Read More >>"> SEPATU BUTUT KERAMAT "Antara Kebenaran & Kebetulan" (SEPATU BUTUT PEMBAWA SIAL) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SEPATU BUTUT KERAMAT "Antara Kebenaran & Kebetulan"
MENU
About Us  

Youga terus tenggelam dalam lamunan di kursi panjang sendirian. Tak lama, tiba-tiba seorang pengemis setengah tua berpenampilan the kill and the kumel datang menghampirinya.

“Mas... minta sedekahnya Mas…,” gumam si pengemis memelas.

Youga melirik muka si pengemis dengan pandangan sinis. Disorotnya dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Maaf Pak, kalo saya perhatikan, Bapak ini masih terlihat cukup muda dan juga sehat. Kenapa mengemis? Kenapa nggak coba cari pekerjaan saja?” ucap Youga mengernyit, namun nada bicaranya masih terdengar cukup ramah.

“Mau kerja apa Mas? Lah wong SD aja saya nggak lulus!”

“Yah, apa kek? Gali kuburan kek? Atau kalau nggak mau kerja, jualan apa kek? Yang penting halal, Pak.”

“Yah, saya juga maunya sih gitu. Cuma, mungkin belum ada kesempatannya aja kali, Mas!”

“Ya... tapi kalo kayak gini, Bapak sama saja merendahkan martabat Bapak sendiri.”

“Jangan gitu dong Mas... saya jadi merasa tersinggung lho. Mas nggak pernah jadi pengemis sih, jadi nggak bisa ngerti perasaan kami.”

Youga melotot. Mendengar bantahan si pengemis, yang menurutnya sangat nggak logis, membuat ekspresinya berubah sangar. Bibirnya bersiap melepaskan argumen-argumen mematikan.

“Oh, oke, oke, oke. Gini aja deh, Mas!” Seru si pengemis, memahami ekspresi Youga yang tampak marah. “Biar sama-sama enak, bagaimana kalo Mas bayarin barang saya aja?”

“Barang? Barang apaan?”

Si pengemis pun bergegas mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya yang terbuat dari plastik kresek hitam buluk, yang terhubung dengan tali plastik merah yang menyilang di tubuhnya.

“Ini Mas!” ucap si pengemis sembari menyodorkan barangnya, yang rupanya itu adalah sebuah sepatu warior yang sudah begitu usang, yang baunya kayak udah nggak pernah dicuci ribuan tahun. Rupa dan warnanya pun juga sudah tak karuan, mungkin benda itu lebih pantas di sebut posil daripada sepatu.

Youga pun tertawa cekikikan.

“Hah, sepatu butut gitu, buat apaan?”

“Tapi ini merek luar negeri lho, Mas!”

“Ya... kalo udah butut, mana bisa dipake. Mana cuma sebelah pula,” Youga terus terkekeh.

“Hmm, tapi jangan salah Mas, ini sepatu bukan sembarang sepatu, ini sepatu keramat!”

Youga tertawa semakin ngakak, hingga air liurnya sempat muncrat lumayan banyak. “Udah deh Pak, saya ini mahasiswa, orang terpelajar. Saya nggak bakalan ketipu sama modus jadul kayak gitu!”

Si pengemis terdiam, seakan sudah kehabisan kata-kata untuk meyakinkan Youga atas kualitas barangnya.

Di sisi lain, meski Youga sedikit bete karena merasa di-kibuli, namun dia juga cukup menghargai upaya si pengemis itu untuk coba berjualan. Menurutnya, itu jauh lebih baik daripada mengemis. Yah, walau tentunya dia juga tetap tidak setuju dengan cara berbisnis yang mengandung unsur menipu seperti itu.

“Ya udah deh, saya bayarin! Berapa harganya?” kata Youga sembari segera merogoh saku depan celananya mencari uang kecil.

“Satu juta, Mas!”

Youga terperanjat, membuat kepalanya hampir melesak ke belakang. Mulutnya mengaga, matanya mendelik. “Gila…,” umpatnya keras. “Aduh, udah deh Pak, nggak usah terus coba tipu saya. Percuma, nggak mempan. Bahkan kalo Bapak mau coba hipnotis saya pun percuma, saya nggak punya apa-apa.”

“Ya udah Mas, berapa aja deh!” Si pengemis nyengir.

Youga mengela napas panjang sembari nyengir menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya makin bete. Namun karena juga ada perasaan kasihan, dia pun tetap menyodorkan selembar uang dua ribuan lecek.

Buset, dua ribu perak, buat beli apaan?” si pengemis melongo.

“Mau nggak?” tegas Youga melotot.

“Tambahin lagi deh, Mas!” Si pengemis kembali berubah memelas.

“Ya udah, nih, saya tambahin tiga ribu lagi, jadi goceng.”

Si pengemis pun akhirnya menerima uangnya, lalu memberikan sepatu bututnya. Tanpa banyak berkata lagi, dia pun segera pergi.

Youga kembali menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus mesem-mesem sendiri saat menatap si pengemis yang terus melangkah menjauhinya itu. Tapi di satu sisi dia meresa seperti mendapat sedikit pelajaran, bahwa di dunia ini ternyata masih banyak juga orang-orang yang jauh lebih kere dari dirinya. Dan sepertinya itu sedikit mengurangi rasa galau yang tengah ia derita.

Youga membuka layar handphone-nya, untuk melihat pesan WhatsApp yang sempat masuk saat mengobrol dengan si pengemis tadi. Tapi kemudian dia menyesal, karena rupanya cuma berisi broadcast nggak bermutu dari sebuah group yang nggak jelas. Lalu dia membuka akun facebook-nya, untuk coba melihat status terbaru dari akun pujaan hatinya, Sandra. Namun dia juga tidak menemukan apa-apa, kecuali pemberitahuan penggantian foto profile yang sudah lebih dari seminggu yang lalu. Tapi dia menyempatkan diri menatap foto profile itu cukup lama, sembari terus memasang wajah mupeng (muka pengen), berharap senyum dari foto itu memang hanya dihadiahkan khusus untuknya. Tak lama kemudian, dia memasukkan kembali handphone-nya ke saku celana, lalu segera berdiri untuk beranjak pulang.

Tak disangka. Saat baru satu langkah dia bergerak, tiba-tiba dia  harus tertahan karena mendengar suara peluit yang begitu keras dari arah belakang. Rupanya suara peluit itu berasal dari seorang polisi berseragam lengkap yang tampak terus bergerak mendekatinya.

“Selamat Sore,” ujar si polisi dengan nada cukup tinggi.

“Ya, sore juga, Pak!” Balas Youga sedikit bingung. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Apa anda tidak bisa membaca?” bentak si polisi.

“Apa? Baca?” Youga semakin bingung mengerutkan dahinya. “Ya bisa lah, Pak. Saya ini kan mahasiswa. Malah sebentar lagi mau lulus jadi sarjana.”

“Apa anda tidak membaca peraturan itu,” lanjut si polisi dengan nada lebih tegas, sembari menunjuk ke arah papan pengumuman besar yang agak jauh dari belakang bangku panjang tempat Youga duduki tadi. Papan pengumuman itu bertuliskan: ‘dilarang buang sampah sembarangan di sini.’

“Wah, bagus banget itu Pak. Sangat inspiatif!” Sahut Youga bergelora.

“Lalu, itu apa?” geram si polisi sembari menunjuk ke arah sepatu butut yang tergeletak di atas bangku panjang.

Youga pun terkesiap. Dia baru sadar belum sempat membuang sepatu butut yang dibelinya tadi. “Oh iya, maaf, saya lupa! Sepatu saya ketinggalan!” Serunya nyengir, lalu bergegas ngambilnya.

Akh… gimana sih kamu?”

“Iya, maaf deh Pak... namanya juga lupa! Lupa kan berarti nggak inget, hehehe!” Youga nyengir kuda. “Baiklah, kalau begitu, saya permisi,” lanjutnya sembari mengangkat sebelah tangannya memberi hormat. “Selamat bertugas. Assalamu’alaikum….

Youga pun bergegas keluar dari taman. Dia terus saja menenteng sepatu bututnya, karena sampai sejauh ini dia belum juga menemukan keberadaan sebuah tong sampah untuk membuangnya. Dia terus berjalan mencari halte busway terdekat untuk segera pulang. Di tengah langkah santainya, perutnya tida-tiba terasa lapar. Maklum, sejak pagi dia cuma sempat makan sepotong bakwan yang boleh dibagi sama Hendi! Berhubung dia berniat untuk masak mie instan di tempat kosnya nanti, saat dia berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan, dia hanya berniat membeli satu buah permen karet, yang menurutnya itu bisa sedikit mengganjal perutnya. Atau paling tidak membuatnya jadi nggak kelihatan banget kayak orang kelaparan, karena mulutnya terus mengunyah.

Ketika hendak mengambil uang receh dari saku celananya, dia pun baru sadar kalau sepatu bututnya masih terus terkempit di bawah ketiaknya. Tanpa banyak berpikir—dengan begitu santainya—dilemparnya sepatu rombeng itu ke arah belakang tanpa sedikit pun menoleh.

Cukup kuat rupanya dia melempar, membuat sepatu itu melambung cukup tinggi, yang kemudian tanpa diduga mendarat tepat di atas panci tukang bakso yang penututpnya sedang terbuka, karena si tukang bakso tengah melayani pembelinya.

Sue… kerjaan siapa nih?” pekik si tukang bakso, luar biasa murka. Dia pun bergegas menengok kearah para pelanggannya, siap menghabisi pelakunya.

Gadis remaja lugu yang duduk paling pinggir di antara barisan pelanggan yang tengah mengantre giliran, menunjuk jarinya ke arah Youga yang tak jauh di sana, seraya mengisyaratkan kalau dialah pelakunya.

Si tukang bakso kesetanan. Dengan sebelah tangan menenteng centong kuahnya yang bergagang panjang, dan tangan lainnya menenteng sepatu butut yang sudah berlumuran kuah bakso, dia pun berjalan cepat menghampiri Youga. Beberapa pelanggannya juga tampak berduyun mengikutinya dari belakang.

Woy, bangsat… ngajak gue ribut, lo?” pekik si tukang bakso, mendelik.

Youga pun terkesiap, segera refleks berbalik badan. “Ada apa ya, Mas?” tanyanya mengernyit.

“Apa-apaan maksud lo? Ngajak gue berantem?” si tukang bakso matanya terus menyala, wajahnya semakin terilihat sangar, kayak kucing keinjek buntutnya.

“Tenang, tenang, Mas. Semua bisa diselesaikan secara damai dengan kepala dingin,” ujar Youga berlaga bijak. “Sebenarnya apa masalahnya?”

“Banyak bacot lo…,” si tukang bakso tak kuasa menahan emosinya, lalu segera saja menyerang Youga secara vertikal dengan centong kuahnya. Beruntung Youga segera mengelak, sehingga wajahnya hanya terkena sedikit percikan kuah bakso yang muncrat dari centong.

Di tengah kepanikan, Youga benar-benar kebingungan. Apakah gerangan yang menyebabkan pria itu kesetanan? Namun seketika pertanyaan di hatinya itu pun terjawab, ketika dia menyadari sepatu butut yang dilemparnya tadi tengah berada di genggaman tangan kiri si tukang bakso. Tak berani menghadapi kenyataan, dia pun segera mengeluarkan jurus andalan, ‘langkah seribu’.

Berada di atas puncak amarah, si tukang bakso tentu tak membiarkan Youga melarikan diri. Beberapa orang yang menyaksikannya juga ikut mengejar. Bahkan sebagian dari mereka ada yang sambil merekam dengan kamera handphone bak wartawan.

Youga perutnya kosong, membuat tubuhnya jadi lebih enteng, sehingga dia dapat berlari bak seekor kelinci. Kesal tak mampu menggapai Youga yang terlalu gesit berlari, si tukang bakso mengambil inisiatif melempar centong kuahnya ke arah belakang kepala Youga. Namun sayang, lemparan itu meleset jauh. Tapi si tukang bakso tak langsung menyerah, dilemparnya lagi Youga dengan sepatu butut yang masih dipegangnya. Dan kali ini lemparannya tepat mengenai sasaran.

Adaw,” refleks Youga kesakitan, membuatnya segera menyempatkan diri menoleh ke belakang. Namun tentunya dia tak berniat menurunkan kecepatan laju pelarian.

Beberapa saat kemudian, si tukang bakso dan semua yang ikut mengejarnya kelelahan, tak kuasa lagi mengikutinya berlari ke jalan yang tampak semakin menanjak. Youga pun seketika hilang dalam pandangan, membuat mereka semua sepakat segera menyudahi pengejaran.

 

* * *

 

Youga sudah hampir tak kuasa menahan rasa sesak di dadanya. Saat sempat menoleh ke belang, dia sadar, sudah tak lagi ada yang mengejar. Namun dia masih belum berniat untuk berhenti, dia masih terlalu takut gerombolan orang-orang meradang itu tiba-tiba muncul kembali. Sebetulnya dia merasa bersalah. Namun apalah daya, menyerahkan diri kepada mereka, hanya akan membuatnya menjadi adonan perkedel.

Beberapa menit kemudian Youga sudah tak sanggup lagi berlari. Dia menghentikan langkahnya tepat di sebelah tukang gorengan yang sedang mangkal di tepi jalan sebelah kanan. Persis di belakang tukang gorengan ada warung pecel lele. Setelah sempat beberapa saat berdiri membungkuk, dia pun segera masuk ke warung itu untuk membeli sebotol air mineral, agar tenggorokannya yang sudah begitu kering segera terbasuh. Wajahnya yang dipenuhi keringat, serta napasnya yang megap-megap, membuat lima orang pengunjung warung pecel lele itu menatapnya keheranan.

“Ada apa Mas?” tanya salah seorang yang duduk di sebelahnya, sementara Youga baru saja menyelesaikan tegukan kedua dari minumannya. Namun Youga tak berniat menjawabnya. Dia terlalu takut untuk berkata dusta. Menurutnya, itu bisa saja membuatnya bertambah sial. Beruntung napasnya masih megap-megap, membuatnya punya alasan untuk memberi isyarat agar tak ditanya dulu sementara.

Pada sisi lainnya, yang cukup jauh dari tempat Youga sekarang berada. Di tengah jalanan lumayan lebar nan sepi, sepatu butut yang telah berlumuran kuah bakso itu tergeletak tengkurap membelakangi kiblat. Tepat di tengah bagian telapaknya menempel sedikit tetelan sapi. Walau belum sempat diberi mecin dan daun seledri, namun dari jauh baunya sudah cukup tercium gurih. Seekor kucing kampung kelaparan datang mengendus penasaran, membuatnya berdiri terpaku di tengah jalan.

Di sisi lain, dari kejauhan datang sebuah sepeda motor yang diaiki dua orang melaju dengan kecepatan penuh menguasai jalanan. Menyadari sang kucing mejeng di tengah jalan, pengendaranya terpaksa segera menurunkan kecepatan, karena menurut legenda yang masih diyakini sebagian orang Indonesia: menabrak kucing di tengah jalan adalah pertanda kesialan. Sepeda motor itu pun berhenti tepat di belakang sang kucing, lalu pengemudinya segera mengusirnya dari tengah jalan.

“Eh, apaan tuh?” ucap si pengemudi kepada temannya yang diboncengi, sembari menunjuk ke arah sepatu yang tergelatak tak berdaya itu. Karena penasaran, si pengendara pun memajukan sedikit sepeda motornya, lalu menyuruh temannya untuk memungut.

“Ah, cuma sepatu butut,” ujar temannya nyengir, namun dia tetap memungutnya.

“Jangan dibuang dulu, Bro…,” kata si pengemudi sambil bergegas kembali menjalankan sepeda motornya. “Coba cek dulu dalemnya, siapa tahu ada sesuatu yang berharga. Soalnya, semalem gue mimipi dapet rejeki.”

Temannya yang tampak culun itu pun menurut, namun saat dia hendak melakukannya, tiba-tiba handphone-nya berdering, dia pun lebih dulu mengangkatnya.

Rupanya yang menelepon adalah Emak mertuanya yang super bawel, sehingga mau tidak mau dia harus mendengarkan dengan saksama setiap kalimat yang disampaikan kepadanya, agar tragedi pengusiran sadis yang dialaminya setahun yang lalu, tak kembali terulang. Usai cukup lama menerima telepon, dia pun kembali melanjutkan niatnya menelisik bagian dalam sepatu butut itu.

“Ah, nggak ada apa-apa Bro, kosong,” ujarnya kepada si pengemudi.

“Yah… kalau begitu buang, lah....”

Entah apa isi kepala temannya yang dibonceng itu? Tanpa mempedulikan apapun, segera dilemparnya sepatu butut itu ke sebelah kanan, sementara sepeda motor itu terus melaju dalam kecepatan penuh.

Kampret...,” sontak terdengar umpatan keras dari mulut tukang gorengan yang sedang mangkal di depan warung pecel lele. Dia pun segera menghunus sodet miliknya ke arah dua orang di atas sepeda motor tersebut. “Woy, bangsat, berhenti lo….”

Si pengemudi pun terperanjat, hingga sempat menghentikan laju motornya, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun saat dia menyadari kemarahan si tukang gorengan, dia pun lekas kembali tancap gas.

Semua orang yang ada di dalam warung pecel lele pun bergegas keluar. Begitu pula dengan Youga.

“Ada apa, Kang?” kata pria berjanggut lebat berjidat lebar, tampak panik.

Sue banget tuh orang... wajan saya dilempar pakek sepatu butut,” jelas si tukang gorengan, geram.

“Mana orangnya?” yang lain ikut bicara, siap mematahkan leher pelakunya.

“Udah kabur,” tukas situkang gorengan sembari berusaha mengeluarkan sepatu butut itu dari wajannya.

Menyadari sepatu butut itu sama persis dengan sepatu miliknya, Youga pun terperanjat, hingga tergambar jelas keterkejutannya itu di wajahnya.

“Kenapa, Mas? Tau, pemilik sepatu ini?” tanya si pria berjanggut lebat menyadari keterkejutan Youga.

“E… kok, mirip kayak sepatu saya, yah?” sahut Youga tak mau berdusta.

“Oh, jangan-jangan yang melempar sepatu itu temen sampean, yah?” lanjut si pria berjanggut.

“Bukan Bang,” tegas Youga tampak meyakinkan. “Saya nggak punya temen orang sini. Lagipula, saya sendiri juga bukan orang sini kok. Kayaknya sih itu memang sepatu milik saya, yang tadi sempet saya buang. Tapi kok, bisa ada di sini, yah?”

Saat telah mengangkat sepatu butut itu dari wajan besarnya, si tukang gorengan makin jengkel hatinya, karena dia harus rela minyak goreng yang sedemikian banyak di wajannya itu terkontaminasi. Sambil terus mengumpat dengan kata-kata kasar, dia pun melempar kembali sepatu butut yang telah berlumuran minyak itu ke arah jalanan dengan sekuat tenaga.

Benar-benar tak diduga. Dari arah yang sama dengan sepeda motor sebelumnya, datang sepeda motor lain yang juga melaju dengan kecepatan tinggi. Sepatu yang dilempar itu pun tepat mengenai kepala pengemudinya yang kebetulan tak ber-helm. Si pengemudi yang sendirian itu pun seketika kehilangan keseimbangan, yang tak lama kemudian menubruk tiang listrik di sebelah kiri jalan. Si pengemudi itu terjungkal, hingga akhirnya mendarat di dalam got berair busuk. Semua orang yang menyaksikannya pun bergegas datang untuk menolongnya, begitu pula dengan Youga tentunya.

Remaja kurus, berambut keriting, berjenis kelamin pria itu tak lagi sadarkan diri. Tubuhnya menelungkup, sementara kepalanya melesak sepenuhnya ke dalam lumpur got. Semuanya panik. Sebagian orang segera mengangkatnya dari got, sementara yang lain sibuk mencari mobil agar bisa segera melarikannya ke rumah sakit.

Si tukang gorengan wajahnya memucat, jari-jari tangannya gemetar, tentu karena dia merasa bersalah. Tak lama kemudian seorang datang membawa mobil miliknya, lalu remaja malang itu pun diangkat ke mobil. Youga juga sempat diajak untuk ikut naik ke mobil, namun dia menolaknya, dengan alasan sudah cukup banyak orang yang ikut.

 

* * *

 

Youga ditinggal sendirian. Dia masih terus berdiri di tepi jalan menatap sepatu bututnya yang dibiarkan tergeletak di jalanan. Tak lama, dia pun bergerak perlahan mendekatinya, lalu memungutnya. Sambil melangkah, dia terus menatap sepatu butut itu, sementara pikirannya terus terbayang pada ucapan si pengemis yang sempat menyatakan bahwa sepatu itu bukalah sepatu sembarangan. Sebagai seorang mahasiswa yang selalu mengedepankan logika, pastinya terlalu berat baginya untuk begitu saja meyakini ucapan pengemis tersebut. Tapi di satu sisi dia juga ragu, karena kesialan yang terjadi benar-benar nyata. Tapi kemudian akhirnya dia memutuskan untuk memaksakan diri agar tetap berpikir positif, dan kesialan yang terjadi itu tidak lain hanyalah kebetulan belaka.

Di tengah perjalanannya yang mulai mendekati jalan raya, dia berhenti di depan sebuah tong sampah di tepi jalan. Sambil senyam-senyum sendiri, dia pun membuang sepatu butut yang baunya sudah tak karuan itu ke dalam tong.

“Kembalilah ke asalmu wahai sepatu butut,” gumamnya pelan sambil nyengir saat meletakkan sepatu itu pelan-pelan di atas tumpukan sampah yang sudah hampir memenuhi tong. Ketika hendak menutup kembali tong sampah, dia terkejut, karena tiba-tiba dari belakangnya muncul seseorang yang mendekatinya. Tapi rupanya itu cuma seorang akik-akik tukang sampah, yang datang bersama gerobaknya berniat mengangkut isi tong, sehingga keterkejutannya pun seketika reda.

Youga kembali melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke tempat kosnya. Hatinya mulai berangsur-angsur kembali tenang. Namun sungguh tak diduga, saat baru sekitar 15 meter dia terpisah dari tong sampah, lagi-lagi dia harus merasakan kembali begitu kencang jantungnya berdebar akibat terpenjat. Dari arah belakangnya, terdengar suara benturan keras yang juga disertai teriakan manusia. Saat dia menoleh, rupanya si tukang sampah yang sempat dilihatnya tadi, telah tergolek lemas di sebelah gerobak sampahnya di tengah jalan. Tepat di belakangnya, berhenti sebuah mobil mewah berwarna merah. Segeralah dia sadar, bahwa itu adalah sebuah kecelakaan, dan dia pun bergegas mendekatinya.

Si tukang sampah tua itu sudah tak sadarkan diri, dengan kedua kaki yang berlumuran darah. Dua cowok muda perlente terlihat cemas, sambil berusaha mengangkat si tukang sampah itu untuk segera dimasukkan ke dalam mobilnya.

“E, Mas, tolong bantuin dong,” kata salah satu dari cowok perlente itu kepada Youga, tentunya supaya mereka berdua bisa lebih mudah mengangkat tubuh si tukang sampah yang kebetulan memang lumayan gempal. Namun Youga tak merespon, dia hanya berdiri terpaku menatap ke arah sepatu bututnya yang sudah kembali tergeletak terpisah dari sampah-sampah lain yang berserakan di atas aspal. Wajahnya memucat, bulu kuduknya bergidik ngeri, hingga jari-jari tangannya pun gemetar. Tanpa mempedulikan kedua cowok perlente dan si tukang sampah yang pingsan itu, dia pun segera lari terbirit-birit, sambil berteriak-teriak seperti orang gila.

“Hah, kenapa tuh orang?” ucap salah satu cowok perlente terperangah.

“Udah sinting kali rupanya,” sahut temannya, juga melongo.

Youga terus berlari tunggang langgang, dengan perasaan takut yang semakin menyelimuti hatinya. Dia masih terus saja berlari walau dia telah sampai di pinggir jalan raya yang ramai kendaraan. Setelah melihat halte TransJakarta yang berada di seberang jalan, barulah dia menghentikan pelariannya. Sekujur tubuhnya tentu terasa lemas, karena ini memang sudah yang ketiga kalinya dia memaksakan diri berlari cepat dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Sambil sesekali meludah, dia berdiri membungkuk dengan kedua tangan diletakkan pada lutut sembari mengatur nafasnya.

Beberapa saat, tarikan dan hembusan napasnya perlahan mulai kembali normal, namun kedua kakinya terasa masih terlalu lemas untuk segera menuju halte yang memang harus melewati jembatan penyeberangan yang cukup tinggi. Dia pun memutuskan untuk mengistirahatkan kedua kakinya sementara dengan duduk di sisi kiri trotoar.

Kondisi jalan raya memang cukup lengang, hingga semua kendaraan yang melintas bergerak dengan kecepatan tinggi. Kondisi trotoar di sisi kiri jalan tempatnya duduk juga cukup sepi, sehingga banyak para pengemudi yang melintas menyempatkan diri menoleh ke arahnya yang duduk sendirian dengan wajah linglung. Beberapa menit kemudian, setelah dia merasa agak baikan, dia pun kembali berdiri, lalu melangkah perlahan menuju jembatan penyeberangan yang hanya berjarak sekitar dua puluh meter dari tempatnya duduk. Saat baru beberapa langkah dia berjalan pelan, hatinya yang tengah diselimuti ketakutan seketika berubah berubah geli. Kegelian hatinya itu disebabkan karena dia melihat seorang ibu-ibu paruh baya yang wajahnya sudah dipenuhi keriput, berjalan santai berlawanan arah dengannya. Menurutnya, pakaian serta dandanannya yang menor dan begitu heboh ibu-ibu itu, nggak mecing banget sama mukanya. Mungkin kalau Nabilah JKT 48 yang pake dandanan model begitu sih, biar tetap norak, tapi masih rada enak dilihat! Kalau tuh ibu-ibu, hmm…? “Ah, tapi biarlah. Realitanya, memang seperti inilah keadaan dunia saat ini!” Gumamnya dalam hati.

Saat jaraknya dengan ibu-ibu yang menurutnya kelihatan lucu itu sudah sekitar sepuluh meter, tiba-tiba dadanya lagi-lagi harus harus tersentak, hingga segera kembali menghentikan langkah. Dari arah belakang kepalanya, tiba-tiba melayang sebuah benda asing, yang kemudian mendarat tepat di wajah keriput nan mengkerut si ibu-ibu menor yang tengah melangkah santai itu. Rupanya, pelaku pelemparan sadis itu adalah seorang bocah yang berada tidak jauh di belakangnya. Bocah itu sebenarnya sedang bermain lempar-tangkap bersama dengan ketiga temannya. Jadi, si ibu-ibu menor itu tidak lain hanyalah korban salah sasaran.

Si ibu-ibu menor pun naik darah. Dia benar-benar tak terima. Dengan mata terbelalak, dia pun bergegas memungut benda yang menghantam wajahnya, lalu segera membidik sang bocah yang melemparnya. Menyadari itu, sang bocah pun ketakutan, lalu bergegas bersembunyi di balik tubuh Youga, sehingga bidikan si ibu-ibu menor itu jadi mengarah kepada Youga.

Melihat wajah ibu-ibu menor berubah sangar, Youga pun ketakutan. Segeralah dia mengangkat kedua tangan, seraya meminta ampun dan menyerah. Di tengah ketakutannya, Youga terpana menatap benda yang hendak dilempar kearahnya, karena rupanya itu adalah sepatu butut yang sudah sekian kali ditinggalnya. Maka, ketakutannya pun bertambah sangat.

Stop, stop, stop,” teriak Youga dengan mata terbelalak, sembari terus memberi isyarat dengan tangannya agar si ibu-ibu itu segera mengurungkan niatnya untuk melempar. Namun rupanya sia-sia. Bahkan malah membuat si ibu-ibu menor semakin terlihat sangar. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, dia pun melempar sepatu butut itu tepat ke arah wajah Youga. Beruntung Youga segera menghindar, membuat sepatu butut itu hanya melayang tipis di sebelah kanan wajahnya.

Lagi-lagi sungguh di luar perkiraan. Sepatu yang tak jadi mendarat di muka Youga, terus melayang jauh, hingga akhirnya telak mengenai wajah seorang pengendara sepeda motor yang tengah melaju kencang di sisi kiri jalan. Seketika, sepeda motor itu pun oleng, yang tak lama kemudian terbalik dan terseret sejauh tiga meter. Tak berhenti di situ. Dalam waktu sepersekian detik, tiba-tiba datang sepeda motor lain menubruknya dari belakang, hingga pengendara dan sepeda motornya pun terpental jatuh lebih ke tengah. Tak hanya itu, sepeda motor kedua yang juga sudah terkapar, seketika dihajar oleh sebuah sedan, hingga si pengendara dan sepeda motornya masuk ke kolong sedan. Selanjutnya, tabrakan beruntun sejauh seratus meter pun terjadi.

Youga hanya berdiri terpaku sambil menganga menatap kecelakaan mengerikan itu. Bibirnya tak kuasa berucap. Pikirannya benar-benar stres, hingga begitu bingung harus berbuat apa? Beberapa saat kemudian, di tengah suara bising dari puluhan klakson yang saling bersautan, dia pun menjerit ketakutan, lalu berlari tunggang langgang naik ke atas jembatan penyeberangan. Namun saat dia baru sampai di tengah jembatan, tiba-tiba dia berhenti, kemudian berbalik arah kembali ke tempatnya semula. Rupanya dia berniat untuk mengambil sepatu bututnya. Dia sempat berpikir, bila sepatu butut itu ditinggalnya lagi, bisa-bisa kesialan yang jauh lebih besar akan menimpanya. Setelah berhasil mendapakan kembali sepatunya, dia pun segera melanjutkan niatnya untuk langsung pulang. Kali ini dia merasa tak bersalah. Karena menurutnya, si ibu-ibu menor itu gila, sehingga tidak ada hal yang perlu dia pertanggung jawabkan.

 

* * *

 

Hari mulai gelap. Saat ini Youga telah melangkah di dalam gang perkampungan tempat kosnya berada. Sepatu butut itu terus ditentengnya. Kali ini sepatu itu telah ia bungkus dengan kantung plastik yang ia temukan saat baru turun dari busway, lantaran bau yang tak karuan sempat membuat heboh seisi bus yang ia taiki. Lagi pula, dia tak ingin seluruh isi tasnya terkontaminasi oleh bau yang tak karuan.

Yah, siapapun pastinya pernah mengalami kesialan, namun tentunya apa yang dialaminya hari ini sungguh sangat tidak biasa. Bahkan seumur hidup baru kali ini dia mengalaminya. Dia terus melangkah penuh kebingungan, antara pecaya atau tidak dengan dugaan yang sedang terus ia pikirkan.

Rumah tempatnya nge-kos lumayan besar. Walau jauh dari kata mewah, tapi bukan masalah, karena yang penting murah. Kamarnya berada di lantai dua tepat di bagian tengah. Lampunya sudah terlihat menyala, tentu karena teman sekamarnya, Hendi telah pulang sejak sore tadi.

Cie… yang abis ketemuan sama cewek idaman!” Hendi langsung meledeknya saat Youga baru saja memunculakan wajahnya dari balik pintu kamar. “Oh, betapa bahagianya hati yang tengah di mabuk asmara, hingga ranya dunia ini hanya milik berdua. Yang lain cuma ngontrak!”

Youga tak menghiraukan gurauan Hendi. Wajahnya muram, tubuhnya melunglai di atas kasur.

“Lho, kok bete?” lanjut Hendi mesem.

Namun lagi-lagi Youga hanya diam, dan tak memberi respon apapun.

“Wih, apaan tuh? Bagi dong!” Hendi segera meraih kantung plastik hitam berisi sepatu butut yang dibiarkan Youga tergeletak di sebelahnya. Awalnya Hendi mengira itu berisi makanan, begitu dibuka, wajahnya pun berubah meringis, yang kemudian bergegas menutup hidungnya. “Buset, apaan nih?”

Youga pun bergegas bangkit duduk di atas kasur, khawatir Hendi berbuat yang tidak-tidak terhadap sepatunya.

“Sejak kapan lo koleksi sepatu butut kayak gini, Bro?” lanjut Hendi terkekeh.

“Itu bukan sepatu sembarangan. Itu sepatu keramat,” tegas Youga pasang muka serius sampai melotot.

“Buahahaha…,” Hendi terbahak-bahak. “Bro, kita ini sebentar lagi bakal menggantikan para politikus yang ada di gedung DPR sana. Masa, seorang politikus masa depan percaya sama sesuatu yang nggak realistis banget kayak gitu! Apa jadinya bangsa ini nanti?”

Hendi pun mengikat kembali kantung plastik itu, karena berniat segera membuangnya ke luar jendela.

“Eh, jangan dibuang,” bentak Youga dengan mata yang terus terbelalak, sambil memberi isyarat menahan dengan tangannya.

“Jangan bilang lo mau simpen ni sepatu rombeng?”

“Kalo lo buang tuh sepatu, bakal terjadi kesialan.”

“Buahahaha… bener-bener udah sinting lo, Bro!” Hendi kembali meledek, lalu segera saja melempar sepatu itu ke luar jendela.

Ya, benar saja ke khawatiran Youga. Hanya dalam hitungan detik, dari luar tiba-tiba terdengar suara decitan panjang yang diakhiri suara dentuman keras. Youga dan Hendi pun terperanjat, lalu bergegas menuju balkon untuk melongok ke bawah.

Rupanya di bawah sana telah terjadi kecelakaan. Sebuah sepeda motor menyeruduk sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan sebelah kanan tak jauh dari seberang kos-kosan. Para penghuni kamar lain juga ikut keluar, penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di bawah sana.

Akh, gue bilang juga apa. Ngeyel sih, lo…,” bisik Youga melotot.

Hendi tak mampu berkata-kata, dia cuma melongo sambil menganga terus menatap ke bawah.

Mereka berdua pun segera turun untuk menolong si korban. Saat mereka berdua belum sampai di TKP, rupanya beberapa warga sudah lebih dulu mengerumuni si korban. Si korban tergeletak tak sadarkan diri, terpisah tak jauh dari motornya.

“Kenapa nih orang, tiba-tiba nubruk mobil yang lagi parkir? Udah gila kali rupanya?” ujar salah seorang warga, sementara Youga dan Hendi sudah berdiri menatap si korban tak terlalu dekat.

“Kesurupan setan, kali?” sahut salah seorang yang lain.

“Jangan-jangan dia lagi mabok?” yang lain coba ikut memprediksi.

“Sudah, sudah, yang penting sekarang segera kita bawa dia ke rumah sakit terdekat,” ucap Pak RT yang bumper belakang mobilnya penyok kena hantam.

Youga menatap Hendi sambil melotot, namun Hendi hanya terdiam tak berani mengakui kesalahan. Setelah si korban dilarikan ke rumah sakit, Youga dan Hendi pun bergegas kembali ke kamarnya, tentu sambil membawa kembali sepatu bututnya.

Usai merapikan kembali ikatan kantung plastik, Youga menaruh sepatu butut itu di tempat yang tinggi, biar nggak kualat. Tak lama, Hendi menarik Youga ke luar kamar, karena dia terlalu takut untuk berbicara dekat-dekat dengan sepatu butut ajaib itu. Youga pun menceritakan dengan detail semua kejadian yang di alaminya tadi sore, hingga membuat Hendi tampak semakin panik.

“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Nggak mungkin kan, seumur hidup kita simpen terus tuh sepatu ajaib?” kata Hendi, bingung.

“Tau deh, gue juga bingung mesti gimana?” sahut Youga lemas.

“Emm...? Oh, gue ada ide,” Hendi membuka matanya lebih lebar. “Dulu Om gue pernah ngasih tau, katanya dia pernah dateng ke seorang paranormal yang sakti banget. Kalo nggak salah, namanya Ki Joko Melongo. Bagaimana kalo kita minta tolong sama dia?”

Youga sempat terdiam, mempertimbangkan saran Hendi.

“Sekarang?” tanya Youga.

“Ya iya lah, masa tahun depan!”

Walau sebenarnya tubuhnya terasa amat lelah, namun Youga benar-benar ingin persoalan ini cepat selesai. “Ya udah, kalo gitu gue makan and mandi dulu deh sebentar. Perut gue udah keroncongan bingit, nih.”

Sembari menunggu kesiapan Youga, Hendi menelepon Om-nya, untuk menanyakan alamat tempat Ki Joko Melongo membuka praktiknya. Mereka cukup beruntung, karena rupanya alamat Ki Joko Melongo hanya terpaut satu kampung saja dari tempat kos mereka berada, sehingga tidak terlalu menjadi masalah untuk segera mendatanginya malam ini.

 

* * *

How do you feel about this chapter?

0 2 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • syalu

    Hehehe... lucu, lucu, lucu....

    Comment on chapter JONES (Jomblo Ngenes)
Similar Tags
BIYA
0      0     0     
Romance
Gian adalah anak pindahan dari kota. Sesungguhnya ia tak siap meninggalkan kehidupan perkotaannya. Ia tak siap menetap di desa dan menjadi cowok desa. Ia juga tak siap bertemu bidadari yang mampu membuatnya tergagap kehilangan kata, yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Namun kalimat tak ada manusia yang sempurna adalah benar adanya. Bidadari Gian ternyata begitu dingin dan tertutup. Tak mengij...
Senja di Sela Wisteria
2      2     0     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
Gilan(G)ia
2      2     0     
Romance
Membangun perubahan diri, agar menciptakan kenangan indah bersama teman sekelas mungkin bisa membuat Gia melupakan seseorang dari masa lalunya. Namun, ia harus menghadapi Gilang, teman sebangkunya yang terkesan dingin dan antisosial.
NEET
328      259     4     
Short Story
Interview berantakan bukan pilihan. Seorang pria melampiaskan amarahnya beberapa saat lalu karena berkali-kali gagal melamar pekerjaan, tetapi tidak lagi untuk saat ini, karena dia bersama seseorang. Cerita ini dibuat untuk kontes menulis cerpen (2017) oleh tinlit. NEET (Not in Education, Employment, orTraining) : Pengangguran. Note: Cover sama sekali tidak ada hubungannya dengan cerita...
Love and Pain
377      226     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.
Love after die
3      3     0     
Short Story
"Mati" Adalah satu kata yang sangat ditakuti oleh seluruh makhluk yang bernyawa, tak terkecuali manusia. Semua yang bernyawa,pasti akan mati... Hanya waktu saja,yang membawa kita mendekat pada kematian.. Tapi berbeda dengan dua orang ini, mereka masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Dmitri, sang malaikat kematian. Tapi hanya 40 hari... Waktu yang selalu kita anggap ...
Dira dan Aga
323      244     3     
Short Story
cerita ini mengisahkan tentang perjalanan cinta Dira
DEUCE
3      3     0     
Short Story
\"Cinta dan rasa sakit itu saling mengikuti,\" itu adalah kutipan kalimat yang selalu kuingat dari sebuah novel best seller yang pernah kubaca. Dan benar adanya jika kebahagiaan dan kesakitan itu berjalan selaras sesuai dengan porsinya..
Jalan-jalan ke Majapahit
28      11     0     
Fantasy
Shinta berusaha belajar Sejarah Majapahit untuk ulangan minggu depan. Dia yang merasa dirinya pikun, berusaha melakukan berbagai macam cara untuk mempelajari buku sejarahnya, tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah website KUNJUNGAN KE MAJAPAHIT yang malah membawanya menyebrangi dimensi waktu ke masa awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit. Apa yang akan terjadi pada Shinta? ...
Tenggelam dalam Aroma Senja
2      2     0     
Romance
Menerima, adalah satu kata yang membuat hati berat melangkah jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Menunggu, adalah satu kata yang membuat hati dihujani ribuan panah kerinduan. Apakah takdir membuat hati ikhlas dan bersabar? Apakah takdir langit menjatuhkan hukuman kebahagian? Entah, hanyak hati yang punya jawabannya.