“Kamu nggak apa-apa, kan?”
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa, Dazel. Terima kasih telah bertanya.”
Panggilan masuk itu datang dari Dazel. Entah masih berapa menit yang lalu kami berpisah, tetapi rasanya dia selalu terlalu jauh jika sudah menelepon begini. Apalagi jika tujuannya menelepon adalah untuk memastikan aku masih baik-baik saja, rasanya aku tidak ingin berpisah sedetikpun dengannya. Semua yang berlebihan memang tidaklah baik, pun dengan mencintainya dengan seberlebihan ini; aku tahu. Tetapi aku lebih tidak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya.
“Aku baru sadar waktu nyampe rumah,” Dazel masih bersuara di balik sana. “Seharusnya tadi aku ngajak kamu muter-muter dulu, ya?”
Aku tertawa. “Ngapain? Panas banget diluar, Dazel. Nanti kamu jadi item loh kalau ngajak aku muter-muter dulu.”
“Harusnya aku yang bilang gitu,” ia mulai terkekeh. “Kamu kali yang takut item?”
“Enggak,” balasku sambil membanting tubuhku di atas ranjang. “Kamu belum ganti baju, kan? Ya udah sana!”
“Kamu nggak kangen gitu sama aku?”
“Ya ampun, Dazel!” aku menutup mulutku untuk membungkam tawa yang lepas. “Kita baru pisah berapa menit, sih?”
“Tapi kenapa aku udah kangen, ya?”
“Besok kita masih ketemu, kok.”
“Aku lebay, ya?”
“Dikit.”
“Kok gitu sih?”
Aku tertawa lagi. “Habisnya, kamu posesif.”
“Aku cuma kangen, La, bukan posesif.”
“Ya udah iya,” aku tersenyum. “Kamu nggak posesif, deh.”
“Gitu banget sih La,” aku bisa mendengar Dazel terkekeh. “Ya udah, nanti disambung lagi, ya? Aku cuma memastikan kalau kamu baik-baik aja.”
”Thank you, Dazel.”
“Okay. Nanti lagi, ya. Bye, Lula.”
“Bye, Dazel.”
Mustahil dua orang remaja SMA yang sedang cinta-cintanya bisa berpisah dalam jangka waktu yang lama, jika masih dalam hitungan sepersekian menit saja rasanya sudah terlalu panjang. Ya, begitulah. Definisi bahagia yang terlalu sederhana bagi sepasang remaja yang baru saja belajar untuk menjadi lebih baik dalam mencintai satu sama lain.
Sembari bersiap untuk membaringkan diri menikmati tidur siang, akan kuceritakan sekilas tentang Dazel Dearrel Augustaf, lelaki yang mampu mencuri semua jatah jatuh cintaku pada seseorang, dan dengan rakusnya dia miliki semua itu hanya untuk dirinya seorang. Akan kuceritakan sekilas tentang Dazel, lelaki yang membuat hatiku begitu kelaparan untuk melahap semua bentuk kasih sayang darinya.
Dazel Dearrel Augustaf. Postur tubuhnya yang ramping—jika tidak ingin kusebut kurus—dengan wajah super baby face yang memenuhi standar ketampanan lelaki diatas rata-rata, adalah seorang yang sebenarnya tidak terlalu banyak bicara. Seperti kebanyakan lelaki pada umumnya, Dazel simpel saja. Dia mengatakan apa yang ingin disampaikan, tidak terlalu suka banyak basa-basi ketika berbincang-bincang dengan seseorang, dan tentu saja dia termasuk dalam kategori siswa yang pandai.
Dazel ahli di bidang eksakta, khususnya Matematika, pelajaran yang sangat kubenci di dunia ini. Jika kamu pernah merasa penasaran apakah aku dan Dazel selalu sepaham dan sehati, jawabannya tidak. Kami berbeda dalam banyak hal. Dazel adalah sosok yang cukup pendiam; yang akan berbicara jika dibutuhkan ketika bertemu dengan orang-orang baru, tetapi aku sebaliknya. Ibaratnya, Dazel adalah seorang intorvert yang handal, sedangkan aku adalah ekstrovertnya. Perbedaan kepribadian kami yang begitu kentara sempat membuat beberapa teman merasa iri; mereka bilang kami bisa begitu saling melengkapi masing-masing.
Dazel menyukai bola, dan aku menyukai sastra. Dia menyukai semua hal tentang hitung-menghitung dan penggunaan aplikasi rumus, tetapi aku menyukai mata pelajaran yang menggunakan bahasa sebagai kemampuan dasarnya. Jika Dazel lebih suka menonton film, maka aku lebih suka membaca novelnya. Dan ketika Dazel selalu tenang menghadapi konflik, maka aku adalah yang paling berapi-api merespon berbagai bentuk masalah.
Tidak ada satu hal pun yang sama diantara kami; tetapi Dazel terlihat begitu fleksibel mengikuti iramaku. Ketika aku mengatakan bahwa aku adalah penggemar berat dari UNGU band, maka ia akan mulai mendengarkan lagu-lagunya yang sedang hits. Pernah pada suatu hari ketika Dazel sedang sibuk belajar, dia menyempatkan diri mengirimiku sebuah pesan pendek hanya untuk mengatakan bahwa Pasha dkk sedang tampil di channel televisi swasta.
“Lula, di Semar TV ada UNGU!”
“Lula, tadi di Konser Kemilau RI TV ada Pasha!”
“Lula, kamu lihat UNGU, kan? Bentar lagi selesai loh acaranya!”
Dia tidak pernah ingin ketinggalan menjadi pemberi informasi utama tentang penayangan konser UNGU, meskipun lelaki itu benar-benar mengakui bahwa ia sangat cemburu dengan Pasha UNGU, hanya karena aku adalah fans berat vokalis itu.
“Kalau aku sama Pasha, kamu pilih siapa?” tanyanya usil waktu itu, sepulang sekolah setelah kami membahas banyak hal yang terjadi seharian di kelas masing-masing.
“Hahaha kok nanya gitu, sih? Kan aku nggak bisa pilih. Aku juga suka sama Pasha UNGU!” tawaku meledak, merasa geli dengan pertanyaan Dazel yang tiba-tiba.
“Tapi kan yang pacarmu itu aku, bukan Pasha.”
“Oh, jadi kamu cemburu sama Pasha UNGU?” tanyaku geli. Yang benar saja! Dazel memang tipikal lelaki yang aneh; seorang pacar yang posesifnya tidak bisa dinalar, meskipun aku merasa dia sangat lucu.
“Kalau aku sama Pasha, ganteng mana?”
Aku benar-benar tertawa kala itu. “Sama-sama ganteng, kok. Sama-sama punyaku dua-duanya.” kemudian kami tergelak bersama, saling menertawakan masing-masing.
Begitulah Dazel, ia selalu punya cara-cara unik untuk membuatku semakin mencintainya. Sama halnya ketika aku mengatakan bahwa aku suka sekali menulis cerita; maka ia akan menjadi orang paling bersemangat untuk menjadi pembaca perdana cerita-ceritaku. Padahal, dia tidak pernah suka membaca karya fiksi, termasuk cerpen. Meskipun ia hanya menyempatkan diri untuk membaca ceritaku, bukan membaca buku yang lainnya, tetap saja dia mulai membiasakan diri untuk menyenangi apa yang kusuka.
Sepertinya, kesukaanku adalah yang terpenting baginya.
Sama seperti bagaimana baiknya dia menjadi seorang pendukung utama atas mimpiku menjadi seorang penulis, ia selalu tahu caranya membuat seorang gadis merasa begitu diinginkan.
Dazel sederhana saja. Dia tidak kaya; sepeda motor yang biasa dikendarainya ke sekolah adalah sepeda motor yang sama dengan yang digunakan ibunya ketika harus berbelanja untuk kebutuhan toko kelontong kecil mereka. Jadi, kalau ada hari dimana dia diantar-jemput ibunya, mungkin hari itu adalah jadwal ibunya untuk berbelanja. Meskipun begitu, Dazel tidak mengeluh.
Sekalipun, ia tidak pernah mengeluh jika suatu hari tidak mengendarai sepeda motor ke sekolah dan harus menunggu jemputan ibunya. Dan disaat-saat seperti itulah, aku yang menawarkan diri untuk mengantarnya.
“Bener nggak apa-apa?”
Aku tersenyum. “Aku malah seneng bisa nganter kamu pulang.”
Lelaki itu menatapku sebentar, dengan sepasang ujung mata yang menyipit mengikuti garis senyum di bibirnya. “Yakin mau tahu rumahku? Sekalian mampir, yuk?”
Aku mendadak bisu, sebenarnya lebih ke grogi. “Errrr ... ketemu Ibu, ya?” tanyaku. Sebenarnya aku belum siap. Lagipula, kami masih anak kelas sepuluh SMA. Dan aku takut ibunya tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku adalah pacar dari anak lelaki satu-satunya. Dilema anak Menengah Atas yang sangat nanggung, ya?
“Bercanda,” Dazel mulai mengambil alih setir. “Cuma lewat aja, nggak apa-apa, kan?” sepertinya Dazel tahu, aku belum siap. Dan entah, kapan aku akan siap hanya untuk melihat wajah ibunya.
Bukannya Dazel yang tidak ingin mengenalkanku pada ibunya, tetapi aku yang belum siap mental untuk bertemu secara langsung dengan wanita yang telah melahirkan lelaki yang kucintai ini. Jika kamu tanya kenapa, aku pun tidak paham jawabannya apa. Aku hanya merasa belum siap saja.
Kadang aku bertanya,”Apakah ibunya Dazel tidak apa-apa kalau anaknya pacaran denganku?” dan pertanyaan itu terus berulang di kepalaku setiap kali Dazel membicarakan tentang ibunya.
“Iya. Nggak apa-apa kalau cuma lewat aja.” balasku menanggapi pertanyaan Dazel.
Seperti biasa, kami menghabiskan sisa-sisa waktu di jalanan sembari berbincang-bincang tentang banyak hal. Bersama Dazel, aku selalu merasa punya banyak bahan obrolan; dari yang nggak penting sampai yang paling penting. Dan manisnya, Dazel selalu menganggap penting semua bahan obrolan kami, karena responnya selalu menyenangkan.
Ah, Dazel. Rasanya aku hanya perlu kamu untuk menjadi lelaki yang seuutuhnya jadi milikku. Bolehkah ini bertahan selamanya?
Ya. Begitulah Dazel; lelakiku yang selalu tampil apa adanya dalam kesederhanaan yang selalu berhasil membuatku kembali jatuh cinta. Aku sering bertanya, kenapa kami bisa menjadi sedekat ini, bisa menjadi sepasang yang manis, bisa menjadi dua orang yang mendadak humoris dan terlalu cerewet membahas banyak hal-hal yang absurd.
Aku belum tahu teori tentang jodoh; tetapi jika aku bisa memilih siapa jodohku di masa depan, aku ingin memilih Dazel saja. Mungkin benar jika kehidupanku sekarang masih sebatas orang-orang tertentu, dan terlalu dini bagiku memutuskan dengan siapa aku ingin menghabiskan sisa waktu di masa depanku. Tetapi, bolehkah aku memberi alasan mengapa aku menginginkan Dazel untuk menjadi yang terakhir?
Ya. Karena dia adalah Dazel. Alasanku tidak pernah terlalu banyak selain karena Dazel adalah Dazel. Dazel Dearrel Augustaf, lelaki yang selalu ingin kucintai sampai nanti.
Keinget jaman muda sma anak 2000an
Comment on chapter Prolog