"Jangan pikir dengan lo nyetak skor di saat-saat terakhir kayak kemarin, lo udah ngalahin gue."
Aku yang saat itu tengah mengikat tali sepatu kets-ku mendongak. Tubuhku menegak hingga dapat melihat Gita yang saat ini bersedekap. Punggungnya bersandar pada dinding yang memisahkan ruang ganti dan kamar mandi.
Di wajahnya, gurat-gurat kebencian tak mampu ia sembunyikan meski gadis itu mencoba tersenyum sekalipun.
"Gue masih ketua AGT meskipun gue ditarik keluar di saat-saat terakhir."
Sudut bibirku melengkung ke atas. "Gue tau kok. Lo jangan khawatir karna gue nggak berniat ngerebut jabatan ketua lo itu. Gue lebih tertarik dengan hal yang lebih besar dibanding Ketua AGT."
Kulihat wajah Gita memerah. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. Sedang manik coklat gelapnya memandangku dalam, seakan ia bisa membuat lubang di antara tubuhku.
Gita pasti marah karna aku menganggap remeh jabatannya. Meskipun aku tahu harusnya aku tidak melakukannya, tapi egoku menang. Aku ingin menunjukkan pada Gita bahwa jabatan Ketua AGT bukanlah sesuatu cukup besar untuk kupertaruhkan. Aku menginginkan posisi di dalam IBL. Dan yang perlu kulakukan hanyalah menunjukkan pada pelatih bahwa aku mampu mengimbangi kemampuan Gita yang terbilang mengangumkan.
"Menyelamatkan AGT sekali ini nggak akan ngerubah banyak hal, Mikayla. Couch bakal milih gue karna tau gue cukup pantas ada di antara mereka."
"Dan jangan lupa kalau menjadi Ketua AGT bukan berarti lo bisa ngeremehin anggota yang lain. Kita punya kesempatan yang sama, Gita."
Aku berdecak kemudian bangkit. Begitu juga yang dilakukan Gita hingga kini kami saling berhadapan dengan jarak yang begitu dekat.
Kurasakan atmosfer di sekitar kami meningkat tajam. Beberapa anak yang semula masih ada di sekitar kami berangsur pergi, memberi kami ruang lebih untuk berdiskusi. Jika ini bisa dikatakan diskusi tentu saja.
"Denger ya, Mik, lo tau basket Alamanda itu nggak cukup diperhitungkan buat masuk IBL. Tapi lo tau, couch bilang satu yang terbaik dari kita bakal masuk, dan lo harus tau kalau orang itu adalah gue. Jadi gue peringati elo buat jaga sikap di depan anak-anak dan Couch."
Aku terdiam dengan kedua tanganku terlipat di depan dada. Gadis itu menatapku sekali lagi sebelum berbalik dan hilang di balik pintu.
"Oh ya satu lagi, jangan lupain kalau lo masuk AGT karna Brian ngeyakinin Kepala Sekolah buat masukin elo di tim basket. Brian udah gila karna suka sama cewek sejenis elo tau."
Aku menaikkan sebelah alisku. "Val temen gue."
Kulihat gadis itu menyeringai. "Berani taruhan kalau Brian naksir elo?"
Sinar mataku meredup, tertutup oleh kemelut perasaan yang tiba-tiba menguasai diriku. Namun tidak! Aku percaya bahwa aku bisa. Gita hanya ketakutan karna aku bisa saja merebut apa yang ia pikir akan menjadi miliknya. Dan dia salah. Aku tidak merebut apapun darinya. Yang saat ini kulakukan adalah mengusahakan apa yang kutahu bisa kumiliki di masa depan.
Aku tahu Alamanda tidak cukup hebat untuk bisa memperebutkan kursi IBL, tapi aku tahu kami bisa memperbaikinya. Cukup lama aku mematung di sana sebelum pikiranku mencerna kalimat terakhir Gita. Bagaimana jika benar Val melakukan hal itu? Dan yang gadis itu bilang bahwa Val menyukaiku?
Aku memijat keningku yang tiba-tiba pening. Val tidak bisa menyukaiku. Perasaan itu hanya akan membuat kami hancur perlahan-lahan. Aku berjalan ke sana-ke mari sambil mengibas-ngibaskan tanganku.
Namun, tak lama kemudian aku menertawakan diriku sendiri. Tentu saja Val menyukaiku. Pemuda tampan itu menyukai hampir semua gadis cantik di Alamanda. Jadi, aku pasti hanya satu di antaranya. Ya, kurasa begitu.
***
Aku menghempaskan pantatku pada kursi di depan Val. Pemuda itu mendongak cepat, begitu juga beberapa teman sekelasnya yang ada di sana. Melirik sekilas ke arah segerombolan pemuda di sudut ruangan, aku merasakan daguku ditarik ke samping. Iris coklat gelapku dan Val saling memandang satu sama lain.
"Lo ngapain ke sini? Mo PDKT sama Bimo?" tanyanya yang sukses membuat mulutku mengeluarkan suara aneh.
Ia tampak memutar bola matanya jengah. "Mikayla!"
Aku meringis ke arahnya. "Ada yang mau gue omongin sama lo."
"Oh. Ngomong apa?" Val menurunkan tangannya sebelum menutup buku kimia yang sejak tadi bertengger manis di atas meja.
Ini saatnya. Meskipun aku tidak yakin dengan pernyataan Gita, tapi tetap saja kalimat itu sukses membuatku pusing seharian. Tapi apa iya Val....
"La?"
Kurasakan sentuhan jemari Val di pundakku. Pemuda itu mengamati wajahku intens hingga membuat tubuhku menggigil tidak wajar.
Aku mengerutkan keningku dalam lantas menepis tangan Val pelan. "Gue cuma mau nanya ... apa bener lo yang masukin gue ke tim basket dulu?"
Val tampak terkejut. Punggungnya ia tegakkan, sementara tangannya saling terkait. Ia berdeham kemudian berujar, "Ya, lo tau...."
Alisku terangkat naik, Val seolah kesulitan mengungkapkan hal ini. Dan itu membuatku kesal tentu saja.
"So...."
Pemuda itu menghembuskan napas panjang. "Ya, officially gue cuma bantu ngomong sama Pak Danang buat mempertimbangin elo masuk tim basket. Tapi cuma sebatas itu. Soal masuk enggaknya elo, itu keputusan Pak Danang dan Pak Jer."
"Dan, kenapa lo ngelakuin itu? Maksud gue bilang ke Pak Danang," cecarku.
Val tersenyum miring. "Apa salah gue ngelakuin itu? Lo itu orang yang deket sama gue, jadi, gue bakal pastiin elo seneng."
"Lo tau gue nggak mau bergantung sama siapapun, 'kan? Gue nggak usah punya hutang."
Mendengar itu kening Val berkerut hingga nyaris menyatu. Pemuda itu mengusap dagunya pelan sementara matanya berotasi ke setiap sudut kelas.
Aku menunggu dengan tidak sabar. Setelah beberapa waktu berselang, Val menatapku dengan senyum sejuta umatnya. Dan percayalah, aku benar-benar tidak menyukai itu.
"Gimana kalau kita buat kesepakatan?"
"Kesepakatan apa?" tanyaku cepat.
"Woah, sabar, Non," –ia berdeham sambil mendorong tubuhnya ke arahku–"bukan sekarang, tapi nanti."
Indra penciumanku membaui parfum Val yang menyengat saking dekatnya tubuh kami saat ini. Apa yang tengah Val rencanakan?
"Lo mau ngerjain gue ya?" tuduhku padanya.
Ia hanya tertawa.
"So ... lo takut?"
Lidahku kelu. Val suka sekali bermain rupanya.
"Of course not. Jangan panggil gue Kyla kalau gue takut sama tantangan lo," ucapku penuh ketegasan.
Ia menyeringai. "Bagus. Tapi lo tenang aja, La, gue nggak berniat ngerjain elo kok."
Sekali lagi aku menatap Val tanpa ekspresi. Tak lama kemudian, bell masuk berdentang. Aku berdiri, merapikan seragamku seraya berkata, "Apapun itu percaya sama gue, kalau gue bisa lakuin diluar dugaan elo, Rivaldo."
Saat ini aku mengatakannya dengan kepercayaan diri penuh. Tidak ada yang kutakutkan. Otakku telah menggumamkan kalimat itu berkali-kali. Dan aku tidak punya alasan untuk mengkhawatirkannya.
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2