“Rangga! Mau kemana?” Tiara berlari kecil menyusul Rangga yang berjalan di koridor kelas X.
“Eh? Kamu mau ke ruang OSIS?” Tiara tersadar begitu melihat beberapa lembar kertas yang dipegang Rangga.
Rangga mengangguk, “Ini, mau ngumpulin tugas ke Kak Baskara. Kamu udah?”
Tiara menggeleng pelan. “Kak Nissa sedang ada jadwal tambahan di jam istirahat ini, jadi katanya aku bisa ketemu dia nanti sepulang sekolah.”
“Ohhh…” Rangga mengangguk pelan. “Yaudah, mau ikut ke Ruang OSIS?”
“Mau! Mau!” Tiara menjawab dengan penuh semangat sambil tersenyum lebar. Rambutnya yang dikepang kuda sampai bergoyang-goyang, turut menyatakan semangatnya. Oops! Tidakkah ini berlebihan? Kenapa ke Ruang OSIS saja Ia terlihat terlalu bersemangat? Bagaimana kalau Rangga jadi curiga? Duh! Bodohnya daku…
Rangga mengernyit heran.
Tuh, kan! Rangga curiga deh.
“Eh, engg.. Maksudku, aku kan mau ke kantin, sekalian gitu lewat Ruang OSIS juga, biar bareng kamu jalannya, hehe…” Tiara menepuk-nepuk lengan Rangga. Grogi.
Rangga masih mengernyit heran. Dirinya bukan baru kenal Tiara kemarin sore. Tapi Ia tidak yakin apa yang tidak beres, atau apa yang sedang disembunyikan Tiara kali ini.
“Kok bengong? Haloo…” Tiara melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Rangga.
“Eh? Yaudah, yuk. Nanti jam istirahat keburu habis.” Akhirnya Rangga tersadar dan mulai berjalan lagi menuju Ruang OSIS. Tentunya dengan Tiara yang mengekor riang di belakangnya.
***
“Aku tunggu di sini ya, Ngga.” Tiba-tiba Tiara menghentikan langkahnya tepat di belokan terakhir menuju Ruang OSIS.
“Lho? Ga sekalian ikut sampai ke depan Ruang OSIS? Kan Kantin masih setelah Ruang OSIS?” Rangga ikut menghentikan langkahnya sambil menatap Tiara heran.
“Nggg… Aku tunggu di sini aja, deh. Aku takut ketemu senior-senior lainnya padahal aku sedang gak ada urusan apa-apa. Nanti disangkanya aku cari muka lagi.”
Tiara yang awalnya kegirangan karena bisa ikut bertemu Baskara sekarang menjadi ciut. Nyalinya kini sudah bertransformasi menjadi sekecil semut.
“Hmm.. bener juga, apalagi setelah masalah surat palsu itu…” Rangga mengangguk sambil mendecakkan lidahnya. “Yaudah, kamu tunggu di sini ya. Ti. Nanti aku temenin ke kantin.” Rangga menepuk bahu Tiara pelan dan kemudian melanjutkan langkahnya ke ruang OSIS yang tepat berada setelah belokan itu.
Tiara menyandarkan punggungnya di tembok sambil menengadahkan kepalanya. Tiara ingin sekali ikut dengan Rangga untuk menyerahkan tugasnya ke Baskara. Tapi nyalinya yang mendadak tidak bisa diandalkan ini memaksanya untuk tidak melakukannya. Tidak hari ini.
“Hufftttt…” Tiara menghela napas panjang. Dadanya terasa terhimpit. Sesak.
Tiara memandangi taman di hadapannya. Di seberang taman adalah deretan Ruang Guru, Ruang Kepala Sekolah dan Ruang Tata Usaha di lantai 1, sementara lantai 2 dan 3 merupakan ruang kelas XII.
Tiara mengedarkan pandangannya ke lantai 2, berusaha mengingat letak ruang kelas XII IPA1, ruang kelas Baskara. Walaupun belum pernah menginjakkan kaki di gedung seberang, Tiara pernah membuat peta sekolah sebagai tugas MOS.
Kalau ingatannya tidak salah…
Ruang kelas XII IPA1 ada di pojok sebelah kirinya. Satu-satunya akses menuju kompleks Ruang OSIS dan ruang-ruang ekskul lainnya beserta kantin adalah melalui tangga di sisi gedung sebelah kiri sehingga semua siswa kelas XII yang ingin ke kantin atau ruang ekskul harus melewati tempat Tiara berdiri.
Itu artinya…
***
Baskara sibuk membolak-balik catatan Biologinya, berusaha menghapal mekanisme transkripsi dan translasi DNA yang akan diujiankan usai jam istirahat nanti. Ia sudah menghapalnya semalam, tetapi dirinya tidak tenang kalau belum membaca catatannya sekali lagi.
Sebenarnya Baskara ingin menghabiskan waktu istirahat di kelas saja agar lebih fokus dalam revisinya, tetapi apa daya, dirinya sudah membuat janji dengan Rangga untuk menerima tugasnya.
Baskara melirik jam di tangannya. 12.20. Itu artinya jam istirahat 10 menit lagi akan berakhir. Rupanya berjalan sambil membaca catatan dari ruang kelasnya menuju Ruang OSIS bukan ide yang cemerlang. Buktinya, ia telah menghabiskan 10 menit dan itu pun baru setengah jalan.
Akhirnya Baskara memutuskan untuk menutup catatannya dan mulai bergegas menuju Ruang OSIS sebelum waktu benar-benar habis. Lagipula, Ia harus segera balik ke ruang kelasnya kalau tidak ingin terlambat mengikuti ulangan harian nanti.
Baskara setengah berlari menyeberangi taman pembatas antara kompleks kelasnya dan kompleks ruang ekskul sebelum akhirnya….
“Tiara.” Baskara menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba, hingga membuatnya nyaris tersandung kakinya sendiri. Tanpa sadar Baskara membisikkan nama Tiara, gadis yang sedang menengadah memandangi bangunan di hadapannya sambil bersandar di dinding.
Baskara segera berlindung di balik pohon yang menaungi taman sekolah. Jaraknya dengan Tiara mungkin hanya 10 langkah.
“Huahhh..” Baskara menarik dan menghembuskan napas dalam dan pelan. Hampir saja!
Hampir saja aku berjalan melewati Tiara.
Baskara meremas buku catatannya dengan gelisah. Telapak tangannya berkeringat. Jantungnya berdebar sungguh cepat. Menyesakkan.
Aku gak akan tau apa yang harus aku lakukan kalau aku benar-benar melewati Tiara.
Memang, sungguh tidak mungkin jika Baskara hanya lewat tanpa menyapa. Gadis itu berdiri tepat sebelum belokan menuju Ruang OSIS. Rasanya tidak mungkin jika berjalan di sana tanpa melihat Tiara.
Bahkan jika Baskara pura-pura membaca catatannya dengan khusyuk, jarak antara Baskara dan Tiara saat dirinya lewat akan sangat dekat. Sungguh sangat dekat. Bahkan mungkin Baskara bisa mendengar suara napas gadis itu!
Baskara tidak yakin jantungnya bisa kooperatif saat itu. Baskara juga tidak yakin keringat dingin di dahinya ini akan berhenti mengalir.
Baskara takut akan dirinya sendiri. Bagaimana kalau Ia tidak bisa mengontrol dirinya? Bagaimana kalau kakinya berhenti tepat di hadapan gadis itu? Bagaimana kalau matanya tidak dapat berpaling dari wajah Tiara saat Ia berada begitu dekat dengannya? Bagaimana kalau…
Bagaimana kalau Tiara ternyata sudah benar-benar melupakannya?
Tidak, Tiara tidak akan melupakan namanya. Baskara Adiputera adalah sosok yang dikenal hampir setiap siswa di sekolah. Tiara tidak akan melupakan wajah Baskara yang senantiasa terpampang di papan pengurus OSIS.
Tapi…
Tiara mungkin sudah melupakan kisah mereka.
Kisah yang Baskara tutup sepihak hampir 3 tahun yang lalu.
***
“Lho? Kenapa tugasnya masih kamu bawa-bawa? Ada bagian yang salah?” Tiara kaget mendapati Rangga yang kembali sambil tetap membawa kertas di tangannya.
Rangga menggeleng lesu. “Kak Baskara gak ada di Ruang OSIS. Kata kakak-kakak yang lain mungkin Kak Baskara gak akan datang karena setelah ini kelasnya ulangan Biologi.”
Tiara mengangguk-angguk sambil melirik jam tangannya, “Masuk akal. Ini juga udah jam 12.25. Lima menit lagi bel masuk.”
“Iya nih. Kamu mau beli sesuatu dulu di kantin buat ganjel perut? Duh, maaf ya, gara-gara nunggu aku kamu jadi gak makan siang.”
“Idih, tumben-tumbenan minta maaf!” Tiara meninju lengan Rangga pelan sambil tertawa. “Santaii.. Aku sarapan banyak tadi pagi, jadi masih amann…” Lanjut Tiara sambil mengusap perutnya.
“Haha, dasar! Yaudah, mau langsung balik ke kelas?”
“Yuk!”
Tiara berjalan di sisi Rangga. Sesekali Ia menoleh ke arah kelas XII IPA1, berharap ada sosok Baskara di balkoni kelas itu.
Tentu saja, harapan tinggal harapan. Selalu seperti itu.
***
“Sekarang kan?” Rangga menghampiri Tiara yang sedang sibuk memasukkan buku catatan dan alat tulisnya ke dalam tas. Tidak lupa Ia menarik selembar kertas dari map beningnya: tugas pencalonan OSIS yang akan dikumpulkannya sebelum meninggalkan sekolah siang ini.
Tiara mengangguk, “He-eh. Kamu mau coba cari Kak Baskara sekarang?”
“Iya, bareng kamu aja. Siapa tahu pulang sekolah Kak Baskara mampir di ruang OSIS. Lagipula deadline tugas ini kan hari ini banget.”
“Kalau Kak Baskara ternyata gak ada di ruang OSIS? Udah pulang gitu?”
“Yaa… Mau gak mau aku harus ke rumahnya.”
“Ikut!” Tiara nyaris berteriak saat mendengar Rangga berencana ke rumah Baskara. Duh, kenapa sih mulutnya susah banget untuk dikontrol di saat-saat seperti ini? Tiara merutuk kesal setelah menyadari bahwa Ia baru saja bereaksi berlebihan di hadapan Rangga.
Rangga mengernyit heran. “Semangat amat, Buuk?”
“Ah, bercanda kali, Ngga!” Tiara hanya cengengesan. “Yuk! Nanti kakak-kakak OSIS keburu pulang, lho!” Tiara segera menggamit lengan Rangga dan menyeretnya menuju ruang OSIS sebelum Rangga sempat bertanya-tanya lagi.
***
Tinggal 1 belokan lagi…
Tiara menghitung langkahnya menuju ruang OSIS untuk melupakan jantungnya yang berdebar makin kencang.
Setengah hatinya berharap Baskara sudah pulang. Setengah hatinya lagi berharap Baskara masih ada di ruang OSIS sehingga Tiara dapat melihatnya.
Deg.
Tiara berhenti melangkah ketika Ia melihat Nissa dan Baskara yang sedang duduk santai di lantai di depan ruang OSIS yang menghadap ke kolam ikan kecil milik pengurus OSIS.
Tampak Nissa sedang memangku sebuah laptop. Mata mereka tertuju pada layar laptop yang tampaknya menampilkan sesuatu yang amat menarik sampai mereka kadang tertawa berbarengan.
Tiara menelan ludah dengan susah payah. Selama 2 bulan di sekolah ini, baru pertama kalinya Ia melihat Baskara tertawa dan tersenyum lebar seperti sekarang. Selama ini Baskara yang muncul di hadapannya adalah Baskara yang tanpa ekspersi. Baskara yang menatapnya dengan dingin, dengan penuh tanda tanya dan keraguan. Baskara yang lupa siapa Tiara.
“Hmm… Kayaknya kita datang di waktu yang salah.” Rangga berbisik di telinga Tiara.
Tiara menoleh dan menatap Rangga dengan penuh tanya. Apa maksudnya?
Belum sempat Tiara membuka mulutnya untuk bertanya, Nissa menoleh. Rupanya Ia menyadari ada sepasang anak yang berdiri tak jauh darinya.
“Oh, kalian.” Kata Nissa singkat kemudian menutup laptopnya dan berdiri. Ditepuk-tepuknya rok abu-abunya untuk menghilangkan debu yang menempel saat Ia duduk di lantai tadi.
Baskara juga ikut berdiri. Namun Tiara tidak sanggup menatap wajahnya. Tidak di saat mereka benar-benar berdiri berhadapan seperti ini. Tanpa celah untuk berpura-pura.
***
Tanpa celah untuk lari.
Baskara begitu terperanjat saat mengetahui bahwa “kalian” yang dimaksud Nissa adalah Rangga dan Tiara yang berdiri mematung sambil memegang selembar kertas, tak jauh dari tempatnya dan Nissa duduk.
5 langkah? 7 langkah? Atau lebih?
Baskara menatap lantai yang memisahkan mereka. Ia ingin menatap apa saja selain menatap ke depan.
“Kalian mau mengumpulkan tugas kan?” Tanya Nissa tanpa basa-basi.
“Iya, Kak.” Baskara mendengar Rangga menyahut.
“Bas, kamu mau ngasih tau tugas mereka selanjutnya bareng-bareng atau kita pisah?” Nissa berbisik di telinga Baskara.
Baskara yang sibuk menghitung panjang dan lebar ubin di hadapannya sontak kaget.
“Ap.. Apa, Nis?”
Nissa semakin mendekatkan bibirnya ke telinga Baskara. “Kamu mau ngasih tugas selanjutnya bareng-bareng atau terpisah? Kalo bareng kita bisa duduk di meja bundar di sana.” Nissa mengkode ke arah meja bundar kecil di dekat kolam ikan dengan matanya.
Bareng?! Nissa pasti sudah gila! Tidak, bukan Nissa yang gila, tapi dirinya!
Kalau mereka berempat duduk di meja yang sama…
Tidak, Baskara bahkan tidak sanggup membayangkannya.
“Hmm… Kayaknya lebih baik dipisah, Nis.” Jawab Baskara ragu.
“Baiklah.” Nissa mengedikkan bahu cuek dan berjalan mendekati Rangga dan Tiara. Tidak ada bedanya dipisah atau digabung.
“Ayo, Ti, ikut kakak.” Nissa berbelok di ujung dan berjalan ke arah taman di depan Ruang Guru, diikuti oleh Tiara yang berjalan pelan di belakangnya, seolah-olah tenaganya habis terserap tanah tempatnya berdiri mematung tadi.
“Ini, kak, tugasnya.” Tanpa Baskara sadari Rangga kini telah berdiri tepat di hadapannya.
“Oh, oke, aku terima. Kita duduk di meja bundar itu saja. Aku akan jelaskan tugasmu selanjutnya.”
Untuk pertama kalinya, bukan Baskara yang menjauh dan meninggalkan Tiara. Untuk pertama kalinya selama 2 bulan ini, Tiaralah yang berjalan menjauh darinya.
Baskara menghela napas panjang dan letih. Semua ini karena keputusannya. Selalu begini.
***
“Huaahh… Syukurlah ya Ti tugas selanjutnya gak terlalu berat.” Rangga berlari kecil berusaha menyeimbangkan langkah Tiara yang telah berjalan lebih dulu di depannya.
“Iya.” Tiara menjawab singkat.
“Aku lumayan kaget sih tadi…”
“Kaget kenapa?” Tiara mengalihkan pandangannya ke Rangga.
“Yaa.. Gak nyangka aja kita bakal ‘mencyduk’ Kak Baskara sama Kak Nissa lagi berduaan! Mungkin gossip itu ada benernya juga ya. Kamu udah pernah denger kan, Ti?”
Heh, sejak kapan Rangga peduli gossip?
Jantung Tiara berdebar lebih kencang lagi, kepalanya pening dan rasanya Ia ingin segera sampai rumah saja. Sudah cukup rasanya dosis kekagetannya hari ini, jantungnya butuh istirahat.
“Gosip? Enggak, aku gak pernah denger gosip tentang mereka.” Tiara menjawab pelan nyaris berbisik.
“Oya? Masa aku belum pernah cerita sih, Ti? Aku dengernya udah lama, waktu MOS kemarin. Kata salah satu temen sepletonku, Kak Nissa dan Kak Baskara itu pernah pacaran! Kalo gak salah waktu SMP. Iya, waktu SMP trus mereka putus setelah 2 tahun pacaran. Tapi yang bikin aku kaget, kenapa tadi mereka dua-duaan gitu ya? Mungkin mereka balikan? Mungkin aja ya hmm…” Rangga sibuk bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri tanpa memerhatikan Tiara yang sedari tadi sudah berhenti berjalan dan tertinggal di belakangnya.
“Lho? Ti? Kok ilang?” Rangga menengok ke belakang dan mendapati Tiara berdiri mematung sambil menunduk.
“Ti? Kamu kenapa? Sakit?” Rangga berbalik untuk menghampiri sahabatnya itu.
Tiara menggeleng lemah. “Enggak, gapapa. Aku boleh nebeng pulang?”
***
niceeee :)
Comment on chapter Prolog