pada seseorang satu-satunya yang masih mau melihatku layaknya manusia normal lainnya, tak menatap dengan tatapan merendah pada seseorang yang untuk berjalan tegak saja tak mampu. Berharap pada seseorang yang mau dengan tulusnya membantuku ketika aku tersandung bahkan terjatuh.

 

Bukan maksudku mengeluh pada keadaanku yang lumpuh pada kaki sebelah kananku. Tapi terkadang ketika seseorang peduli kepada seseorang sepertiku ada rasa tersendiri yang seolah ingin meyeruak keluar. Rasanya asing tapi begitu ingin terus ku rasakan. Ketika kebanyakan teman-temanku memandang merendah, mencoba membuatku terjatuh hanya untuk sebuah lelucon, atau malah memandangku jijik dan aneh. Pria ini sama sekali tak begitu.

 

Ya.. aku seseorang yang cacat ini menyukai pria dengan kebaikan hati disampingku ini.

“Ayo, ku antarkan pulang. Kau sudah lama berdiam disini”

Dan aku mengangguk sembari tersenyum meraih uluran tangan Kak Rafi. Aku tak butuh sesuatu yang mewah, karena hal-hal sekecil sebuah perhatian sudah terasa istimewa bagiku. Karena ia selalu bersinar dalam keremangan yang melingkupi.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 3 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Close My Eyes
2      2     0     
Short Story
Pertemuan 2 pasang insan atas sebuah kematian dari latar yang belakang berbeda
Tokoh Dalam Diary (Diary Jompi)
346      278     3     
Short Story
You have a Daily Note called Diary. This is my story of that thing
Cinta dibalik Kebohongan
4      4     0     
Short Story
Ketika waktu itu akan datang, saat itu kita akan tau bahwa perpisahan terjadi karena adanya sebuah pertemuan. Masa lalu bagian dari kita ,awal dari sebuah kisah, awal sebuah impian. Kisahku dan dirinya dimulai karena takdir ataukah kebohongan? Semua bermula di hari itu.
A Ghost Diary
6      2     0     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Waiting
3      3     0     
Short Story
Maukah kamu menungguku? -Tobi
TAKSA
2      2     0     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.
That Devil, I Love
43      8     0     
Romance
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Airin daripada dibenci oleh seseorang yang sangat dicintainya. Sembilan tahun lebih ia memendam rasa cinta, namun hanya dibalas dengan hinaan setiap harinya. Airin lelah, ia ingin melupakan cinta masalalunya. Seseorang yang tak disangka kemudian hadir dan menawarkan diri untuk membantu Airin melupakan cinta masa lalunya. Lalu apa yang akan dilakukan Airin ? B...
My Lovelly Doll
352      262     3     
Short Story
\"Diam dan memendam menunggu saat terbaik untuk menciptakan momen terindah.\"
Revealed
4      4     0     
Short Story
Pembunuh bayaran yang di tuduh melakukan pembunuhan yang tidak dia lakukan memutuskan untuk bekerja sama dengan detektif yang bertanggung jawab dengan kasus itu. Semuanya itu tidak dia lakukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk 'semuanya'.
Akhi Idaman
5      5     0     
Short Story
mencintai dengan mendoakan dan terus memantaskan diri adalah cara terbaik untuk menjadi akhi idaman.