Hai....
Belakangan aku sering muncul untuk memberikan prolog pembuka. Hahaha.... Tapi, aku merasa tidak enak jika jarang menyapa teman-teman -walaupun prologku ini akan dibaca atau tidak- itu tidak jadi masalah.
Kali ini aku ingin memberikan pengumuman. Atas banyaknya pembaca ceritaku ini, selama tiga hari ke depan Kala Senja akan update setiap hari Jadi, tunggu kelanjutan cerita abu-abu Tasya dan Davi ya!
Dan satu lagi, jika berkenan mampirlah ke ceritaku berjudul 'My X Idol' yang kubuat untuk mengikuti Tinlit Writing Marathon 2018, update setiap hari Selasa. Lalu jika teman-teman ada yang mengikuti kontes tersebut, silahkan komen judul ceritanya, nanti akan kubaca juga
Terimakasih dan salam hangat,
SR
.
.
.
.
Selesai sekolah hari itu, aku tak lantas pulang. Sebelumnya Davi meminta satu kelas untuk tidak pulang dulu karena ada yang ingin dibicarakan mengenai pensi nanti.
“Aku sama Tasya jadi perwakilan kelas buat panitia pensi, kalau ada yang mau ikut panitia juga bilang Tasya aja,” kata Davi. “Dan sisanya, bikin pertunjukkan buat tampil nanti. Minimal satu kelas satu grup, bebas kalian mau bikin pertunjukkan apa, kalau gak salah waktu yang dikasih buat tampil sekitar sepuluh menitan.”
“Oh gini aja, Dav. Aku yang koordinir kelas. Kamu sama Tasya tinggal tunggu beresnya aja. Nanti aku sama anak-anak rundingin mau gimana-gimananya,” kata Raka.
“Boleh juga, yang lain gimana?”
“Setuju!!!” ujar satu kelasku itu.
“Udah gih sana. Katanya masih ada rapat kan?” kata Raka.
“Kalau gitu kita duluan ya.”
Aku pun melambaikan tangan pada sahabat-sahabatku.
“Tasya! Salam buat Kak Edgar!” teriak Mia, yang tentu saja menjadi pemicu kericuhan di kelasku, lagi!
~KALA SENJA~
Rapat hari ini sebenarnya bukan rapat besar. Aku dan ke empat temanku yang berada di dalam divisi dekorasi sedang membahas mengenai konsep dan ide untuk mendekorasi acara pensi nanti. Tema yang di angkat adalah ‘Florist’. Kata Ketua Osis, unsur bunga harus lebih ditonjolkan di acara pensi nanti.
“Jadi kita buat ‘gapura selamat datang’ tapi dihias bunga-bunga kertas?” kataku.
“Iya, Sya. Aku sama Intan bisa bikin bunga kertas yang besar itu loh,” ujar Dewi.
“Aku nanti cari pola kelopak bunganya dan contoh bunganya,” kata Intan.
Intan dan Dewi adalah teman sekelasku saat kelas satu dulu.
“Boleh,” kataku.
“Aku sama Annisa boleh bikin origami kupu-kupu nggak Kak? Buat hiasan di sekitar pintu masuk,” kata Luna.
“Iya boleh juga. Nanti kalian tulis aja apa yang harus kita beli, biar aku bilang sama ketuanya,” kataku.
Aku ditunjuk sebagai koordinator untuk divisi dekorasi. Tugasku hanya mendengarkan ide-ide dari anggota dan menyetujuinya jika mereka sanggup mengerjakannya. Juga berkomunikasi dengan divisi lain atau ketua pelaksana pensi.
“Ciee…. Bilang aja mau ketemu Kak Edgar,” goda Dewi.
“Hah? apaan sih Dew, ada-ada aja kamu tuh,” kataku.
“Oh iya, Kak Tasya gimana sama Kak Edgar?” tanya Annisa.
Luna dan Annisa adalah anak kelas satu yang ikut kepanitiaan pensi. Mereka berdua juga termasuk saksi mata kejadian kemarin sore.
“Duh kalian nih mau gosip ya?” kataku.
“Nanya doang ih, Kak,” kata Annisa.
“Gak ada apa-apa kok,” kataku lagi.
“Habis kenapa divisi kita doang yang cepet banget bikin konsep. Kak Tasya langsung minta kita buat daftar barang-barang, biar apa coba? Biar cepet ngobrol sama Kak Edgar ya?”
“Nisa apaan sih.”
Benar sekali. Kenapa aku ditujuk menjadi koordinator dekorasi, sementara keadaannya barusan aku telat datang ke ruang Osis dan tidak tahu menahu tentang diskusi sebelumnya, karena disebabkan Kak Edgar adalah ketua pelaksana acara pensi. Otomatis pasti aku akan sering bertemu dengannya untuk membahas pekerjaan divisi dekorasi dan hal-hal lainnya. Ini seperti jebakan untukku.
“Kak, boleh pakai tanaman-tanaman yang pernah dibawa anak kelas satu nggak? Waktu itu kita disuruh bawa tanaman dan harus ngerawatnya di kelas. Boleh dipake buat hiasan di pinggir-pinggir lapangan?” tanya Luna yang tengah mencatat barang-barang yang kami perlukan nanti.
“Boleh-boleh aja kok,” jawab Intan. “Kita juga bikin tirai-tirai dari daun kering buat pintu masuk ke lapangan. Biar orang yang baru masuk gak langsung liat ke dalam lapangan. Gimana Sya?” tanya Intan.
“Boleh. Silahkan,” kataku menyetujuinya. “Tulisin aja apa yang harus di beli. Nanti aku yang bilang sama Kak Edgar.”
“Ciee….”
Dan cie kesekian kalinya itu kembali terdengar. Memangnya ada apa dengan hari ini? Semua orang begitu peduli dengan kejadian yang kualami kemarin, meski aku sendiri tidak terpengaruh dengan orang-orang disekitarku.
~KALA SENJA~
Aku mencari Kak Edgar yang ternyata sedang duduk di pinggir lapangan sore itu. Melihat Raka dan tim basket yang sedang latihan.
“Kak,” kataku memanggilnya.
“Eh Tasya,” kata Kak Edgar. “Ada apa?”
Aku akui Kak Edgar sangat ramah, seperti Davi.
“Ini, aku mau kasih list barang-barang dari anak dekor,” kataku memberikan selembar kertas yang ditulis Luna tadi.
“Oh boleh-boleh.”
Aku duduk di sampingya sambil menunggu Kak Edgar membaca satu per satu barang-barang yang kami perlukan.
“Udah ada konsepnya?” tanya Kak Edgar begitu ia selesai membaca kertas yang baru kuberikan itu.
“Udah Kak,” kataku dan selanjutnya menjelaskan konsep yang sempat aku diskusikan dengan anggotaku tadi.
“Aku suka kok. Bagus. Nanti gapuranya dibikin dari apa?”
“Eh iya ya.” Aku lupa menanyakan hal itu.
“Gimana kalau dari kardus bekas trus nanti ditumpuk?”
“Oh iya! Nanti aku bilang sama temen-temenku.”
“Hehe….”
Aku mengerutkan keningku. Heran dengan Kak Edgar yang tiba-tiba cengegesan itu.
“Oh maaf. Aku cuma seneng,” katanya.
“Seneng?” tanyaku membeo.
“Seneng bisa ngobrol santai sama kamu. Kemarin kamu kaget waktu aku nyamperin kamu dan bilang gitu. Maaf.”
Kali ini aku menjadi pihak yang merasa bersalah. Sebab, setelah Kak Edgar mengatakan suka padaku, aku kabur. Pergi begitu saja. Sejujurnya aku tidak tahu kenapa refleks kakiku yang memimpin kemarin, tapi aku kabur begitu saja.
“Aku yang harusnya minta maaf Kak. Malah kabur di situasi kayak gitu,” kataku.
Kak Edgar menggelengkan kepala. “Wajar kamu kabur, tiba-tiba ada orang asing muncul dan bilang suka.”
Aku tertawa canggung.
Kak Edgar menyentuh belakang kepalanya.
“Selama ini aku diam-diam merhatiin kamu, dan seneng banget waktu kamu ikut gabung jadi panitia,” kata Kak Edgar yang terdengar malu-malu.
Aku seperti sedang bercermin dengan diriku sendiri. Atau mungkin lebih tepatnya sedang melihat suatu sebab akibat. Sebab seseorang mengagumi diam-diam, dan akibat ketika perasaannya tidak lagi cukup untuk ditampung, lalu membucah dan dengan tegas ia menyatakan perasaannya pada orang lain.
Dan orang lain dari pernyataanku barusan adalah diriku sendiri, yang ternyata dikagumi diam-diam oleh Kak Edgar. Sungguh hubungan yang cukup rumit.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas