Read More >>"> SEPATU BUTUT KERAMAT "Antara Kebenaran & Kebetulan" (ADU KESAKTIAN) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SEPATU BUTUT KERAMAT "Antara Kebenaran & Kebetulan"
MENU
About Us  

Cukup cepat mereka berdua menemukan alamat Ki Joko Melongo membuka praktiknya, karena selain cukup dekat, lokasinya juga memang berada di pinggir jalan raya. Usai membayar uang pendaftaran sama si mbak resepsionis cantik berpakaian formal yang lengkap dengan dasi kupu-kupunya, mereka pun langsung dipersilahkan duduk di ruang tunggu.

Ruang tunggu berbentuk lorong panjang tampak sepi. Selain mereka berdua, hanya ada satu orang laki-laki yang juga tampak menunggu. Sepatu butut yang dibawa Youga kali ini bukan hanya dimasukkan ke dalam kantung plastik, tapi juga dibungkus dengan kertas koran berlapis-lapis.

“Lagi nunggu yah, Mas?” sapa Hendi kepada pria kerempeng berkulit gelap yang duduk tepat di sebelah kirinya.

Namun pria itu tak menjawab. Meski menoleh, dia cuma cengar-cengir, hingga terpampang lah dua gigi depannya yang ompong.

“Emm, pasti mau tanya-tanya soal jodoh yah, Mas?” lanjut Hendi begitu yakin menebak, karena terlihat jelas, betapa culunnya wajah pria kerempeng itu. Bahkan mungkin kata ‘culun’ pun rasanya masih kurang pantas untuk menggambarkan texture wajahnya yang nggak banget itu.

Namun lagi-lagi pria itu tak menjawab. Dia cuma terus saja nyengir. Saat hampir sekitar setengah menit dia nyengir, tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak sambil melotot tak henti-henti. Hendi pun terperanjat, hingga lekas bergeser menjauhinya.

“Kayaknya dia orang sinting, Bro?” bisik Hendi di telinga Youga.

Youga tak berkomentar, cuma nyengir.

“Alfred... Alfred... jangan ganggu klien,” teriak si mbak resepsionis sembari memunculkan kepala dari balik dinding ruang kerjanya. Mendengar itu, seketika si pria kerempeng pun terdiam. Pandangannya lurus ke depan, dengan wajah melongo sambil terus menganga.

Tak lama waktu berselang, datang sepasang suami istri ikut duduk di ruang tunggu. Penampilan sepasang suami istri itu terlihat begitu high class, hingga jelas menunjukkan kalau mereka memang berasal dari kalangan menengah atas.

“Sudah lama menunggunya, Mas?” sapa suaminya yang berdasi mewah saat baru saja duduk tepat di sebelah kanan Youga.

“Baru, Pak!” balas Youga senyum.

“Sudah sering, kemari?”

“Baru kali ini, Pak!”

“Kalau saya, ini yang kelima kalinya,” jelas si pria berdasi sembari membakar ujung rokoknya. “Rokok, Mas?” lanjutnya menawari.

“Terima kasih, Pak! Tidak merokok!”

“Ki Joko Melongo itu memang benar-benar sakti,” si pria berdasi menatap kedepan sambil menyemburkan asap cukup banyak dari mulutnya. “Kunjungan saya yang sebelum ini benar-benar sangat memuaskan. Waktu itu saya kehilangan dompet. Begitu sadar, saya pun langsung datang kemari.”

“Wah, langsung ketemu, Pak?” potong Youga.

“Nggak... waktu itu saya langsung disuruh oleh Ki Joko Melongo untuk segera pergi ke lapangan Monas. Saya disuruh berdiri tepat penghadap ke arah tugu monas itu.”

“Oh ya? berapa lama?”

“Sampai sore.”

“Terus, ketemu dompetnya?”

“Nggak....”

“Lho?” Youga terkejut hingga menarik kepalanya sedikit kebelakang.

“Setelah menjelang maghrib, akhirnya saya pulang. Tentu dengan perasaan penuh kekecewaan dong... karena dari siang sampai sore terus berdiri, bahkan sampai kulit saya terasa meletak akibat kejemur seharian, namun pulang dengan tangan hampa. Malamnya saya merasa sangat gelisah, hingga sulit rasanya untuk segera memejamkan mata. Maklum, di dalam dompet itu bukan hanya ada uang tunai yang lumayan banyak, tapi semua kartu ATM, kartu kredit, dan juga beberapa benda berharga lainnya. E... tapi kemudian, keesokan harinya, tiba-tiba datang ke rumah saya seorang perempuan, cuannntik betul!”

“Oh, pasti perempuan itu datang membawakan dompet anda, yah?” Youga lagi-lagi coba menebak akhir cerita.

“Oh, nggak… perempuan cantik itu rupanya seorang sales yang coba menawarkan sebuah produk baru dari perusahaan ternama di Indonesia. Tapi anehnya, perempuan itu demen banget ngobrol panjang lebar sama saya. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, dia mau saya ajak makan malam di luar. Setelah itu, hubungan kami semakin hari semakin dekat, dan akhirnya kami pun memutuskan untuk menikah!”

“Oh, pasti Ibu ini, yah?” ucap Youga sembari menunjuk perempuan yang duduk di sebelah pria itu, sekalipun dia agak kecewa karena gambaran kata ‘cuannntik’ yang didengarnya tadi, meleset cukup jauh dari perkiraannya.

“Oh, bukan... kalau ini Istri ketiga saya.”

“Oh... lha, terus, bagaimana akhirnya dengan dompet anda?” Youga nyerah menebak.

“Setelah sekitar satu bulan kami menikah, saya pun menghubungi kembali Ki Joko Melongo lewat telepon. Tentu dengan maksud menanyakan kembali dompet saya yang hilang itu. Eh, ternyata beliau jawab gini: ‘Sebenarnya, dompet anda beserta isinya itu tidak hilang, tetapi sudah dipakai untuk membayar mahar mendapatkan jodoh.’ Wah, saya samapai berdecak kagum waktu itu! Sampai-sampai saya menghadiahkan sebuah mobil kepada beliau.”

Youga terdiam tanpa ekspresi. Dia bingung, bapak itu sedang cerita, atau sedang latihan stand up comedy? Tapi yang pasti dia sudah enggan mendengar ceritanya lagi. Dia pun pura-pura khusyuk menatap handphone-nya.

Tak lama kemudian, si mbak resepsioni memberitahukan bahwa mereka berdua telah sampai pada gilirannya untuk menemui Ki Joko Melongo.

“E... ruangannya yang sebelah mana yah, Mbak?” tanya Youga mengeraskan suarannya, karena si mbak resepsionis kembali hanya memunculkan kepalanya.

“Lurus saja. Nanti pas mentok, ada pintu di sebelah kiri. Langsung buka saja pintunya,” jelas si mbak resepsionis.

Mereka berdua langsung bergerak. Saat mereka membuka pintunya, rupanya mereka tidak langsung mendapati ruangan sang paranormal. Di balik pintu tersebut ternyata hanyalah sebuah lorong panjang yang ber-design persis seperti lorong gua batu. Cahaya lorong begitu redup berwarna merah api pelita. Suasananya begitu hening, hingga mereka dapat mendengar suara langkah kaki mereka sendiri. Lorong yang lumayan panjang dan beberapa kali berbelok itu diakhiri dengan sebuah tangga besi yang melingkar ke bawah tanah. Setelah mereka melewati tangga besi tersebut, rupanya lagi-lagi mereka menjumpai sebuah lorong.

Suasana di lorong bawah tanah terasa lebih menyeramkan. Sesekali sayup-sayup terdengar suara aneh yang membuat merinding bulu roma. Pada bagian dindingnya banyak terpampang benda-benda menakutkan, seperti tengkorak manusia, atau pun patung binatang-binatang buas yang diawetkan. Lorong yang tidak terlalu panjang dari yang sebelumnya itu diakhiri oleh sebuah pintu, yang tepat di bagian atasnya bertuliskan, ‘Pintu Surga’. Mereka pun langsung mengetuk pintu tersebut sambil mengucapkan salam. Mereka sempat mengulanginya hingga tiga kali, bahkan sampai sedikit berteriak, karena walau sudah sempat terdiam cukup lama, namun belum juga ada yang memberi respon.

“Jangan-jangan udah tidur, kali?” Hendi coba menebak.

“Ah, nggak mungkin. Kalo dia udah tidur, si Mbak resepsionis nggak bakalan nyuruh kita masuk. Lagian, yang gue  tau, orang sakti itu biasanya jarang tidur.”

“Apa jangan-jangan, dia lagi boker dulu sementara?”

“Kalo itu bisa jadi.”

Lantaran enggan menunggu lebih lama lagi, Youga pun mengambil inisiatif langsung membuka handle pitu. Dan tenyata pintu tak dikunci, membuat mereka kemudian sepakat untuk langsung coba masuk ke dalam.

Tak seperti yang sempat mereka perkirakan. Ruangan yang mereka masuki saat ini tak sedikit pun mirip ruang pertapaan. Ruangan tampak terang, ber-design seperti ruang tamu mewah biasa, yang lengkap dengan sofa indah serta pernak-pernik lainya. Meski jelas ber-design ruang tamu, namun rupanya juga dilengkapi dengan sebuah layar TV LED 32 inch yang menggatung di salah satu dinding cukup tinggi.

“Permisi... Asslamu’alaikum...,” lagi-lagi Youga mengucapkan salam sambil menghadap kearah dalam, lantaran sejauh ini mereka belum juga merasakan keberadaan barang seorang pun di sana. Namun lagi-lagi aneh, tak ada satupun yang memberi respon, membuat mereka berdua kebingungan.

Karena merasa tidak sopan bila begitu saja coba menyelonong lebih ke dalam, mereka pun memilih duduk menunggu di sofa. Saat baru beberapa detik mereka menaruh bokongnya, mereka pun terperanjat. Rupanya layar TV lebar di hadapan mereka itu tiba-tiba menyala dengan sendirinya. Layar TV menampilkan gambar si mbak resepsionis cantik yang tengah berada di ruang kerjanya.

“Lho, Mbak, Mbak, Mbak” Youga sedikit berteriak memanggil-manggilnya, bahkan sampai bergerak mendekati layar TV, karena si mbak resepsionis tak menghadap ke arah kamera, dia hanya tampak sibuk me-refresh make up di wajahnya sambil senyam-senyum sendiri menatap kaca.

Ternyata si mbak resepsionis dapat mendengar panggilan Youga, karena layar TV rupanya memang difungsikan sebagai alat komunikasi. Dia menengok, lalu berkata, “langsung masuk ke kamar Ki Joko saja Mas, yang ada di paling ujung ruangan.”

Mendengar itu, mereka berdua pun bergegas mencari kamar yang diberitahukan.

Cukup mudah mereka menemukannya, karena di bagian dalam, hanya ada satu pintu yang tampak tertutup. Mereka langsung mengetuknya sambil sekali lagi mengucapkan salam, walau pada akhirnya lagi-lagi mereka harus kecewa, karena tak ada satupun orang yang menjawabnya. Mereka pun kembali sepakat, untuk langsung membuka pintu, kemudian langsung masuk.

Sangat jauh berbeda dengan nuansa di ruang tamu tadi, kali ini keseluruhan design ruangan yang mereka masuki terlihat menyeramkan seperti kamar-kamar dukun pada umumnya. Meski begitu, tapi rasanya suasana kamar tak terlalu terasa horor, mungkin itu karena alunan musik yang sayup-sayup terdengar menghiasi ruangan, bukanlah musik tradisional beraroma mistik yang membuat perasaan bergidik, melainkan musik dangdut berirama ceria yang mampu membuat pikiran tergoda. Musik itu berjudul, Buka Dikit Jos....

Jauh di ujung ruangan mereka mendapati wujud seorang pria paruh baya tengah duduk bersila menghadap kearah pintu masuk. Pria itu berpakaian serba hitam, sementara di sekeliling tempatnya duduk dipenuhi bermacam ragam perlengkapan ritual perdukunan. Tentu sudah jelas, pria itulah sang paranormal yang mereka ingin temui. Mereka pun bergegas mengahampirinya.

Rupanya suara musik irama ceria itu berasal dari handphone milik Ki Joko, yang sementara ini terlihat sedang terus diangkatnya dekat telinga sebelah kanan. Dia tampak begitu khusyuk mendengarkan, dengan ekspresi melongo persis orang dongo.

“Permisi Ki, selamat malam!” Sapa Youga saat mereka berdua hampir mendekati Ki Joko. Namun entah apa yang terjadi dengan Ki Joko? Tak sedikit pun dia berkutik. Dia hanya terus saja melongo menikmati musiknya.

“E... permisi, Ki,” Youga lebih mengeraskan suaranya, sementara mereka berdua telah mengambil inisiatif untuk langsung duduk di atas hambal cukup dekat menghadap Ki Joko.

“Sial,” pekik Ki Joko keras sambil melotot. Selang sepersekian detik kemudian, Ki Joko pun bergegas mengangkat kedua tangannya. Bagian telapaknya diarahkan tepat ke wajah mereka berdua. Kedua tangannya bergetar, sementara matanya dipejam kuat, sehingga ekspresinya tampak begitu serius, seakan tengah mengeluarkan ajiannya.

Sudah tentu, Youga dan Hendi begitu terperanjat, hingga hampir saja melompat.

“Apa yang kalian bawa? Energi negatifnya begitu besar, membuat semua jin-jin peliharaan saya ketakutan, hingga segera bersebunyi di belakang tubuh saya.” lanjut Ki Joko dengan nada cukup tingi. Walau masih dengan gaya dan ekspresi yang sama, tapi kali ini matanya telah sedikit dia buka.

“E, sepatu, Ki,” sahut Youga sedikit takut, lalu bergegas membuka bungkus sepatu bututnya, kemudian disodorkannya kepada Ki Joko.

“Siapa yang suruh buka?” bentak Ki Joko kembali melotot. “Bungkus lagi.”

Walau agak bingung, namun Youga bergegas menurutinya. “E, maaf Ki, apa harus saya bungkus seperi semula?” Youga terlalu malas melakukannya, lantaran terlalu ribet melakukannya.

“Iya, seperti semula.”

Tak lama kemudian, Ki Joko pun mulai menurunkan tangannya perlahan, dengan gaya persis seorang pendekar Cina usai mengeluarkan tenaga dalamnya. Ekspresinya juga mulai tampak berangsur-angsur kembali tenang. Setelah cukup lama terdiam menunggu Youga menyelesaikan membungkus kembali sepatunya, dia pun kembali berucap,  “sekarang jelaskan, apa maksud dan tujuan kalian datang kemari?”

“Wah, sepertinya, tanpa saya beri tahu pun saya yakin Ki Joko pasti sudah paham masalah yang sedang kami hadapi!” Seru Youga, cukup yakin akan kesaktian Ki Joko membaca isi pikirannya.

“Ya mana saya tahu kalau kalian nggak bilang. Emang saya ini Tuhan apa bisa tahu isi hati orang?” Ki Joko kembali tampak marah.

“Oh, iya, maaf!” Sahut Youga merasa bersalah. “Emm, begini Ki. Maksud kedatangan kami, mau menanyakan soal sepatu ini. Tadi sepertinya Ki Joko sudah langsung merasakan keanehan dari sepatu ini, kan?”

“Iya… terus sepatunya mau diapain…?”

“Ya mau dibuang, Ki. Atau kalau Ki Joko mau, silahkan ambil!”

“Ah, buat apa? Saya punya banyak pusaka yang jauh lebih hebat dari yang kalian punya itu.”

“Terus, bagaimana cara saya membuangnya? Saya sudah coba berkali-kali, tapi tetep aja balik lagi. Pake tertimpa sial segala lagi. Tolong dibantu, Ki!”

“Hmm, saya paham,” Ki Joko nampak lebih rileks, mengelus-elus janggutnya. “Sepatu itu memang bukan sepatu sembarangan. Jadi kalau mau dibuang, ya tentu tidak bisa sembarangan pula. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.”

Youga dan Hendi saling menatap, dengan mata yang dibuka lebar.

“Apa syarat-syaratnya, Ki?” kata Youga kembali menatap Ki Joko serius.

Pertama, sepatu itu harus dimandikan dengan air kembang tujuh rupa. Dan jangan lupa, proses pemandiannya harus dilakukan tepat tengah malam. Kedua, setelah selesai dimandikan, letakkan sepatu itu di atas sebuah kain putih. Ketiga, bawa satu ekor kambing jantan yang masih perjaka, lalu sembelih lehernya tepat di atas sepatu itu, dan jangan angkat kambing itu sampai dia benat-benar berhenti bergerak. Keempat, rebus sepasang ayam kate tanpa diberi bumbu, termasuk garam. Setelah empuk, letakkan ayam kate jantan di sisi kanan sepatu, sedang yang betina di sebelah kiri. Setelah itu, bungkus dengan kain putih tadi, kemudian masukkan ke dalam sebuah peti yang terbuat dari kayu jati. Dan yang terakhir, kubur peti itu bersama dengan kambing jantan yang sudah disembelih tadi.”

Youga dan Hendi kembali saling menatap, namun kali ini sambil mangap.

“E... maaf Ki, apa nggak ada opsi yang lain? Yang lebih gampang dan lebih murah, gitu?” Youga kembali berucap. “Maklum Ki, lagi bokek! Waktu bayar uang pendaftaran tadi aja, sudah sangat menguras kantong kami! Yah, kalo cuma buat beli kembang tujuh rupa aja sih, kami bisa!”

“Tidak bisa... semuanya membutuhkan pengorbanan. Semakin besar pengorbanannya, maka semakin besar pula efeknya. Hal ini sangat berlaku di dunia gaib.”

“Aduh... gimana yah?” Youga pusing garuk-garuk kepala.

“Yah, tinggal ditunggu sampe punya duait aja... gitu aja kok repot, sih,” sungut Ki Joko tampak bete.

Ki Joko pun sempat terdiam, sementara ibu jari kanannya sibuk menggeser-geser layar handphone-nya yang lebar, yang tak lama kemudian ditempelkan ketelingannya.

“Halo... Pak Demi... Sudah sampai belum?” Ki Joko bicara dengan teleponnya. “Oh ya...? Ya sudah, langsung masuk saja!”

“Lho, bukannya kami belum selesai, Ki?” sungut Youga bete merasa diabaikan.

“Lho, kan tadi sudah saya jelaskan dengan sangat detail. Kurang apalagi?”

Youga dan Hendi terdiam sambil kembali saling menatap. Meski mereka bingung harus bagaimana, namun mereka masih tampak belum mau segera beranjak dari ruangan.

Selang sekitar satu menit kemudian, tiba-tiba dinding sebelah kiri ruangan Ki Joko terbelah dua. Rupanya dinding itu berfungsi sebagai pintu lift. Saat pintu lift itu telah terbuka sepenuhnya, munculah sepasang suami istri yang rupanya adalah orang yang mereka sempat temui di ruang tunggu tadi.

“Lho, masih ada tamu toh, rupanya?” ujar si pria berdasi saat hampir mendekati mereka.

“Ah, sudah selesai kok. Mari duduk!” Seru Ki Joko begitu ramah.

“Nanti dulu Ki,” Youga merasa belum benar-benar mendapat solusi.

“Aduh... apa lagi, sih?”

“E... gini aja deh, Ki. Sambil kami menyiapkan semua persyaratannya, sementara sepatu ini kami titipkan dulu di sini. Nanti kalau sudah siap, baru kami datang lagi kemari.”

“Kamu kok dibilangin ngeyel sih,” Ki Joko matanya kembali melotot.

“Lho, kenapa? Apa jangan-jangan sebenarnya Ki Joko takut dengan sepatu ini?” gertak Youga, coba memberi Ki Joko sedikit syok terapi, berharap Ki Joko menunjukkan sikap Jaim (jaga image) di depan tamu VIP-nya, yang kemudian membuatnya mendapat keuntungan dari hal tersebut. Tapi rupanya dia salah. Mendengar itu, Ki Joko malah makin terlihat marah. Mukanya memerah, matanya menyala, seakan siap menerkam Youga bak seekor srigala.

“Kamu kurangajar, yah. Kamu belum tahu siapa saya,” pekik Ki Joko dengan wajah berubah memerah, lalu seketika ia bertingkah seakan hendak kembali mengeluarkan ajiannya.

“Ampun Ki, ampun Ki, saya takut,” Youga bergegas merunduk hampir hendak mencium kaki Ki Joko. Dan begitu pun dengan Hendi. “Saya tidak ada maksud menghina Ki Joko, sumpah.”

“Sabar, sabar Ki,” si pria berdasi bergegas mendekati dengan wajah panik, sambil memberi isyarat tangan agar Ki Joko segera mengurungkan niatnya mengeluarkan ajian. “Tenang Ki, semua persoalan dapat diselesaikan secara damai dengan kepala dingin.”

Mendengar itu, Ki Joko pun terdiam, namun emosinya tentu tak sirna begitu saja dari wajahnya.

“Memang sebenarnya apa sih, maasalahnya?” lanjut si pria berdasi bergaya bijak.

“Ini bocah sudah kelewatan, harus diberi pelajaran,” tegas Ki Joko.

“Yah, sabarlah Ki... namanya juga anak muda!”

 

SORRY, UNTUK ADEGAN ADU KESAKTIANNYA SEMENTARA GUE LEWATIN DULU, BELUM DAPET WANGSIT!!!

 

* * *

 

Tentunya hati mereka berdua diliputi kekecewaan. Yah, di samping banyak waktu jadi terbuang sia-sia, biaya yang mereka keluarkan untuk pendaftaran tadi memang cukup lumayan.

Di tengah jalan, tiba-tiba Hendi menurunkan kecepatan laju sepeda motornya, karena tiba-tiba dia menemukan sebuah ide yang menurutnya layak untuk dicoba.

“E... gimana kalo tetep kita kubur aja sepatu butut itu?” kata Hendi sambil sedikit menoleh kebelakang.

“Terus, syarat-syarat yang lainnya gimana?” sahut Youga masih dengan muka penuh kecewa.

“Ya, seadanya aja....”

“Maksud lo, kita kubur gitu aja, kayak bangke tikus?”

“Ya nggak lah... kita mandiin juga pakek kembang tujuh rupa, juga kita bungkus pakek kain kafan.”

“Yakin lo, itu akan berhasil?”

“Yah, lebih baik dicoba kan, daripada tidak sama sekali!”

Youga sempat cukup lama terdiam mempertimbangkan. Yah, biar bagaimana pun, tentunya dialah yang paling mengharapkan masalah ini cepat selesai.

“Emm, ya udah deh, ayo kita coba. E... tapi sorry yah, gue udah nggak punya duit lagi buat beli kembang sama kain kafannya.”

“Tenang, gue masih punya!”

Hendi pun kembali menancap gasnya, dan langsung mengerahkan laju sepeda motornya menuju pasar tradisional yang kebetulan tidak terlalu jauh juga dengan kampung tempat mereka nge-kos. Usai membeli perlengkapan, mereka pun langsung kembali ke kos-kosan.

Tepat pukul dua belas malam, mereka pun mulai melakukan ritual seperti yang direncanakan. Sebelumnya, sepatu butut itu sempat mereka cuci dengan sabun beberapa kali, sehingga terlihat bersih, juga wangi. Setelah itu, barulah mereka meletakkannya di atas kain putih, kemudian menyiramnya dengan air kembang tujuh rupa beserta kembangnya. Setelah prosesi pemandian dan pengkafanan selesai, mereka pun bergegas keluar mencari tempat yang tepat untuk langsung mengebumikannya.

Dengan berjalan kaki, mereka menyusuri perkampungan. Youga menenteng sepatu bututnya. Untuk menghindari buruk sangka, tentu dia juga memasukkannya ke dalam kantung plastik hitam yang cukup besar. Sementara itu Hendi juga tidak melenggang dengan tangan hampa. Tangan kanannya memikul sebatang linggis berukuran pendek yang telah dibungkusnya dengan koran bekas.

Kampung tempat mereka tinggal cukup padat penduduk, sehingga rupanya tak mudah mereka dapat langsung menemukan lokasi yang tepat. Walau demikian, mereka berdua tetap sepakat, proses penguburan harus selesai malam ini juga.

Saat melalui sebuah persimpangan, mereka menjumpai dua orang bapak-bapak yang tengah duduk di atas sebuah bangku panjang di tepi jalan sebelah kanan. Dari jauh dua bapak-bapak itu tampak terus memperhatikan mereka, bembuat mereka berdua jadi sedikit gugup. Maklum, belakangan ini memang tengah ramai diperbincangkan, bahwa kampung ini sedang rawan dari kemalingan.

“E... Mas,” panggil salah seorang dari dua bapak-bapak yang tengah duduk itu, membuat mereka tentunya segera menghentikan langkah.

“Oh, iya Pak. Ada apa, yah?” Sahut Youga tersenyum ramah.

“Pinjem koreknya dong!” lanjut bapak itu, sementara di ujung sebelah kanan bibirnya tampak terselip sebatang rokok kretek yang siap dibakar.

“Oh, maaf Pak, nggak punya korek, kami nggak merokok!”

“Waduh, kacau dong kalo begini ceritanya,” keluh bapak itu tampak sangat kecewa. Mungkin dia sudah begitu sakau dengan asap tembakaunya? “E... ngomong-ngomong, kalian pada mau kemana malem-malem begini?”

“Emm, mau ada urusan sedikit, Pak!”

“Oh ya? Ada urusan apa?”

Mendengar pertanyaan kepo itu, Youga dan Hendi pun saling menatap. Tentu mereka paham, maksud pertanyaan jelas menggambarkan sebuah sikap kecurigaan. Maka, Youga pun segera mengambil tindakan.

“Wah, maaf Pak! Kalo mau ngajak ngobrol, mending lain kali aja deh, kita lagi buru-buru banget soalnya!” Seru Youga.

“Oh, iya, maaf!” Balas bapak itu sedikit merasa bersalah. “Saya cuma mau mengingatkan saja kok, agar kalian berhati-hati! Kalian sudah dengar kan, kalau saat ini keadaan kampung sedang tidak aman? Banyak penjahat berkeliaran.”

“Iya, sudah dengar kok, Pak! Terima kasih sudah diingatkan! Kalau begitu, kami permisi!”

Youga dan Hendi kembali melangkah menyusuri jalan. Tak lama kemudian, di ujung jalan mereka kembali menemukan sebuah tikungan. Tapi kali ini mereka beruntung, karena tepat di sebelah kanannya, terhampar sebuah lahan kosong yang lumayan luas. Mereka berdua pun langsung sepakat, kalau itu adalah tempat yang tepat. Selain karena suasananya yang tampak gelap, di atas lahan itu juga banyak ditumbuhi rumput ilalang yang lumayan tinggi, sehingga cukup mudah untuk bersembunyi. Dan yang paling terpenting, mereka tak merasakan satupun keberadaan pasangan muda-mudi yang tengah asyik berbuat mesum di sana.

Mereka memilih sudut sebelah kanan yang tentunya paling jauh dari jalanan. Tanpa banyak bicara, Hendi pun langsung menancapkan batang linggisnya ketanah.

“Apa nggak perlu sambil dibacain mantra-mantra?” gumam Youga berjongkok sambil terus menyorot Hendi dengan lampu handphone-nya.

“Emang lo bisa?” sahut Hendi menengok sambil berhenti menggali.

“Enggak, sih! Cuma kalo lo bisa, sekalian lo baca aja. Lumayan kan, buat nutupin syarat-syaratnya yang kurang.”

“Ah, kayaknya itu sih cuma formalitas aja Bro, jadi gue rasa nggak perlu. Berdoa dalam hati, sepertinya udah cukup,” papar Hendi kemudian lanjut menggali.

Tak diduga. Di sisi lainnya, mereka berdua sama sekali tidak sadar, rupanya dua orang bapak-bapak yang sempat mereka temui tadi, diam-diam membuntuti. Keduanya terus mengamati mereka dari balik semak, bahkan hingga prosesi penguburan selesai. Setelah Youga dan Hendi beranjak pulang, kedua bapak-bapak itu pun segera keluar dari tempat persembunyiannya, lalu mendekati lokasi penguburan.

“Apa Bos yakin, kalau yang mereka kubur itu barang berharga?” ucap salah satu dari dua bapak-bapak itu, yang bertubuh gempal, bersuara nge-bass, berkepala plontos, dengan wajah tampak begitu polos.

“Ya, kita liat aja langsung. Siapa tahu aja perkiraan gue bener?” sahut bosnya yang berkumis tebal mengenakan topi kupluk hitam. “Ya udah, cepet gali,” lanjut si Bos menyuruh si Botak.

Walau dipendam cukup dalam, namun tanahnya yang masih gembur membuat si Botak cukup mudah menggalinya kembali walau hanya menggunakan batang ranting kering. Dalam waktu relatif singkat, dia pun berhasil mendapatkannya, dan langsung mengangkatnya.

“Sini, biar gue aja yang buka,” tukas si Bos sambil menarik sepatu yang masih terbungkus itu dari tangan si Botak, lalu dia pun bergegas membukanya. “Buset, apaan nih? Sepatu butut,” umpat si Bos melotot, yang kemudian begitu saja dilemparnya sepatu butut itu ke tanah.

“Sepatu apaan, Bos?” si Botak penasaran sambil bergegas memungutnya kembali, lalu memperhatikannya dengan seksama. “E… barang kali ini sepatu pusaka, Bos. Kalo sepatu biasa, kan cukup dibuang ke tempat sampah aja.”

“Iya juga sih,” si Bos mempertimbangkan.“Ya udah, kalo gitu, lo pake deh.”

“E… tapi Bos? Saya kan udah pake sepatu?”

“Ya, buka lah... sepatu yang lo pake. Bego lo,” si Bos kesal dengan keluguan si Botak, lalu dia pun langsung bergegas melangkah meninggalkannya.

Si Botak pun menurut. Segera ditanggalkan kedua sepatunya, lalu dipakainya sepatu butut itu di kaki kirinya. Entah apa yang dipikirkan si Botak? Mungkin dia terlalu bingung menyimpan sepasang sepatunya yang tampak masih cukup bagus. Dia pun membungkusnya dengan kain putih yang masih berisi kembang tujuh rupa itu, lalu dimasukkannya ke dalam lubang tadi, kemudian menguruknya.

“Woy, cepetan…,” teriak si Bos yang sudah berada cukup jauh. Si Botak pun bergegas berlari menyusulnya. “Lama banget sih lo,” geram si Bos saat si Botak telah sampai di sebelahnya.

“Sepatunya sempit Bos, kaki saya jadi sakit,” keluh si Botak.

Saat melihat ke arah kaki si Botak yang hanya memakai sepatu sebelah, si Bos pun terkejut. “Lho, sepatu lo mana?”

“Saya tinggal di sana Bos. Kan tadi Bos yang suruh saya pake sepatu ini?”

Akh… ya udah, ya udah. Kita bisa kehabisan waktu nih gara-gara ketololan lo.”

 

* * *

 

Youga dan Hendi telah kembali ke kamarnya. Youga merasa begitu lega hatinya, karena cukup yakin sepatu sial itu tak akan pernah kembali lagi selamanya. Tubuhnya sudah begitu letih karena telah melewati hari yang begitu berat. Setelah sebelumnya sempat buang hajat, dia pun memutuskan segera tidur, agar besok pagi tak kesiangan kuliah. Begitu pun dengan Hendi.

Waktu telah menunjukkan tepat pukul dua dini hari. Malam menjelang fajar yang begitu sunyi, ditambah suhu yang cukup rendah, membuat kedua pemuda itu dapat terlelap seketika. Tapi, rasanya baru sekejap saja mereka berdua masuk ke alam mimpi, tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan dari mulut beberapa orang warga.

“Maling… maling….”

Hendi pun terbangun mendengar suara teriakan yang disusul suara gaduh yang semakin lama semakin ramai itu.

“Ga, Ga,” Hendi mengguncang lengan Youga pelan.

“Hmm...,” sahut Youga lemas, terlalu malas bangun.

“Di bawah rame banget. Kayaknya ada maling.”

“Bodo amat ah,” balas Youga tanpa sedikit pun membuka matanya, lalu memiringkan tubuhnya membelakangi Hendi.

Hendi tampaknya juga setuju dengan Youga, karena mereka memang harus bangun pagi-pagi sekali. Tapi rupanya suara gaduh yang kadang terdengar seperti orang marah-marah itu semakin terdengar berisik, membuat Hendi tak begitu saja dapat tidur kembali. Beberapa menit kemudian, diantara suara gaduh itu juga terdengar suara ngiung sirine mobil polisi yang memekakkan telinga, hingga membuat Hendi bergegas menyalakan lampu kamar, lalu segera keluar untuk melongok ke bawah dari balkon.

Rupanya suara gaduh itu berasal dari beberapa orang warga yang tengah berkumpul di depan rumah Pak RT, yang berada tak jauh di seberang jalan rumah kos mereka. Karena penasaran, Hendi pun bergegas kembali membangunkan Youga.

Kali ini Hendi cukup memaksa, sehingga mau tidak mau Youga harus menurutinya untuk ikut melongok ke bawah dari balkon.

“Ada apaan, sih?” tanya Youga dengan mata yang masih terlalu berat dibuka.

“Kayaknya sih, maling. Kita ke sana yuk?”

Walau sebenarnya sangat malas, namun Youga tetap ikut melangkah di belakang Hendi, karena dia yakin, walau dia menolak, Hendi pasti akan tetap terus memaksanya seperti seorang bocah.

Persis seperti yang diduga Hendi, akar dari keributan itu ternyata memang karena adanya sebuah kasus pencurian. Barang yang dicuri adalah sebuah mobil. Pencurinya memang sempat kabur, namun beberapa pemuda yang tengah ronda berhasil meringkusnya di tengah jalan.

Sungguh benar-benar tak mereka duga. Rupanya pencuri itu adalah dua orang bapak-bapak yang sepat mereka temui sebelum mengubur sepatu keramatnya. Mereka pun begitu terkejut. Sekalipun wajah kedua pencuri itu sudah bonyok dihakimi warga, namun ciri-ciri pakaian keduanya masih terekam jelas dalam ingatan mereka.

“Kenapa kalian mencuri?” bentak Pak RT, berharap dapat perhatian dari para warganya.

“Ampun Pak…,” si Bos merengek sambil berjongkok dengan kedua tangan di atas kepala bersebelahan dengan si Botak.

“Ah, sudah, sudah,” ucap salah seorang polisi. “Kita selesaikan saja persoalan ini di kantor.”

Beberapa saat kemudian, para polisi pun mulai menggiring kedua pencuri itu menuju ke mobil. Namun saat baru beberapa langkah, tiba-tiba salah seorang warga terlihat mendekati para polisi itu, hingga mereka semua serentak menghentikan langkah.

“Ini sekalian dibawa, Pak,” ujar lelaki yang mendekat itu, sembari menyodorkan sebuah benda.

“Apa itu?”tanya sang komandan mengernyit.

“Ini sepatu milik mereka Pak. Mungkin sekalian bisa dijadikan alat bukti.”

Melihat sepatu itu; Youga dan Hendi pun terkejut setengah mati, hingga kedua mata mereka terbelalak saling menatap. Tentu jelas, itu adalah sepatu ajaib yang sudah mereka kubur.

“Benar ini sepatu kalian? Tanya sang komandan kepada dua pencuri itu.

“E… bukan Pak,” sahut si Bos masih dengan suara merengek. “Itu milik mereka,” si Bos tanpa ragu menunjuk jarinya ke arah Youga dan Hendi.

Semakin terperanjatlah Youga dan Hendi, hingga wajah mereka seketika berubah pucat pasih.

“Oh, kalau begitu, bawa juga mereka berdua,” tukas sang komandan menyuruh anak buahnya.

“E… tapi Pak, kami nggak tahu apa-apa, sumpah. Kami tidak kenal dengan mereka,” ucap Youga kepada salah seorang polisi tengah memborgol kedua tangannya kebelakang.

“Silahkan kalian jelaskan nanti di kantor,” jawab si polisi.

Mereka berempat pun bergegas di bawa ke kantor Polsek, yang kebetulan masih berada dalam wilayah kampung mereka tinggal.

Begitu sampai di kantor Polsek, mereka semua langsung dimintai keterangan satu persatu. Tentunya tak ada alasan bagi Youga dan juga Hendi untuk menutupi tentang keanehan sepatu keramat itu, karena itu memang satu-satunya argumen yang mereka punya. Walau para petugas kepolisian sudah sempat seakan memberi isyarat bahwa mereka berdua tidak ada hubungan apapun dengan kasus pencurian itu, namun rupanya malam ini mereka berdua tetap harus ikut mencicipi busuknya aroma ruang tahanan sementara kantor Polsek tersebut.

 

* * *

How do you feel about this chapter?

0 2 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • syalu

    Hehehe... lucu, lucu, lucu....

    Comment on chapter JONES (Jomblo Ngenes)
Similar Tags
Warna Rasa
179      39     0     
Romance
Novel remaja
Misteri pada Mantan yang Tersakiti
559      356     6     
Short Story
98% gadis di dunia adalah wujud feminisme. Apakah kau termasuk 2% lainnya?
Broken Wings
19      9     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...
Power Of Bias
0      0     0     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
Adelaide - He Will Back Soon
19      8     0     
Romance
Kisah tentang kesalah pahaman yang mengitari tiga insan manusia.
WALK AMONG THE DARK
4      4     0     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
What If I Die Tomorrow?
4      4     0     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
C L U E L E S S
500      386     5     
Short Story
Clueless about your talent? Well you are not alone!
Sampai Nanti
42      9     0     
Romance
Sampai nanti bukan jaminan, bahwa kau dan aku akan bertemu dengan saling merindu. ----- Baskara tidak pernah bermimpi akan bertemu Tiara, sosok yang mengubah hari-hari biasanya menjadi luar biasa; sosok yang mengajarkannya banyak hal. Bahwa kau bisa tampak malu-malu namun memiliki hati yang begitu berani. Bahwa kau bisa tampak lemah lembut, namun memiliki tekad sekuat baja. Kau bisa berharap, ...
Pangeran Benawa
157      29     0     
Fan Fiction
Kisah fiksi Pangeran Benawa bermula dari usaha Raden Trenggana dalam menaklukkan bekas bawahan Majapahit ,dari Tuban hingga Blambangan, dan berhadapan dengan Pangeran Parikesit dan Raden Gagak Panji beserta keluarganya. Sementara itu, para bangsawan Demak dan Jipang saling mendahului dalam klaim sebagai ahli waris tahta yang ditinggalkan Raden Yunus. Pangeran Benawa memasuki hingar bingar d...