“Kenapa sih, Kak?” Tiara menatap Aldo dengan pandangan yang sulit Aldo interpretasikan. Kecewa? Marah? Sedih? Semuanya ada di sana.
“Aku udah bilang berkali-kali sama kamu kalau aku nggak suka kamu ikut pencalonan itu!”
Tiara menghela nafas dalam dan panjang, berusaha meredakan gemuruh di hatinya. Siang itu Tiara memutuskan untuk berbicara dengan Aldo di belakang Aula sekolah yang sepi. Tiara ingin mendengar alasan Aldo, untuk kemudian memutuskan langkah selanjutnya.
“Dan aku juga udah bilang berkali-kali sama kakak kalau aku nggak akan mundur dari pencalonan itu,” sahut Tiara kalem. Batu bertemu dengan batu. Apa jadinya?
“Kenapa kamu pengen banget jadi pengurus OSIS sih, Ti? Kamu sama aja bersusah payah untuk ngedapetin posisi sebagai babu nomor satu di sekolah! Apa sih yang bakal kamu dapet dari ikut ini semua? Capek, iya! Nilai bagus, nggak! Uang juga nggak! Apa?!”
Tiara meremas roknya dengan geram. Aldo bener-bener nggak tau apa-apa tentang OSIS. Dan rasanya percuma menjelaskan sesuatu pada seseorang yang sudah menutup mata dan telinganya seperti Aldo.
“Mau jadi babu kek, mau capek kek, mau terbang ke Mars kek, aku nggak peduli, Kak! Aku nggak akan mengundurkan diri. Nggak sama sekali.” Tiara melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap Aldo dengan pandangan tajam menantang. Tiara memang dikenal sebagai cewek yang lembut dan sopan, tetapi untuk urusan prinsip, Tiara bisa menanggalkan semua kelembutannya.
“Fine! Kalo kamu nggak mau ngundurin diri....” Suara Aldo meninggi tapi kalimatnya terputus di tengah jalan, seperti dirinya sendiri nggak yakin ancaman apa yang bisa Ia berikan.
“Kalo aku nggak mau, kenapa? Kakak mau kita putus? Oke! Kita pu...”
“Nggak! Bukan itu yang aku mau, Ti. Aku nggak mau putus dari kamu.” Tiba-tiba suara Aldo memelan dan wajahnya memelas. Ada ketakutan yang kentara di sorot matanya yang menatap Tiara dalam-dalam.
Tiara menelan ludahnya dengan susah payah. Kalau Aldo terus saja bersikap seperti ini, Tiara merasa makin tidak berdaya.
“Kalo gitu jangan halang-halangin aku untuk jadi pengurus OSIS lagi.” Tiara masih berusaha bersikap dingin pada Aldo yang mulai menyadari kegagalannya untuk mencegah Tiara kali ini.
“Kenapa sih, Ti? Apa kamu naksir seseorang di OSIS?”
Deg. Tepat kena sasaran. Jantung Tiara bak dihantam sebuah batu besar. Apa ini yang namanya insting? Kenapa tiba-tiba Aldo bertanya seperti itu? Apa perasaan Tiara untuk Baskara terlihat jelas? Nggak, nggak mungkin! Kalau iya, orang-orang pertama yang menyadari hal itu pastilah Rangga dan Shasa yang selalu bersamanya, bukan Aldo.
Tiara berusaha menatap apapun selain mata Aldo. Kalau ditanya terang-terangan seperti ini, sulit bagi Tiara untuk berbohong. Jangan bersuara! Karena apapun yang akan keluar dari mulutnya 80% kemungkinannya adalah kebenaran. Di saat-saat seperti ini, di saat-saat Tiara harus berbohong, biasanya Tiara hemat kata-kata, hemat gerakan; hanya mengangguk atau menggeleng seperlunya.
“Ng.. Nggak!” Tiara menggeleng. “Apa perlu aku kasih kakak fotokopian visi dan misiku untuk jadi pengurus OSIS?”
* * *
Rangga dan Shasa bertukar pandang bingung ketika melihat sahabat mereka berdiam diri sejak hampir setengah jam yang lalu. Hanya matanya yang berbicara melalui air mata yang mengalir dalam diam.
Mereka bertiga sedang duduk di teras kamar Tiara sore itu. Kakak Tiara, Tamara, mengundang keduanya untuk datang ke rumah karena dirinya khawatir melihat adik perempuan satu-satunya itu sejak pulang sekolah hanya duduk diam sambil menangis tanpa mau mengeluarkan sepatah kata pun, apalagi bercerita mengenai apa yang membuatnya sedih.
Tiara menggigit bibirnya kemudian menyeka air mata di pipinya untuk yang kesekian kalinya. Pandangan matanya jauh ke depan, ke arah rumah-rumah tetangga yang dibangun berhimpit antara satu dengan yang lainnya. Jelas Tiara bukan sedang terpukau akan pemandangan yang sama sekali tidak menarik itu.
“Ti...” Shasa menyentuh pundak Tiara pelan, berusaha menarik perhatian gadis itu.
Tiara menoleh sambil menyunggingkan sekilas senyuman. Ia tahu bahwa Rangga dan Shasa berhak mendengar penjelasan darinya, tetapi Ia masih ingin berpikir. Dan Tiara tidak bisa berpikir sambil bicara. Paling tidak, untuk kali ini Ia ingin berpikir dalam diam.
“Ti...” Kali ini Rangga yang menyentuh lutut Tiara pelan. Rangga yakin ini semua ada hubungannya dengan surat pengunduran diri palsu yang dibuat Aldo kemarin, tetapi tidak biasanya Tiara diam seperti ini. Sahabatnya yang satu ini biasanya blak-blakan, yah, setidaknya pada dirinya dan Shasa. Kalau sedang bersedih, Tiara akan menangis sesenggukan, dan saat senang Ia akan tertawa terbahak-bahak. Tiara pribadi yang ekstrim. Tiara yang Ia kenal tidak pernah memandang kosong dengan air mata yang mengalir tanpa bosan. Tiara yang Ia kenal tidak pernah diam saat ada masalah. Tiara yang Ia kenal tidak bisa menyimpan perasaannya dari Rangga. Mungkinkah selama ini Rangga tidak benar-benar mengenal Tiara?
Rangga dan Shasa lagi-lagi melirik satu sama lain. Mereka mencoba berkomunikasi dalam diam, berusaha berdikusi mengenai cara membuat Tiara berhenti menangis, dan kemudian menceritakan apa masalah yang sebenarnya.
“Ti, kamu jangan gini terus... Ayo, cerita ke aku sama Rangga. Ada apa sebenernya? Apa ini semua ada hubungannya sama Aldo?” Shasa beertanya dengan sangat hati-hati.
Tiara mengangguk pelan, mengusap sisa-sisa air mata di pipinya dan menarik nafas dalam-dalam. Sudah cukup acara tangis-menangisnya kali ini. Saatnya menceritakan duduk perkaranya kepada dua sahabat yang telah dengan sabar menunggunya berbicara sejak tadi tanpa memaksa sedikitpun.
Tiara menarik nafas dalam dan panjang sebelum memulai, “Aku cuma sedih aja sama sikap Kak Aldo. Maksudku, kenapa sih dia sampai tega kayak gitu? Dia tau aku pengen banget masuk OSIS, tapi tetep aja dia ngelakuin itu semua. Rasanya... Rasanya seperti dia nggak peduli sama keinginanku dan lebih mentingin keinginannya sendiri. Apa itu yang namanya sayang, Sa?” Tiara menyeka lagi air mata yang sudah menggenang di matanya dan bersiap untuk jatuh.
Shasa ikut-ikutan menarik nafas dalam-dalam, berusaha menyusun kata-kata yang tepat di kepalanya. Dirinya sendiri benar-benar nggak habis pikir sama tindakan Aldo yang memalsukan surat pengunduran diri itu. Emang segitu jeleknya masuk OSIS dalam pandangan Aldo? Kenapa cowok itu nggak mau ngalah untuk kali ini aja dan biarkan Tiara mengikuti pilihan hatinya?
“Kamu udah tanya alasan Kak Aldo ngelarang kamu masuk OSIS, Ti?” tanya Shasa sambil menyodorkan sehelai tissue.
Tiara mengangguk lemah.
“Trus, apa katanya?” Kali ini Rangga yang bertanya. Sebenarnya Rangga nggak peduli apa alasan Aldo melarang Tiara. Tiara ingin masuk OSIS, dan cewek itu mampu. Lagipula, dilihat dari sisi manapun masuk OSIS nggak merugikan siapapun. Lantas, apa masalah Aldo? Apa dia senang membuat ceweknya sendiri sedih seperti sekarang?! Rangga merutuk sebal dalam hati.
Tiara cuma mengedikkan bahu. “Nggak jelas. Dari apa yang aku dapet sih dia ngerasa OSIS nggak bakal kasih manfaat apa-apa untuk aku, malah bakal merugikan. Aneh, kan? Bukannya guru-guru dan semua orang di dunia ini tau kalau masuk keorganisasian itu punya banyak manfaat? Asalkan kita bisa mengatur waktu dengan baik. Iya, kan? Aku bener kan, Ngga? Sha?” Tiara memandang kedua sahabatnya bergiliran.
Shasa dan Rangga mengangguk berbarengan bak dikomando.
***
niceeee :)
Comment on chapter Prolog