Tante Felya : Blue, kamu tahu Oreyns ada dimana? Pasalnya tadi malam Oreyns pergi tanpa pamit sama orang rumah dan sampai sekarang belum pulang, mungkin Oreyns bilang sama kamu mau pergi kemana gitu.
Pesan dari mamanya Oreyns yang menghampiri ponselnya, berhasil mengejutkan Blue di pagi hari ini. Membaca pesan itu, tiba-tiba membuat ingatannya mengulas ulang sikap Oreyns yang tidak seperti biasa. Dingin. Tatapan Oreyns yang selalu bisa menenangkannya pun, tadi malam terasa berbeda. Seakan penuh amarah dan siap membunuh siapa saja yang mencari gara-gara dengan cowok itu.
Drrt... Drrt... Drrt...
Getaran ponsel yang masih ada di genggamannya, membuyarkan lamunan Blue tentang Oreyns. Notifikasi pesan dari tante Felya yang kembali terpampang di layar ponselnya, menyadarkannya bahwa sejak tadi ia belum membalas pesan dari wanita yang selalu lembut kepadanya itu.
Tante Felya : Sebelumnya tante minta maaf ganggu kamu pagi-pagi.
Blue : Nggak ganggu kok tante. Tapi maaf Blue nggak tahu Oreyns ada dimana.
Setelah mengirimkan balasan untuk tante Felya, Blue beranjak mandi. Berharap setelah mandi, bayang-bayang perubahan sikap Oreyns yang kini masih menari-nari dipikirannya menghilang. Tapi nyatanya, walaupun ia sudah rapi dan siap untuk pergi ke sekolah pun hal itu masih memenuhi pikirannya.
'Tok... Tok... Tok... '
"Non?" panggil suara melengking di balik pintu kamarnya yang Blue yakini milik bik Yuri, pembantu yang bekerja setengah waktu di rumahnya.
"Aku udah bangun bik," seru Blue, hafal dengan kebiasaan bik Yuri yang setiap pagi membangunkannya.
"Bibi tau. Bibi cuma mau bilang, Non ditungguin Aden di bawah."
Gerakan tangan Blue yang sedang menyisir rambut di depan meja rias terhenti. Sejenak ia terdiam, memikirkan perkataan bik Yuri yang terdapat kata 'Aden' yang merupakan panggilan wanita paruh baya itu kepada Oreyns. Tapi cepat-cepat ia menggeleng pelan. Kalau Oreyns ada dirumahnya, pasti Oreyns sudah pulang terlebih dulu kerumahnya sendiri dan tante Felya tidak akan menanyakan keberadaan Oreyns seperti beberapa menit lalu.
"Siap-siapnya jangan lama Non. Nanti Aden nunggunya kelamaan," bik Yuri berbicara dengan suara yang naik beberapa oktaf, membuat Blue terkesiap dan langsung meneriakkan jawaban untuk wanita paruh baya itu, "Iya, sebentar lagi selesai bik."
Dengan segera Blue menyambar tas berwarna biru tosca yang biasa menemaninya menuntut ilmu setelah sekali lagi mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya sudah rapi. Lantas, berjalan keluar dari kamarnya, menuruni tangga menuju lantai dasar. Dan ketika di anak tangga terakhir ia yang tadinya sedikit berlari memperlambat langkahnya, melihat mamanya yang sedang membaca majalah ditemani secangkir susu coklat di ruang makan. Jujur, ia merindukan saat-saat dirinya bersama mamanya menyeduh minuman itu untuk dinikmati keluarga bahagianya dulu jauh sebelum takdir menyesakkan menghancurkan semuanya.
"Non, jangan berdiri di situ aja. Ayo sarapan, biar nggak telat ke sekolah. Aden juga udah kesini, nungguin Non dari tadi," ujar bik Yuri ketika baru kembali dari ruang tamu dengan membawa nampan yang ada di pelukannya.
Blue hanya bergeming. Ia lagi-lagi merasa tidak percaya Oreyns ada dirumahnya. Sampai genggaman hangat pada tangannya, menarik dirinya ke salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. Menyadari mamanya yang melakukan itu, ia menyentakkan tangannya pelan. Membuat genggaman yang baru beberapa saat bersinggah ditangannya terlepas.
Mendapati mimik wajah mamanya yang terlihat sedih, Blue melangkah lebar meninggalkan ruang makan tanpa sepatah katapun. Ia merasa hatinya teriris, mengetahui jelas behwa tindakannya yang menjadi penyebab raut itu. Dan di ruang tamu, ia bersyukur menemukan Oreyns, satu-satunya orang yang bisa membawa ketenangan untuk dirinya. Karena hal itu yang saat ini ia butuhkan.
****
"Tadi kok tante Felya ngechat gue tanyain keberadaan lo. Emang lo belum pulang ke rumah?"
Setelah beberapa saat mengatupkan bibir, Blue memilih membuka pembicaraan. Karena jika ia membiarkan suasana hening semakin menjadi, maka apa yang baru saja ia lakukan kepada mamanya akan bertambah jelas berputar di memorinya. Membuat penyesalan yang berusaha ia sangkal, hadir dan seakan menghakiminya. Walaupun sebenarnya ia ragu mengajak bicara Oreyns mengingat perubahan sikap cowok itu semalam kepadanya.
Mendengar pertanyaan Blue, raut khawatir yang tercetak dimuka Oreyns berubah menjadi datar, "Nggak sempat," jawabnya singkat.
"Tapi lo sempat ke rumah gue dan nganterin gue ke sekolah?" tanya Blue mulai tersulut emosi mendengar jawaban Oreyns yang tidak merasa bersalah.
"Itu urusannya beda lagi."
"Iya itu urusannya memang beda. Dan harusnya lo lebih memprioritaskan orang tua lo. Kasihan tante Felya nyariin lo, Beliau khawatir kalau ada apa-apa yang menimpa lo."
Oreyns tersenyum miring, "Semua itu bullshit. Dia cuma takut kalau suaminya tahu gue pergi. Dia enggak khawatir sama gue, terlebih alasan Dia khawatir karena gue anaknya."
"Maksud lo bilang kedua orangtua lo sendiri kayak gitu gitu apa?" tanya Blue menyipitkan matanya penuh intimidasi.
****
Kereen
Comment on chapter Prolog