Read More >>"> The Reason (CHAPTER - 11.1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Reason
MENU
About Us  

"Sean! Tunggu!"
Sebuah panggilan memaksa Sean dan Jhon menghentikan langkah mereka di lobi Paris Philharmonie tempatnya konser beberapa saat lagi. Ia menoleh, melihat sosok yang memanggilnya berjalan mendekat.

Ekspresinya begitu datar saat tahu siapa yang menyerukan namanya.
Erika, Seorang super model cantik dengan rambut pirang, riasan wajah yang tebal, Gaun sangat ketat di atas lutut menempel di tubuhnya. Memperlihatkan setiap lekuk dengan jelas. dan heels setinggi sepuluh centi melengkapi penampilannya.

"Ini untukmu."
Wanita itu menyerahkan sebuah kotak kado selebar telapak tangan.
Tanpa kata dan dengan ekspresi yang masih datar, Sean menerima benda itu. Lantas memberikannya pada Jhon.

"Bisakah kita bertemu lagi setelah acara selesai."
"Tidak."
"Sebentar saja. Aku ingin membicarakan sesuatu di antara kita."
"Tidak ada apapun diantara kita."
"Tapi..."
Sean mengibaskan tangan dan berlalu. Tak ingin berlama-lama menanggapi ocehan si Erika. Sementara gadis itu menghentakkan kakinya dengan kesal. Sudah berbagai cara dia lakukan untuk mendekati pria tampan satu itu. Tapi rasanya ia berhadapan dengan tembok batu.

"Kau tidak mau berhubungan lagi dengannya tapi menerima pemberiannya?"
Jhon berkata sambil menimbang-nimbang kotak di tangannya.
"Dari pada dia membuangnya. Ambil saja untukmu."
"Benarkah? Bahkan kau belum melihat isinya."
Sean mengedikkan bahu tanpa menjawab. Ia bahkan tak peduli jika itu berisi emas ribuan karat. Sedangkan Jhon terlihat sibuk membuka pembungkus kotak.

Mereka tiba di backstage tak berapa lama kemudian. Para penata rambut dan make up artist mulai mengerumuni Sean untuk melakukan tugas mereka. Ia duduk di tempat yang ditunjuk Jhon.

"Gadis itu sepertinya kecanduan nonton Cristian Grey."
Jhon mematut diri di depan cermin dengan dasi baru pemberian Erika. Sean mendengus pelan dan hanya melirik sekilas sebelum berujar.
"Dan syukurlah aku bukan si Grey."
Jhon tergelak mendengar celetukan Sean. Ia paham, jika pianis satu itu benar-benar tidak menyukai Erika. Perempuan yang terlalu agresif.

"Oh ya. Malam ini kau akan memainkan lagu apa?" Setelah selesai dengan dasinya, Jhon bertanya.
"L’Isle Joyeuse."
"Debussy? Kau yakin? Lagu secepat itu?"
"Aku sudah mencobanya beberapa kali."
"Baiklah.. aku tak pernah meragukan kemampuanmu. Lima menit lagi on stage."
Sean mengangguk. Penata rambut dan make up yang mengurus penampilan Sean mulai undur diri. Kini pria itu terlihat semakin tampan. Rambut tembaganya dibuat sedikit berantakan di bagian depan. Tubuh atletisnya terbalut setelan mahal. Kemeja Linen putih, Jas berwarna hitam kebiruan dengan celana bahan yang sama serta sepatu fantofel mengkilat.

"Ok.. this is your time.. enjoy it.." Jhon menepuk pelan bahu Sean saat pembawa acara memanggil namanya.

Dengan langkah elegan, dia berjalan ke stage. Gemuruh tepuk tangan dari ribuan penonton menyambutnya. Blitz dari kamera ratusan awak media menyerbu. Mengabadikan setiap geraknya. Sean duduk di depan Grand piano hitam mengkilat yang terlihat sedingin ekspresi wajahnya. Cahaya keemasan menyorot dari atas. Menjadikan sosoknya sebagai fokus.

Pria itu memejamkan mata sejenak. Merasakan keheningan yang mulai menyelimuti Hall berkapasitas dua ribu lima ratus orang tersebut. Hanya hela napas para penonton yang terdengar.

Perlahan, ia meletakkan kesepuluh jemarinya di atas tuts. Tapi sekelebat ingatan membuatnya berubah pikiran.

Ia membuka mata. Jantungnya mendadak berdebar ketika mengingat seraut wajah cantik dengan senyum tulus beberapa hari lalu. Seorang gadis yang mengenggam tangannya saat hujan.

Satu sentuhan ringan di atas tuts, disusul nada lain yang perlahan mengikuti. Kiss The Rain mengalun indah. Membuat Ribuan penonton terkesiap ketika mengenali lagu yang dimainkan Sean. Bahkan hampir semua pengunjung menahan napas saat wajah tampan sang pianis di clouse up di layar yang tempampang sangat besar.

Wajah malaikat yang begitu lembut dengan mata terpejam. Seulas senyum samar tersunging di bibir tipisnya. Pria itu sedang mematri senyum Kinan dalam hatinya.

Ada rasa hangat yang menelusup dalam hati seluruh penonton, karena Sean juga merasakan hal yang sama. Hanya beberapa detik, tapi hal itu cukup membuat semua orang tersentuh. Hingga kemudian raut dingin kembali menyelimuti wajah tampannya. Ia kembali mengingat kegelisahan yang selalu muncul tiba-tiba.

Pria itu membuka mata, kembali fokus pada permainnya. Tak berapa lama,  sekerlip cahaya kecil muncul diantara deretan kursi penonton yang entah mengapa terlihat sangat gelap. Hingga perlahan muncul kerlip cahaya lain. Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus, sampai akhirnya dari seluruh bangku penonton muncul kerlip cahaya kecil yang berasal dari ponsel mereka.

Tanpa menghentikan permainan, Sean mengamati semua. Merekam dalam memorinya. Betapa ia tak akan pernah bisa melupakan kejadian malam ini. Untuk pertama kali ia bermain piano menggunakan hatinya, bukan hanya menghapal. Dan respon penonton sungguh diluar dugaan. Bahkan beberapa ada yang terlihat menghapus sudut mata karena terharu, terbawa oleh lagu yang ia mainkan.

Permainan berakhir, Sean berdiri dan membungkuk hormat di hadapan ribuan penonton. Standing aplause menggema di ruangan luas tersebut. Tapi ada yang berbeda malam ini, jika biasanya Sean sudah pergi sebelum gemuruh tepuk tangan reda, kali ini ia masih di tempatnya, bahkan setelah tepuk tangan berakhir.

"Wow...." Satu kata sambutan dari Jhon begitu Sean menapak di backstage.
" It's amazing, Bro.... aku bahkan sampai tidak bisa berkata-kata. ." Jhon menepuk bahu Sean pelan. Mereka berjalan bersisihan ke lobby.
"Thanks."
"Ayo, kita rayakan hari ini. Kita bersenang-senang."
"Antar aku pulang saja."
Sean mengelak karena ia paham maksud Jhon dengan bersenang-senang.

"Tidak kah kau tertarik mecoba sekali saja?"
"Mabuk-mabukan dan merusak kesehatanku?"
"Oh Man.... kau ini hidup di jaman apa sih? Minum-minum sekali saja tidak akan membuatmu sakit keras."

Sean menatap Jhon dengan ekspresi yang tak dapat dibantah. Membuat managernya kehilangan nyali.

"Oke... oke... aku akan pulang bersamamu. Seharusnya tadi aku bawa mobil sendiri saja." Jhon mengerutu sambil mengemudi. Sementara Sean sudah duduk nyaman di bangku sebelah Jhon sambil memainkan ponsel.

"Ngomong-ngomong, lagu yang kau mainkan tadi bukan Claude Debussy?"
"Memang bukan."
"Mendadak berubah pikiran?"
"Sepertinya begitu."
"Dan ekspresimu mendadak berubah seperti malaikat."
Sean menghentikan kegiatan dengan ponselnya. Ia memandang Jhon dengan raut bertanya.
"Kau lihat saja rekamannya besok. Aku benar-benar melihat wajahmu melembut beberapa detik tadi. Dan semua orang bilang kau seperti malaikat."
"Berati biasanya aku seperti iblis."
Tawa Jhon meledak mendengar gumaman asal dari pria disampingnya.

Hingga tak terasa mobil sudah sampai di rumah besar Sean. Tanpa berkata apapun, ia turun dari mobil dan bergegas ke kamarnya. Sementara Jhon langsung mengambil mobilnya dan kembali ke apartemen.

Sean sudah berada di kamar mandi. Setelah melepas seluruh kostum konser, ia membiarkan tubuh polosnya tersiram rintik air hangat dari shower yang perlahan menderas. Berharap aliran air bisa menjernihkan pikirannya. Tapi nyatanya, bayangan Kinan masih melekat kuat dalam otaknya. Senyumnya, tatapan matanya, ekspresi wajahnya ketika tersipu, saat gugup, atau saat dia sedang terlihat sangat santai.

Siapa dia? Darimana dia berasal? Hingga berhasil menampakkan sosok lain dari seorang Sean Altezza.
Mungkin benar, jika pria tampan itu adalah malaikat yang terjebak dalam tubuh lucifer berhati dingin. Dan Kinan lah yang berhasil memunculkan sisi malaikat dalam dirinya. Menghangatkan hati dan mengacaukan pikirannya.

Sean menyugar rambutnya yang basah dan mematikan shower. Menyudahi acara mandi yang terasa terlalu lama. Sebuah senyum samar tersungging di bibirnya. Dan lagi-lagi karena memikirkan Kinan. Gadis yang membuat kadar kewarasannya bergeser sekian inci dari tempatnya.

Jam dinding putih polos di tembok kamar Sean menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sepi. Bibi Mer sudah kembali ke rumah belakang sejak tadi. Sementara seorang security terlihat berjaga di pos dekat pagar. Sedangkan Aland sudah mendekam di kamarnya sendiri. Sibuk dengan dunianya.

Petikan nada samar terdengar dari balkon kamar Sean. Meski tubuhnya terasa sangat lelah, tapi rasa kantuk tak juga menghampiri. Pria itu memutuskan menghirup udara segar di balkon sambil memetik gitar. Mengalunkan sembarang nada.

Tak banyak orang tahu, selain jago bermain piano, Sean juga ahli memainkan alat musik petik satu itu.

Jemarinya memetik pelan, tapi pikirannya berkelana. Ia kembali teringat pada keributan saat dengan Kinan beberapa waktu lalu.

"Lagu yang indah, tapi tidak menyentuh hati..."
Perkataan Kinan saat itu masih terekam jelas dalam memorinya.

Gadis itu memang benar, selama ini ia bermain piano hanya mengandalkan memori fotografisnya. Menghapal not dan angka dengan sempurna.

Tapi apa yang terjadi tadi? Hatinya menghangat, reaksi penonton juga menakjubkan.
Ia yakin jika permainannya tadi bisa mengubah pendapat gadis itu. Bahkan mungkin membuatnya terpesona.

Tapi sesaat kemudian, Sean mengetuk-ngetuk pelispis. tak habis pikir sejak kapan ia jadi peduli dengan pendapat Kinan. Gadis yang sikapnya tak tertebak. Berbeda dengan Erika yang selalu mengejarnya.

Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Erika, salah satu dari sekian banyak gadis yang tak lelah mengejarnya. Seribu satu cara ia lakukan untuk menjerat pria tampan berhati dingin tersebut. Tapi sampai saat ini tak pernah berhasil mendapatkan hatinya.

Jangankan hati, sebuah senyuman darinya pun seperti hal yang mustahil. Tapi seorang gadis yang baru dikenalnya beberapa saat telah berhasil mendapatkan senyumnya. Atau bahkan hatinya?

Angin malam bertiup pelan, menembus kaos tipis yang Sean kenakan. Membuat lelaki itu merasa jika udara semakin dingin.

Ia menengok arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Pukul dua belas malam.

Sean beranjak dari tempatnya setelah menyandarkan gitar di kursi. Ia harus tidur. Karena sejauh yang ia tahu, udara malam dan begadang sangat tidak cocok bagi seorang pianis seperti dirinya.

Ia menutup pintu balkon dan menenggelamkan diri dalam selimut tebal. Mencoba untuk tidur meski banyak pikiran berputar di otaknya. Ia harus menemui Kinan besok. Untuk menjawab semua rasa penasaran yang berkecamuk di hatinya.

Ia benar-benar ingin tahu penilaian gadis itu tentang permainannya semalam. Yang berarti ia harus menekan segala rasa resah dan gelisah yang selalu ia rasakan saat bersama Kinan.

Dan hal itu membutuhkan usaha yang sangat keras.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ketika Kita Berdua
340      46     0     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
27th Woman's Syndrome
36      13     0     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Renjana: Part of the Love Series
3      3     0     
Romance
Walau kamu tak seindah senja yang selalu kutunggu, dan tidak juga seindah matahari terbit yang selalu ku damba. Namun hangatnya percakapan singkat yang kamu buat begitu menyenangkan bila kuingat. Kini, tak perlu kamu mengetuk pintu untuk masuk dan menjadi bagian dari hidupku. Karena menit demi menit yang aku lewati ada kamu dalam kedua retinaku.
(L)OVERTONE
23      6     0     
Romance
Sang Dewa Gitar--Arga--tidak mau lagi memainkan ritme indah serta alunan melodi gitarnya yang terkenal membuat setiap pendengarnya melayang-layang. Ia menganggap alunan melodinya sebagai nada kutukan yang telah menyebabkan orang yang dicintainya meregang nyawa. Sampai suatu ketika, Melani hadir untuk mengembalikan feel pada permainan gitar Arga. Dapatkah Melani meluluhkan hati Arga sampai lela...
Dimensi Kupu-kupu
113      33     0     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
Coldest Husband
13      9     0     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
When Home Become You
2      2     0     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
Delapan Belas Derajat
92      22     0     
Romance
Dua remaja yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Salah satu dari mereka memiliki kelainan hitungan detak jantung. Dia memiliki iris mata berwarna biru dan suhu yang sama dengan ruangan kelas mereka. Tidak ada yang sadar dengan kejanggalan itu. Namun, ada yang menguak masalah itu. Kedekatan mereka membuat saling bergantung dan mulai jatuh cinta. Sayangnya, takdir berkata lain. Siap dit...
Zo'r : The Teenagers
20      10     0     
Science Fiction
Book One of Zo'r The Series Book Two = Zo'r : The Scientist 7 orang remaja di belahan dunia yang berbeda-beda. Bagaimana jadinya jika mereka ternyata adalah satu? Satu sebagai kelinci percobaan dan ... mesin penghancur dunia. Zo'r : The Teenagers FelitaS3 | 5 Juni - 2 September 2018
Perfect Love INTROVERT
61      18     0     
Fan Fiction