Kehadiran Davi yang tiba-tiba saat sekolah bubar, membuatku cukup terkejut dan menghampirinya tanpa embel-embel degup jantung yang berdetak hebat seperti biasanya. Memang ada yang berbeda dari Davi. Ia kini menggunakan busana bebas, tidak berseragam seperti aku atau yang lain. Davi menyapaku seperti tidak ada yang terjadi apa-apa diantara kami.
“Maafin aku,” kataku pada Davi dengan rasa cemas yang teramat sangat.
Kulihat Davi kebingungan. Ia menggaruk belakang kepalanya. “Tasya hobinya minta maaf?” tanya Davi hati-hati.
Dan kini aku yang kebingungan.
“Tiap Tasya nyamperin aku, selalu aja minta maaf. Kamu kan gak salah apa-apa,” kata Davi.
“Kamu di skors karena berantem sama Kak Rio kan?”
“Ya ampun, Sya. Kirain apaan.” Kudengar Davi begitu sampai menanggapi pertanyaanku. “Gak usah minta maaf kali.”
“Kalau aku gak bikin masalah, kamu gak akan di skors.”
“Kalau aku gak cari masalah, aku yang akan merasa bersalah.”
Aku menautkan alisku tak mengerti.
“Udahlah, Sya. Kenyataannya aku sendiri kan yang mukul Kak Rio. Bukan suruhan kamu. Aku juga gak bisa diem aja dong ada temen sekelas aku yang ditampar seenaknya sama orang lain.”
Detik itu, ada sedikit perasaanku yang menjabarkan ucapan Davi dengan berbeda. Rasanya, Davi seperti tengah membelaku dan hanya aku seorang saja. Dan menjadi orang spesial untuknya.
“Kamu ngapain disini?” suara lain mengalihkan perhatianku.
Kini, ada Mila di samping Davi. Ia terlihat tidak suka melihat keberadaanku.
“Gak apa-apa,” jawab Davi. “Katanya kamu mau cari buku-buku bekas?”
“Iya,” jawab Mila yang masih menatap ke arahku.
“Ya udah, yuk! Keburu sore,” kata Davi membuka pintu mobilnya. “Tasya duluan ya.”
Selanjutnya, Mila mengabaikanku dan masuk ke dalam mobil Davi. Aku tersenyum merespon ucapan Davi. Sebagian hatiku yang baru saja berharap tinggi itu, kini hancur berantakan menghujam tanah. Bahwa di samping Davi sudah berdiri seorang perempuan lain, yang akan dengan mudah memasuki pintu hati Davi.
Aku hanya si jago merenggangkan jarak yang semakin melebar.
Seseorang menepuk pundakku saat aku memandangi kepergian Davi. Kepergian ia kali ini seperti membawa luka.
“Cuma temen, tenang.” Prisil, orang yang menepukku tadi, mencoba menyemangatiku.
“Katanya mau nungguin Citra sama Mia ekskul Badminton?” tanyaku.
“Bosen. Liat kamu galau lebih rame,” goda Prisil.
“Ih, Sil. Jahat banget!”
“Hahaha. Habis kamu liatin Davinya gitu banget. Daripada kamu pulang terus nangis-nangis di kamar. Mending temenin aku liat Citra sama Mia. Pulangnya kita makan bakso Mas Ajo. Gimana?”
“Ya udah deh.”
“Yuk ke lapangan. Liatin mereka.”
Tak ada hal baik tentang cinta dalam bentuk diam-diam sepertiku. Ingin mengeluhpun pada siapa. Tapi perasaan tak bisa semudah itu dihilangkan. Sehingga, aku selalu berada pada konflik abadi, yang tak akan pernah menemukan titik terangnya.
Setelah berjam-jam aku menunggu Citra dan Mia ekskul. Kami berempat pergi ke warung Mas Ajo. Penjual bakso terenak se-Bandung, menurutku. Langganan kami berempat jika sedang ngidam bakso. Letaknya di belakang gedung sekolah ini.
Seringnya, mereka datang di saat aku butuh sandaran. Menemaniku dan memberi isyarat bahwa bahagia pun tak perlu sukar untuk mencarinya.
“Si Mila mah cuma pengurus Osis bagian apa ya?” Mia mengingat-ingat posisi Mila ketika ku bercerita kejadian tadi siang.
Mila menyuapi baksonya. “Duh, pokoknya yang ngurusin perpustakaan tuh bukan dia kok. Orang lain.”
“Dia mah ganjen. Kayak Davi mau sama dia aja,” komentar Citra sinis. “Tau gak? Waktu anak kelas satu sharing sama aku, mereka cerita katanya Mila judes. Gak mau di ajak sharing. Padahal dia Osis kan ya?”
Citra memang sangat membenci Mila, entah sebesar apa. Aku juga tidak begitu senang dengan perempuan itu. Mila kasar, dan mungkin memang tidak cocok berteman denganku.
“Ih si eta mah judes na kabina-bina,” komentar Mia dengan logat Sundanya. ‘Ih si dia juteknya gak kira-kira.’
“Iya sih. Tadi aja dia dorong aku sama Tasya waktu ngantri di kantin. Gak tau tempat emang tuh anak,” komentar Prisil.
“Kenapa jadi jelek-jelekin si Mila sih,” komentarku.
“Bodo! Ratu.Mila.Princessa,” ucap Mia mengolok-olok nama panjang Mila. “Karena namanya Ratu sih jadi berasa sok kuasa. Hahaha.”
Memang sudah kodrat perempuan bisa lupa waktu jika sedang kumpul-kumpul seperti ini, apalagi ditambah dengan membicarakan orang lain. Ya sudahlah, seperti lupa dengan alat penunjuk waktu bernama jam.
Prisil, Mia, dan Citra pulangnya satu arah, berbeda denganku. Ketika Prisil dan Mia ikut mobil Citra. Aku menunggu angkot yang lewat di depan gerbang sekolah meski hari semakin sore.
Tak ada angkot yang melintas sore itu. Bahkan kendaraan yang lewat pun terasa lenggang. Saat itu, dari jauh kulihat mobil yang cukup familiar melintas menuju ke arah tempatku berdiri. Mobil itu kini berhenti di depanku dan orang yang mengendarainya pun turun lalu berjalan ke arahku.
Wajahnya terlihat gelisah. Ia juga seperti sedang terburu-buru ketika menghampiriku.
“Tolong jangan ngerasa bersalah lagi. Kamu gak salah, Sya. Kalau kamu minta maaf terus, justru aku sendiri yang merasa bersalah,” kata Davi dengan nada memohon yang kentara.
Dan ekspresiku kini seperti batu. Diam tak bersuara, apalagi menanggapi ucapannya yang seperti tikungan tajam permainan roller coaster. Mengejutkan!
Banyak pertanyaan yang menghampiri kepalaku. Kenapa Davi ke sini? Dimana Mila? Lalu apa maksudnya menghampiriku dan mengatakan hal semacam itu? Dan, kenapa harus Davi yang merasa bersalah ketika aku justru penyebab semuanya?
Tapi urung kukatakan. Saat itu, bibirku kelu tak berfungsi normal seperti biasanya.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas