Read More >>"> Kamu, Histeria, & Logika (15. Bertamu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu, Histeria, & Logika
MENU
About Us  

Sudah hampir satu minggu Abriel tidak bertemu dengan Isabel. Setiap kali Abriel mengetuk rumah gadis itu, setiap kali pula Bi Iceu yang membukakan pintu, memberitahu Abriel bahwa Isabel sedang pergi dan belum kembali.

Pernah satu waktu, Abriel menunggu hingga pukul dua malam di teras atas rumahnya, tapi Isabel tidak pernah nampak, baik itu menggunakan taksi atau bersama seseorang.

Isabel menghilang. Dan itu menjadi tanda tanya besar untuk Abriel. Ke manakah gerangan lenyapnya gadis itu?

Meski begitu, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, Abriel bisa melihat dari gorden yang membuka sedikit itu kalau lampu kamar Isabel menyala.

Hari ini, Abriel sengaja bangun lebih awal dan bersiap-siap lebih dulu bahkan dari waktunya si Mbak mengepel lantai.

Ia berjinjit-jinjit melewati lantai basah yang sedang si Mbak pulas.

"Mau ke mana, Kak El?" sapa si Mbak sambil mencelupkan gagang pel ke dalam ember, wajah perempuan berkulit sawo matang itu masih bengkak karena baru saja bangun tidur.

"Mau ke luar bentar, Mbak," jawab Abriel yang sudah berseragam lengkap, tapi belum mengenakan sepatu.

Meski baru lewat sembilan hari, Abriel merasa sudah bertahun-tahun lamanya Isabel datang ke rumahnya, dan tanpa tedeng aling-aling memintanya untuk jadi pacar gadis itu.

Kini, Abriel merasa harinya beringsut, menyeret dengan lamban dan monoton. Setiap hari ia hanya sekolah, mengikuti pelajaran tambahan dan langsung pulang ke rumah.

Di kamarnya, ia memaksa dirinya untuk meneruskan komiknya. Tapi selalu saja ia tidak puas dengan hasilnya. Berulang-ulang kali menyunting, chapter empat hingga lima yang dibuatnya setelah hari itu terasa ada yang kurang pas dan tanpa jiwa.

Ia mulai berpikir, apa mungkin jiwa karakter komiknya ikut terbang bersama kelenyapan gadis itu? Apa mungkin Isabel adalah energi mutlaknya untuk meneruskan komiknya? Kalau memang begitu, gawat sekali. Abriel mulai khawatir Isabel sudah membuatnya kecanduan, ketergantungan dengan eksistensi abu-abu gadis itu.

Jalanan saat itu masih gelap, udara terasa dingin menusuk.

Ia sudah berdiri di depan pohon besar rumah Isabel, mengawasi keadaan dari celah ranting yang menjulur seperti jemari raksasa. Seperti hari-hari sebelumnya, lampu kamar Isabel menyala, terlihat jelas dari gorden yang sedikit membuka.

Ada yang aneh, pikirnya. Selama seminggu, posisi celah gorden itu tidak berubah. Tidak ada yang menarik atau menyentuh gorden itu. Ia yakin akan hipotesanya. Isabel sudah tidak menempati kamar itu selama beberapa hari. Bi Iceu mungkin tidak berbohong pada Abriel tentang Isabel yang pergi dan belum kembali ke rumah, masalahnya Bi Iceu tidak memberitahu Abriel dengan rinci. Jelas untuk maksud tertentu, atas permintaan Isabel, barangkali.

Untuk membuktikan dugaannya itu, Abriel mengambil batu kecil, kemudian dilemparkannya batu kecil itu ke arah jendela Isabel. Tiga kali. Tiga batu kembali kepadanya, tapi jendela itu tidak bergerak. Setelah benar-benar yakin, ia mengetuk pintu rumah itu.

Kali ini, ibu Isabel yang membukakan pintu.

Wanita berambut cokelat terang sebahu itu masih mengenakan kimono tidurnya, wajahnya polos tanpa riasan, kacamata bening berbingkai hitam menjepit tulang hidungnya.

"Pagi?" Wanita itu menyapa Abriel.

"Pagi, Tante. Saya Abriel, dari di rumah depan. Maaf saya ganggu pagi-pagi sekali."

"Oh, ya, ya...," Wanita itu berujar seraya mengenali. "Maaf nih Tante sampai nggak hafal tetangga sendiri. Tante belakangan sering nggak di sini. Belum sempat ya ngobrol-ngobrol sama kamu."

Abriel melebarkan senyum, merasa sedikit santai melihat reaksi Ibu Isabel yang hangat. "Nggak apa-apa, Tante."

"Masuk dulu yuk, Abriel." Wanita itu melebarkan pintu, mempersilakan Abriel masuk.

"Oh, nggak perlu, Tante," tolak Abriel dengan sopan. "Saya ke sini cuma sebentar. Saya cuma mau nanya apa Isabel ada di rumah?"

"Isabel kan udah seminggu pergi," katanya. "Dia minta liburan gitu ke Tante," Ibu Isabel mengerlingkan bola mata dengan ironis, "padahal dia kan tiap hari kerjaannya juga main-main."

"Liburan?" Abriel melongo, tidak menduga akan mendengar jawaban itu.

"Katanya dia pengen refreshing gitu. Ke Jogja."

"Jogja? Sama siapa, Tante?"

"Sendiri. Tapi di sana ada Chika. Teman penanya dari SD, tinggalnya di Jogja. Dulu, Chika pernah nginap juga di tempat kita waktu masih di Jakarta. Sekarang gantian."

"Oh. Gitu." Abriel tidak bisa menyembunyikan nada terkejutnya. Jujur saja, sulit membayangkan Isabel memiliki kehidupan lain selain yang ia lihat di tempat ini. Bodoh sekali, batinnya, tentu saja di luar sana Isabel juga memiliki kehidupan dan pergaulannya sendiri! Isabel kan tidak muncul begitu saja hanya untuk menjadi tetangganya, seperti pemeran pembantu dalam kisah hidup Abriel: Isabel juga menjalani harinya selama dua puluh empat jam sehari—365 hari setahun, dengan pola pikir, rencana dan kegiatannya sendiri.

"Kalau Tante boleh tahu, cari Isabel ada apa, ya?"

"Nggak pa-pa, Tante. Belakangan kita sering ngobrol. Saya aneh aja Isabel tiba-tiba ngilang. Lagian kata Bi Iceu, Isabel—"

Mendadak saja Bi Iceu muncul di belakang Ibu Isabel.

"Eh, Aa. Kan saya udah bilang si Neng Abel teh pergi. Meuni nggak percaya gitu sama saya."

"Bi, bukannya saya nggak percaya. Tapi Bibi kan nggak pernah bilang kalau Isabel tuh perginya ke Jogja. Ya, saya tungguin Bi, tiap hari," tukas Abriel.

"Lho, Iceu, kenapa kamu nggak ngasih tahu Abriel?" Ibu Isabel menuntut penjelasan dari Bi Iceu.

Bi Iceu sekarang tampak salah tingkah. "Bu, kayak Ibu nggak tahu Neng Abel aja gimana... Saya teh kudu ginilah, gitulah, Bu. Saya lieur, Bu, sebenernya. Tapi gimana lagi, Neng Abel yang minta saya bilang gitu."

Ibu Isabel menghela napas seraya memandang Abriel dengan pandangan meminta maaf. "Maklum ya, Abriel. Tante aja suka nggak ngerti itu anak maunya apa."

"Saya ngerti, Tante." Abriel mengangguk, paham betul. Ia kemudian melirik jam tangannya. "Tante, kalau gitu saya permisi dulu, ya. Saya harus siap-siap ke sekolah. Makasih banyak waktunya. Maaf saya bikin heboh pagi-pagi gini."

"Ah, nggak pa-pa. Kamu coba aja telepon Abel, ya. Atau nanti Tante yang kasih tahu Abel kalau kamu nyariin."

Abriel merasa ada kesempatan. "Kebetulan saya belum punya nomornya Isabel. Apa saya boleh minta?"

Bi Iceu kontan berdeham keras dan sengaja. "Tanya Neng Abel dulu, Bu, mendingan, daripada kita disalahin."

"Emang dia mintanya gitu?"

"Iya, Bu."

Dengan memasang mimik wajah bersimpati pada Abriel, Ibu Isabel mengerucutkan bibirnya. "I'm so sorry, ya, Abriel... Tante mesti tanya Abel dulu kalau memang kayak begitu."

Abriel tidak bisa lagi menyembunyikan kekecewaanya. "Saya ngerti. Kalau gitu, saya permisi, Tante."

 

* * *

 

Jane menutup pintu rumahnya. Ia belum pernah melihat wajah anak setampan namun semurung itu. Ia merasa harus menghubungi Isabel, segera.

Sesampainya di kamarnya, Jane segera memungut ponselnya. Kemudian menelepon putrinya. Tidak diangkat. Ia mencobanya lagi hingga beberapa kali. Ia putuskan untuk mengirimkan SMS.

Bel, Abriel datang. Kata Iceu dia tiap hari nyariin kamu. Hubungi dia. Paling gak, kasih kabar sama dia.

Setelah Jane mengirimkan pesan itu, ia mendengar ketukan di pintu kamarnya. Iceu tampak gelisah.

"Saya sebenarnya kasihan sama A El, tapi gimana ya, Bu..."

"Nggak apa-apa, Ceu. Saya ngerti. Saya yakin Abriel juga anaknya baik, pasti dia bisa ngertiin."

"Bu," gumam Iceu lambat-lambat. "Kayaknya Neng Abel sebenarnya punya perasaaan juga sama A El. Buktinya, ada fotonya A El ditempel di kaca kamarnya Neng Abel. Terus ya, Bu, mereka teh suka surat-suratan, saya yang jadi kurirnya."

Jane mengangkat alisnya. "Masa?"

"Iya, Bu. Cuma kayaknya sekarang mereka teh lagi bertengkar. Saya sempat dengar mereka ngobrol di teras. A El kayaknya ngambek sama Neng Abel."

"Reaksi Abel gimana?"

"Neng Abel kayaknya rada-rada gelisah."

"Bagus, dong," ujar Jane langsung. Yang disambut dengan ekspresi bengong dari Iceu.

"Naha bagus, Bu?"

Jane menghela napas sebelum mengenyakkan diri ke sofa di ruang teve. "Itu artinya dia mengkhawatirkan sesuatu. Artinya, hatinya terusik. Manusia itu perlu punya perasaan seperti itu, Ceu. Kalau Abel sampai kayak gitu, Abriel pastinya berarti buat Abel."

Jane membatin, selama ini Isabel berusaha menemukan pemicu untuk mencubit sisi hatinya yang kebas, nyatanya pemicunya ada di pelupuk matanya sendiri. Hanya tinggal menunggu waktu Isabel menyadari sesuatu.

Jane tersenyum pada Iceu. "Abriel itu tampangnya oke ya, Ceu? Matching sama kepribadiannya. Kelihatannya juga sopan dan tulus, bener-bener kebalikan dari Abel yang sekarang, yang ngasal dan defensif. Semoga Abriel bisa bertahan, ya, Ceu, paling nggak sampai Abel bisa meraba perasaannya sendiri."

"Bu... saya jadi penasaran, memang apa sebetulnya kejadian yang pernah nimpa Neng Abel?"

Kali ini Jane terpaksa harus menghela napas yang lebih panjang.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (19)
  • Cassanouva

    Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini

    Kalau suda beres saya akan kasih review.

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ruriantysavana

    ka cek inbox ya aku ada pertanyaan2 tentang cerita ini
    mau di sini tp tkt spoiler hehe, thx

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ala_fifi

    baca karya ini jd pgn nulis yg bagus jg rasanya, pgn latihan banyak biar bisa gini

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Retha_Halim

    Good job, Author. On chaper41

    Comment on chapter 41. Dua Hati (TAMAT)
  • yurriansan

    diksinya mantep banget, kudu banyak belajar nih

    Comment on chapter 2. Pantomim Waktu
  • Andrafedya

    @firlyfreditha silakan dibaca sampai beres, kalau masih blm ketemu nanti kukasih tau deh :)

    Comment on chapter 14. Saling Melarutkan
  • Andrafedya

    @ayuasha febby baik, cuma temperamental. Tapi dia juga punya sisi baik, kok :) terima kasih sudah membaca

    Comment on chapter 14. Saling Melarutkan
  • firlyfreditha

    bersetting tahun brp kak?

    Comment on chapter 3. Pemantauan
  • ayuasha

    kesel sama Febby sumpah

    Comment on chapter 9. Tergelincir
  • Andrafedya

    @defreeya selamat membaca, jangan berhenti ya. Terima kasih banyak buat apresiasinya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
Similar Tags
Catatan 19 September
349      135     0     
Romance
Apa kamu tahu bagaimana definisi siapa mencintai siapa yang sebenarnya? Aku mencintai kamu dan kamu mencintai dia. Kira-kira seperti itulah singkatnya. Aku ingin bercerita sedikit kepadamu tentang bagaimana kita dulu, baiklah, ku harap kamu tetap mau mendengarkan cerita ini sampai akhir tanpa ada bagian yang tertinggal sedikit pun. Teruntuk kamu sosok 19 September ketahuilah bahwa dir...
One Step Closer
37      27     0     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
NWA
35      21     0     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini
Malaikat Hati
166      77     0     
Romance
Sebuah persinggahan dalam menjalin sebuah ikatan tidak lagi terasa dan bersemayam dihati. Malaikat hati yang mengajarkan betapa pentingnya sebuah senyuman dan pelukan. Mengenalkan arti bahagia dan arti kenyamanan hati. Disaat itu, aku sadar bahwa hidup bukan untuk menentukan sebuah pilihan tapi hidup untuk menjalin sebuah kepercayaan.
The War Galaxy
195      93     0     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
AraBella [COMPLETED]
542      205     0     
Mystery
Mengapa hidupku seperti ini, dibenci oleh orang terdekatku sendiri? Ara, seorang gadis berusia 14 tahun yang mengalami kelas akselerasi sebanyak dua kali oleh kedua orangtuanya dan adik kembarnya sendiri, Bella. Entah apa sebabnya, dia tidak tahu. Rasa penasaran selalu mnghampirinya. Suatu hari, saat dia sedang dihukum membersihkan gudang, dia menemukan sebuah hal mengejutkan. Dia dan sahabat...
Alya Kirana
22      15     0     
Romance
"Soal masalah kita? Oke, aku bahas." Aldi terlihat mengambil napas sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan berbicara, "Sebelumnya, aku udah kasih tau kan, kalau aku dibuat kecewa, semua perasaan aku akan hilang? Aku disini jaga perasaan kamu, gak deket sama cewek, gak ada hubungan sama cewek, tapi, kamu? Walaupun cuma diem aja, tapi teleponan, kan? Dan, aku tau? Enggak, kan? Kamu ba...
Black Envelope
4      4     0     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
IMAGINE
4      4     0     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Tenggelam dalam Aroma Senja
5      5     0     
Romance
Menerima, adalah satu kata yang membuat hati berat melangkah jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Menunggu, adalah satu kata yang membuat hati dihujani ribuan panah kerinduan. Apakah takdir membuat hati ikhlas dan bersabar? Apakah takdir langit menjatuhkan hukuman kebahagian? Entah, hanyak hati yang punya jawabannya.