Di atas meja belajar Emily terdapat sebuah kotak besar berisi beberapa hadiah yang diberikan oleh para murid SMA yang baru sebulan lalu ia tinggalkan karena mengundurkan diri setelah menjabat sebagai guru Bahasa Inggris selama dua tahun penuh. Ia tersenyum melihatnya sembari mengingat betapa manisnya kejutan yang mereka berikan pada Sabtu malam itu seusai ia memimpin ibadah pemuda remaja di gerejanya. Ia mulai merindukan kebersamaan dengan mereka dan bagaimana mereka selalu menggodanya dengan pertanyaan kapan akan menikah dan siapa yang akan menjadi suaminya nanti. Ia duduk di atas ranjang lalu mengambil handphone dari dalam tasnya untuk menikmati foto dan video yang ia simpan sebagai kenangan selama ia menjadi guru dan wali kelas mereka.
Suara mamanya memanggil namanya membuyarkan momen itu. Emily segera bergerak menuju ke ruang makan dimana mamanya beserta papanya dan Samantha duduk.
Belum sampai Emily meletakan pantatnya di atas kursi, mamanya berkata, "Em, kita tuh dipanggil pelayanan sama temen gereja kita dulu. Tapi sayangnya om Budi nggak bisa bantuin nge-bass. Coba kamu bantuin cari ya." Dengan selesainya ucapan itu, ia pun duduk.
"Nanti aku tanya temen-temen gereja aja, ma." Emily meyakinkan mamanya, walaupun ia sendiri tidak yakin bahwa ada yang bisa membantu.
"Aku bantuin tanya sama temen gerejanya kak Matthew juga. Itu si Obed, papa mama inget kan? Yang ketemu di acara gereja tahun lalu itu loh--"
"Oh, yang brewokan? Yang papa kira udah punya anak itu?"
Mendengar ucapan papa, semuanya tertawa mengingat kejadian memalukan itu.
"Iya, yang itu. Nah dia kan bisa main bass." Samantha melanjutkan.
Mama kemudian menatap rahasia pada Emily, karena ia pernah menceritakan pada mamanya mengenai gerak gerik Obed yang memiliki perasaan padanya dan bahwa ia tidak menyukainya. Mereka seolah sedang berkomunikasi dalam bisu agar tidak perlu berkomentar mengenai hal ini.
"Ya udah, nggak papa. Kan bisa bantu pelayanan." Papa menyetujui.
Mereka berbincang-bincang mengenai banyak sekitar lima belas menit, kemudian papa dan Samantha pergi ke kamar masing-masing. Papa menonton TV sementara Samantha melakukan ritualnya setiap malam: mengobrol dengan kekasih lewat telepon. Sementara itu, mama dan Emily masih di tempat yang sama. Saat itulah Emily mengutarakan unek-uneknya yang ia tahan tadi.
"Ïya, mama tuh paham gimana perasaanmu. Tapi kan ini juga pelayanan aja. Kamu nggak boleh gitu," mama memberi wejangan kepada putrinya yang memang cukup unik jika sudah menyentuh area siapa yang menyukainya.
"Aku tuh heran ya, ma. Samantha sama Matthew tuh suka sengaja gitu jodoh-jodohin. Inget kan yang aku cerita pas ke gerejanya Matthew pertama kali itu? Ini tuh sama lagi. Males bener deh, ma."
"Tapi gini deh, Em. Kamu tuh udah umur dua lima loh. Kamu harus mulai terbuka sama laki-laki. Itu caranya supaya kamu ketemu jodohmu."
"Aku tahu, ma. Aku tuh nggak kaya dulu yang anti banget sama cowok. Cuman kalo yang ini, aku tuh, sori ya nggak maksud kasar, tapi nggak selera. Kan mama sendiri juga suka bilang, memperbaiki keturunan. Nah kalo yang ini nanti memperbaiki keturunan dari mananya coba?"
Mama kemudian terkikik sampai tak bisa berhenti mendengar ucapan putrinya itu.
"Yah gimana, orang si Anton disuruh ke Indonesia nggak dateng-dateng sih. Makanya jangan lah sama dia." Mama mengingatkan pada seorang pria berkebangsaan Australia dan tiga tahun lebih tua usianya, yang cukup dekat dengan Emily selama setahun ini.
Emily membuka kaleng roti dan mulai mengemil. "Aku tuh udah berdoa, ma. Dan percaya penuh lah sama Tuhan, kalo nggak akan lama lagi dateng tuh orang."
"Amen, amen. Semangat, nak!" ucap mama yang kemudian tertawa lagi karena dirinya terdengar lucu saat menyemangati putrinya dengan gaya anak muda. "Oh ya, Em. Itu siapa temen gereja kamu yang dari Medan?"
"Kak Ian?"
"Nah iya Ian, dia diajak sekalian aja untuk jadi WL sama kamu sama Samantha." Mama mengusulkan. [*WL: Worship Leader, pemimpin pujian gereja]
Emily mengangguk, lalu menelan kunyahan roti di mulutnya sebelum berkata, "Iya, nanti aku hubungin, ma. Paling dia langsung mau. Orang dia seneng pelayanan."
"Bagus lah. Ya udah, tidur yuk, Em. Mama ngantuk banget." Mama menguap, menyokong pernyataannya.
"Mama aja duluan. Aku masih mau ngemil," ucap Emily lalu tertawa.
~t~
Tepat dua hari sebelum hari Sabtu, 12 Agustus 2017 yang adalah hari H, Emily mendapat kabar bahwa Ian terkena penyakit kulit sehingga ia membatalkan keikutsertaannya. Kabar itu cukup mengecewakan. Namun untung saja setelah seminggu penuh ia dan Samantha berusaha mendapatkan pemain bass, akhirnya terpilih seorang kandidat. Emily agak merasa was-was jika akan bertambah kecewa saat mendengar pemain bass yang didapat Samantha, tetapi pada akhirnya merasa lega saat mama bertanya siapa orangnya.
"Jeremy namanya, ma," jawab Samantha.
Setidaknya bukan seseorang yang mengejar-ngejar dirinya, begitulah yang Emily pikirkan. Ia kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya berberes baju yang akan dibawa siang ini ke lokasi gereja teman papa mamanya di luar kota.
Suara laki-laki yang bukan milik papanya terdengar di sampai ke dalam kamar Emily. Samantha kemudian berseru memberitahu bahwa Matthew dan Jeremy sudah datang. Mama kemudian mendatangi Emily dan menyuruhnya keluar untuk bergabung dengan mereka. Patuh pada perintah, ia pun menuju ke ruang makan karena mama langsung menyuruh mereka makan siang lebih dulu sebelum berangkat.
Mendapati sosok yang pernah berkomunikasi sejenak saja dengannya, Emily merasakan sesuatu yang aneh dengan dirinya. Namun ia tidak mengetahui apa itu sehingga ia menghiraukannya. "Silakan makan." Ia membagikan piring yang sudah ditata di atas meja makan ke hadapan Samantha, Matthew, Jeremy dan dirinya sendiri. "Nasi sama lauk ambil sendiri ya." Ia kemudian duduk, menunggu giliran untuk mengambil makanan.
Samantha mengambilkan seporsi makanan untuk Matthew sebelum mengambil untuk dirinya sendiri. Katanya, ia belajar melayani jika suatu kali nanti menjadi suaminya, ia akan terbiasa. Emily mempersilakan Jeremy untuk mengambil lebih dulu, tetapi lelaki itu mempersilakannya lebih dulu.
"Ini kalau nasinya habis gimana, yah?" ucap Jeremy bergurau.
"Nggak papa, kak. Kata mama dihabisin aja kok." Samanta memberitahu. "Santai aja."
Mama kemudian muncul dari dalam kamarnya dan berjalan melewati ruang makan.
"Tante," Matthew hendak beranjak dari kursi tetapi mama menahannya.
"Nggak papa. Santai aja. Makan semua ya. Dihabiskan. Itu sambel yang tante bikin juga. Enak itu," ucap mama memuji karyanya sendiri.
"Wah, ini nanti pasti habis ludes, tante. Saya suka pedes soalnya." Jeremy pun menyahut.
Mama tersenyum. "Bagus itu. Silakan dilanjut. Tante cuma lewat kok," katanya kemudian kembali lagi ke dalam kamar.
Seperti mengikuti perintah mama, Jeremy pun memenuhi piringnya dengan tumpukan nasi yang tidak wajar, diolesi dengan sambal sehingga warna putih nasi hampir-hampir tidak terlihat lagi. Sebagai penyempurna, isi sup tanpa kuahnya menghiasi di permukaan. Tidak seperti Samantha dan Matthew yang terbiasa melihat porsi sebanyak itu, Emily menelan ludahnya tak percaya lelaki yang duduk berseberangan dengannya itu memiliki porsi makan seperti monster.
"Jangan heran, Em. Orang luar Jawa emang kalo makan yah sebanyak itu. Pake sambel juga gitu banyak." Matthew menangkap ekspresi Emily dan memberikan komentar.
Emily sedikit merasa tidak enak karena ketahuan. "Oh, hehe," ia menyeringai tak berdosa.
"AH-IR!" Jeremy terbatuk tapi menyampaikan pesan tersembunyi.
Emily langsung mengerti apa maksudnya. Ia tertawa kecil kemudian berdiri mengambilkan air minum, bukan hanya untuk Jeremy yang memintanya, tetapi juga untuk Matthew, Samantha dan dirinya.
"Maaf ya, emang kalo di daerahku, orang kalo berkunjung ke rumah temen dan nggak dikasi suguhan apapun, cara mintanya model begitu." Jeremy menjelaskan agar tidak sampai menimbulkan salah paham.
Emily lagi-lagi hanya menanggapi dengan 'oh' singkat. Begitu pula di sepanjang makan siang mereka saling mengobrol, kecuali Emily yang lebih banyak mendengar atau tertawa karena cerita-cerita lucu yang Jeremy ceritakan.
Selesai makan siang, keempatnya bersiap untuk pergi. Emily dan Samantha mengambil tas mereka dari dalam kamar lalu berpamitan dengan kedua orang tuanya yang akan menyusul nanti malam karena harus menghadiri undangan pernikahan teman kantor papa lebih dulu. Papa dan mama pun akhirnya bersama-sama keluar dari dalam kamar sehingga Matthew dan Jeremy juga dapat berpamitan. Lalu kunci mobil pinjaman dari kantor papa pun diberikan kepada Matthew yang akan menyetir.
Lucu bangeeeett! Tapi jangan lupa ya, Em, jodoh itu nggak cuma dicari tapi juga dibentuk. Ihiy~
Comment on chapter Sogae