Seperti yang sudah diharapkan oleh logikaku, Dazel benar-benar merasa bersalah karena berdekatan dengan Resti. Dan aku, huh, kalian tidak bisa sepenuhnya menyalahkanku jika aku cemburu, kan? Sudah kujelaskan sebelumnya bahwa aku tidak bisa menoleransi jika itu adalah Resti. Kalian boleh membenciku, karena kenyataannya, Allura memang seorang pencemburu.
“Lula!” Dazel berhasil menepuk pundakku, lalu mendapatiku berwajah kusut karena mood-ku sedang dalam mode buruk.
“Pulang bareng, yuk?”
“Aku bawa sepeda motor.”
“Lula, hey!” Dazel berusaha menahan langkahku. “Kenapa?”
“Nggak apa-apa.”
“Lula, aku salah, ya?”
“Enggak.”
Aku bisa mendengar Dazel mengembuskan napas, lelah. “Kalau kamu nggak mau ngejelasin, aku mana bisa ngerti apa yang kamu rasain, Lula?”
Aku terdiam, menghentikan langkah. Dazel berhasil. Ia menyejajarkan posisinya tepat di hadapanku. Sorot mata Dazel memenjarakan pandanganku, membuatku seolah tak berkutik dengan tatapannya yang tegas namun terlihat lembut.
“Ada apa?”
“Kenapa tadi sama Resti?”
“Kan kamu tahu aku ditunjuk jadi wakil ketua panitia, Lula.”
“Ya tapi apa harus banget deketan sama Resti?”
Dazel mengembuskan napasnya lagi. “Terus aku harus deket sama siapa?”
“Ya siapa aja selain Resti!”
“Kamu masih cemburu banget ya sama Resti?”
“Menurutmu?”
Dazel mengembuskan nafas panjang, lagi dan kedua kalinya. Kali ini ia menatapku dengan pandangan yang sama sekali tidak terbaca. Aku enggan menatapnya, entah karena marah, kesal, atau merasa sangat bersalah. Setiap kali kami bertengkar karena hal sepele, aku selalu saja merasa harus menang dari Dazel. Namun tak bisa dipungkiri pula, aku merasa bersalah. Aku merasa bersalah setiap kali harus memulai pertengkaran, dan merasa tak enak hati setiap kali membuat Dazel emosi.
Aku memang mencintai Dazel, namun egoku masih terlalu besar untuk memaafkan segalanya. Bahkan untuk berkompromi dengan hal sepele, aku masih belum mampu. Kadang aku bertanya, apakah ini benar cinta? Aku mulai meragukan seberapa banyak kadar cintaku untuk Dazel, jika memahaminya sedikit saja aku tidak bisa.
“Ya udah, kalau gitu.” Dazel berlalu. Tanpa mengatakan apapun, tanpa menatap ke arahku lagi, tanpa mengajakku berjalan bersama. Dia hanya berlalu, dan kutatap punggungnya yang menjauh.
Baru kali ini, aku merasa sangat bersalah pada Dazel. Tapi egoku selalu lebih besar dari kesadaranku untuk meminta maaf.
Harusnya Dazel kan yang minta maaf? tanya egoku penuh angkuh.
Aku marah.
Aku merasa tubuhku bergetar hebat. Aku marah karena Dazel pergi begitu saja, aku marah karena Dazel tidak mencoba menyelesaikan masalah kami, aku marah karena menyadari bahwa aku baru saja diabaikan. Aku marah karena melihat punggungnya perlahan menjauh dan menghilang di areal parkir.
“Lula! Dicariin dari tadi ... eh,” sebuah suara yang entah darimana, namun aku segera menghambur dalam pelukannya. “Lula? Kamu kenapa?” Lania memelukku spontan sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Dazel, Lan ....” aku sesenggukan di pundak Lania.
“Kenapa Dazel?”
Aku menggeleng dalam pundaknya. Ada rasa gundah yang mengakar hebat dalam hatiku. Aku marah, tapi aku bahkan tidak bisa menunjukkannya lewat gerakan tubuh. Aku marah, hingga rasanya aku ingin menangis sampai rasa sesakku habis.
Aku sangat marah, tapi jauh dalam hatiku, aku merindukan Dazel.
Dazel, maaf. Tapi, kamu paham kan, kalau aku terlalu gengsi untuk menyerah padamu begitu saja?
***
Mataku sembab, dan aku pulang dalam keadaan payah. Setelah selesai menghabiskan tangis bersama Lania yang dengan sabarnya menemani dan menguatkanku, aku memutuskan untuk pulang. Setidaknya, aku bisa menuntaskan rasa marahku di dalam kamar tanpa harus diketahui siapapun.
Jika setiap kali kami bertengkar dan aku selalu mendapati nomor Dazel memenuhi layar ponselku dengan notifikasi pesan masuk, kali ini aku benar-benar tidak menemukan satu pun pesan dari Dazel. Aku membanting ponselku di atas bed. Apakah aku sebersalah itu hingga Dazel tidak mengatakan apapun lagi selain, “Ya udah, kalau gitu.” sembari melangkah pergi?
Memangnya apa salahku?
Perempuan memang pencemburu, kan? Memangnya apa yang dia harapkan dari kekasihnya yang juga masih anak SMA? Apa yang dia harapkan dariku yang masih enam belas tahun?
Aku tidak mengerti.
“Oh, jadi kamu mau memulai perang? Oke, kuladeni!” ujarku penuh marah. Kumatikan ponselku dan membiarkannya tergeletak di atas bed, tanpa kupegang lagi.
Dan benar saja, hingga malam hari, aku benar-benar tidak berniat menghidupkan ponselku. Biar, karena memang Dazel tidak akan peduli, kan? Tadi siang adalah bukti bahwa lelaki itu sudah tidak peduli, maka bukankah ia juga tidak akan peduli jika aku tidak menghidupkan ponselku hingga besok pagi?
Kamu nggak peduli kan, Dazel?
Lalu aku, harusnya juga melakukan hal yang sama, kan?
Besok ulangan harian Kimia. Kalian pasti tahu bagaimana sumpeknya aku saat harus berhadapan dengan buku-buku diktat Kimia yang tebalnya sudah cocok dibuat bantal, belum lagi LKS yang tidak pernah ketinggalan untuk dijadikan tugas oleh Bu Andah. Tabel unsur periodik membuatku gila. Bisakah aku menghafalkan semuanya sekaligus, malam ini juga?
Rasanya penat sekali, hingga akhirnya aku tertidur sambil memeluk buku.
“Jam berapa ini?”
Aku terjaga. Setiap kali aku tertidur karena kelelahan dan mendapati lampu kamar masih menyala terang, aku memang akan selalu terbangun di tengah malam. Kuperhatikan sekitar, buku-buku diktat Kimia dan LKS berceceran di atas bed, beberapa belum sempat kubaca dan kupahami.
Aku meregangkan kedua tangan sembari memerhatikan jam dinding. “Hm. Jam sebelas, ya?”
Tanganku bergerak menyalakan ponsel lagi. Entah untuk apa, tapi rasanya tanganku gatal sekali melihat benda berbentuk persegi itu tergeletak dalam keadaan mati.
Drrt!
Aku menolehkan kepalaku begitu layar ponsel sudah menyala dan bergetar pendek. Ada beberapa pesan masuk. Begitu kuraih ponselku, ada satu panggilan masuk.
Dazel.
Hatiku nyeri, masih terbayang kejadian siang tadi. Namun, kuputuskan untuk menerima panggilan teleponnya.
“Halo?”
“Kemana aja? Aku telpon dari tadi nggak diangkat-angkat.”
Aku terdiam sejenak. “Aku tertidur.”
“Masih marah, ya?”
Aku mengangguk. Oh, sial, Allura! Kenapa juga kamu mengangguk, ketika Dazel jelas tidak akan melihatnya?
“Ya udah, aku minta maaf.”
“Maaf buat apa?” masih merasa marah, aku berlagak seolah tidak tahu apa-apa. Ah, perempuan. Memang seperti itu sifatnya.
“Tadi siang.”
“Iya, nggak apa-apa.”
Entah antara iya dan tidak, mulutku selalu mengatakan kebalikan dari sebuah kebenaran. Aku masih marah, memang. Tetapi, hatiku tidak semarah itu lagi. Kelabilan macam apa ini, Tuhan?
“Maaf, karena tadi aku marah.”
“Iya. Aku juga minta maaf karena cemburu.”
Ada jeda sejenak sebelum Dazel melanjutkan, “Lain kali, kita nggak perlu berantem gara-gara Resti lagi, ya? Aku nggak ada apa-apa sama Resti, aku juga nggak suka sama Resti, jadi ... kamu percaya kan sama aku?”
Apa ini? Garis bibirku tertarik ke atas? Iya, aku sedang tersenyum sambil mengangguk. Entah kenapa, hatiku rasanya menghangat. Kupikir, kemarahanku tadi siang benar-benar tidak berguna. Sudah jelas bahwa Dazel adalah kekasihku, lalu apa yang harus kukhawatirkan? Dia sudah mengatakan bahwa dia benar-benar tidak menyukai Resti lebih dari seorang teman. Seharusnya aku selalu percaya dengan kata-katanya, seharusnya aku selalu percaya dengan kebenaran yang dikatakannya.
Seharusnya aku menjadi kekasihnya yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Ah, memang, Allura belum sebaik itu untuk membersamai Dazel. Allura masih banyak belajar; untuk bisa mengimbangi Dazel yang sudah sangat baik dalam mencintai.
“Lula?”
“Hm. Ya?”
“Kok diem aja?”
“Aku dengerin kok.”
“Masih marah, ya?”
“Enggak. Udah nggak marah.”
Kali ini aku yakin telah mengatakan kebenaran. Aku sudah tidak lagi marah, Dazel. Aku bisa menjamin bahwa kali ini aku tulus mengatakannya.
“Kita... baikan, kan?”
Aku tersenyum. “Iya.”
“Aku sampai nggak bisa tidur gara-gara mikirin ini. Maaf, ya?”
Dazel, sungguh, aku minta maaf jika aku benar-benar membuatmu gelisah. Percayalah, aku hanya belum mampu memahami diriku sendiri. Apakah benar aku mencintaimu, ketika bahkan aku selalu mempermasalahkan hal sepele yang harusnya kita lupakan.
Terkadang, Dazel, aku bertanya dalam hati, “Apakah aku bisa mencintaimu sebaik kamu mencintaiku?” setiap kita bertengkar karena kemarahan dan kekanak-kanakanku.
“Kenapa nggak bisa tidur?” suaraku mulai melembut. Kupikir aku memang sudah seharusnya berhenti marah hanya karena rasa cemburuku yang keterlaluan. Dazel tidak salah, dia tidak benar-benar ingin dekat dengan Resti. Yang salah adalah aku, mengapa aku selalu berpikir jelek dan larut dalam pikiran-pikiran bodohku sendiri.
“Karena takut kamu marah. Kamu marah, kan?”
“Iya, tadi. Tapi udah enggak, kok.”
Paham, kan? Semudah itu aku merasa baik-baik saja hanya dengan satu kalimat permintaan maafmu, Dazel. Sungguh, jika kamu ingin tahu, aku hanyalah Allura yang suka marah karena satu hal, tetapi juga mudah memaafkan dan melupakan dalam waktu singkat. Hanya saja, mengertilah bahwa terkadang aku ingin puas melampiaskan kekesalanku, tapi kamu ... jangan pergi kemanapun.
Jangan pergi, ketika aku marah. Karena sebenarnya, aku ingin kamu ada.
“Ya udah, cepetan tidur. Kok belum tidur jam segini?” suara Dazel juga kian melembut. Satu hal lagi yang kusuka dari Dazel, lelaki itu tidak pernah sekalipun meninggikan suaranya di hadapanku, bahkan ketika aku sangat emosi padanya.
Dazel tidak pernah membentakku, sekalipun.
“Aku belajar buat ulangan Kimia besok. Kamu duluan aja, Dazel.”
“Kutemenin boleh? Aku belum ngantuk, kok.”
“Udah, ah. Aku capek. Udah belajar dari habis maghrib tadi.”
“Terus? Mau telponan apa tidur aja?”
“Telponan aja, yuk?”
Dazel menemaniku mengemasi buku dari seberang sana. Dia mengatakan beberapa hal yang menghiburku, setidaknya. Aku bahkan lupa, bahwa siang tadi aku sudah dibuat kesal dan menangis saking marahnya. Aku salah menilai bahwa aku tidak penting bagi Dazel. Lelaki itu selalu memikirkanku, bahkan ketika dia sangat marah. Dazel, lelakiku, selalu tahu bahwa aku tidak baik-baik saja ketika kami bertengkar.
“Lula?”
Mataku sudah tidak kuat menahan kantuk. Setelah kumatikan lampu kamar, dan bersiap memeluk gulingku, suara Dazel masih terdengar jernih di telingaku.
“Ya?”
“I love you.”
Demi apapun, suaranya lembut sekali. Suara itu, benar-benar seperti Dazel. Aku tersenyum sambil memejamkan mata, mencoba merasakan kasih sayang Dazel yang selalu sulit untuk kupahami dengan cara yang dewasa. Dazel pasti merasa terbebani dengan sifat gadisnya yang meledak-ledak ini, tetapi jauh di dalam hatiku, aku selalu yakin Dazel sesayang itu padaku.
“Me too.”
Aku juga sesayang itu padamu, hanya saja terkadang caraku menunjukkannya terlampau salah. Dazel, mengapa ya aku selalu kesulitan untuk mengendalikan diriku agar tidak selalu marah dan kesal padamu?
“Maaf ya, karena selalu mengecewakanmu. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik. Dan terima kasih, sudah memaafkanku.”
“...”
Samar, rasanya aku mendengar Dazel meminta maaf. Sungguh, Dazel, kamu salah jika kamu meminta maaf. Harusnya aku, kan? Harusnya aku yang meminta maaf atas semua kekanakanku yang menyulitkanmu. Bisakah kamu berhenti mengatakan bahwa kamu mengecewakanku?
Bukankah aku yang selama ini terlampau sering mengecewakanmu, Dazel?
“Lula?”
“...”
Dazel, aku mengantuk sekali. Aku ingin membalas panggilanmu yang terdengar empuk di telingaku itu, tetapi sepertinya kedua mataku tak ingin bekerjasama. Kepalaku rasanya sudah berputar-putar. Dazel, maaf ya, aku mengantuk sekali.
Di balik telepon, Dazel tersenyum. “Kamu udah tidur, ya?”
“...”
“Ya udah. Selamat tidur, Lula. Mimpi indah, ya.”
“...”
Harusnya aku sudah mendengar sambungan teleponmu yang terputus, kan? Tetapi sepertinya kamu belum menutup panggilanmu. Benar saja, di balik sana, kamu sepertinya sedang tersenyum lagi, mungkin untuk yang terakhir kali sebelum kamu benar-benar menutup teleponnya. Ada apa, Dazel? Benarkah tebakanku bahwa kamu sedang tersenyum? Lalu, apa alasan dari senyum itu?
“Aku sayang kamu.” ujarmu pelan. Nyaris tak terdengar, tapi entah bagian diriku yang lain masih mendengarnya dengan sangat jelas. Dazel, kenapa kamu begitu manis? Kamu hanya mengatakan sayang, tetapi rasanya aku sudah sangat bahagia mendengarnya. Benarkah aku memang selalu sebahagia ini setiap kali kamu mengatakan sayang padaku dengan penuh kesungguhan?
Klik.
Sambungan terputus.
Aku sudah terlelap dengan begitu banyak pintu mimpi yang siap kumasuki. Tetapi, ternyata diam-diam bibirku memulas senyum. Entah, kesadaranku bagian mana yang menggerakkan garis bibirku untuk tersenyum usai kamu menutup panggilan teleponmu. Dazel, sepertinya alam bawah sadarku juga mengatakan hal yang sama dengan apa yang baru saja kamu katakan.
Allura juga menyayangimu, Dazel.
Keinget jaman muda sma anak 2000an
Comment on chapter Prolog