8
Hari minggu pagi. Kirania sudah mandi dan memilih menyapu halaman rumah sendiri.
Itu sudah jadi kebiasaannya karena pada hari minggu adalah hari sepi. Pak Akinom tidak harus datang ke rumah karena Kirania tidak sekolah saat hari minggu, lalu Bibi yang biasanya masak dan bersih-bersih memang selalu libur di hari minggu.
Jadi daripada Kirania bengong di dalam rumah. Lebih baik baginya untuk bersih-bersih.
“Rajin banget anak gadis ini” suara ibu-ibu itu membuat fokus Kirania dari daun kering teralihkan.
“Iya, Buk. Sekali-kali… hehehe”
“Ibuk tinggal di rumah depan lho…”
“Oh, Ibu-nya Akbar” Kirania antusias dan menyenderkan sapu lidinya ke pohon lalu mendatangi Ibu Akbar untuk disalamnya.
“Kamu kenal anak Ibu?”
“Iya, sering nolongi Kirania”
“Kirania?”
“Saya Kirania, Buk”
“Ayo main ke rumah Kirania, Ibuk sekalian nih udah belanja. Di rumah ada siapa ? Ajak aja”
“Nggak ada orang, Buk, orangtua saya sedang ada tugas”
Ibu Akbar mengangguk pelan. Mungkin Ibu ini juga mengerti dan mungkin paham betul kebanyakan penghuni komplek adalah yang kedua orangtuanya bekerja. Karena Ibu dan Bapak Akbar juga adalah pekerja.
Mungkin karena ini juga Kirania baru pertama kali bertemu Ibu Akbar padahal rumahnya depan-depanan.
Orangtua pekerja yang sibuk biasanya merasa sedikit tenang jika memiliki rumah di komplek. Mengingat mereka jarang di rumah untuk menjaga anak dan komplek biasanya menyediakan satpam penjaga yang bergantian selama 24 jam.
“Yaudah makan di rumah aja, ayok” Ibu Akbar langsung menarik Kirania untuk dibawa ke rumahnya
Jam 8
Ini memang kebiasaan buruk Akbar di hari libur. Sehabis Shalat subuh di masjid depan, dia pasti tidur lagi dan baru bangun agak siang.
Bisa bangun sepagi ini di hari libur bukanlah hal lumrah. Akbar hanya tak tahan dengan suara berisik yang selalu tercipta ketika Ibu-nya berada di rumah. Suara-suara aktivitas Ibu-ibu saat pagi hari.
“Buk.. Bisa nggak kalo Ibuk mau mutar mesin cuci jangan hidupin air juga? Berisik Buk” keluh Akbar menuruni tangga rumahnya
“Gimana mesin cuci itu mau di putar kalo nggak ada airnya? Gila dia” kata Ibu Akbar berbisik ke Kirania yang sedang memotong wortel.
Kirania tertawa membalas omongan yang di dengarnya. Tawa itu membuat Akbar yang tadi memilih duduk di meja makan jadi ingin mengintip ke dapur.
“Kirania ngapain di sini?” Akbar masih mengucek-ngucek matanya tanda jika dia benar-benar baru bangun
“Malu Ibuk pas belanja tadi, anak orang udah mandi trus beberes rumah. Eh, anakku, ck, baru bangun”
“Ya Allah, Buk, cuman hari minggu aku gini. Lagian Kiraniapun nggak sebagus yang Ibuk bilang, nanti masakan rumah nih gosong tuh”
Akbar tak biasanya menyindir tapi mungkin karena dia sedikir iri pada Kirania yang malah dipuji Ibunya bukan dia. Padahal Ibunya jarang di rumah.
“Suuzhon kamu, Kirania ini kecilnya ikut sekolah masak. Dia lebih pintar masak daripada Ibuk!” nada suara Ibu terdengar membela
Kirania menjulurkan lidah tanda mengejek.
“Darimana Ibu tahu?” tanya Akbar curiga
“Dia cerita sendiri”
“Cuman omongan doang. Itu berarti fifty fifty, belum tentu. Anak kecil gitu.”
“Yaudah nanti kamu cicip sendiri! Sekarang mandi sana…!”
Kirania hanya tertawa mendengar perdebatan anak dan ibu-nya ini. Akbar memandang sinis tapi tetap menurut dan menuju kamar mandi.
***
“Berhentilah sebelum kenyang” sindir Ibu Akbar ke anaknya yang makan dengan lahap
Akbar tak peduli tetap saja makan. Bukan karena masakan Kirania enak karena bagi Akbar tak ada masakan yang lebih enak dari masakan Ibu-nya, tapi Akbar benar-benar rindu masakan rumahan.
Berbeda dengan Kirania yang memiliki Bibi yang masak dan bersih-bersih. Akbar benar-benar sendiri jika orangtuanya sibuk kerja, kalo lapar pesan makanan atau dadar telur. Jadi makanan rumahan yang berwarna baginya sama seperti berlian. Berharga.
Ibu Akbar dan Kirania yang sudah selesai makan sedari tadi hanya menggeleng geli.
Dering ponsel Kirania membuatnya sedikit melimpir supaya tak mengganggu Ibu dan anaknya itu. Awalnya Kirania sedikit bingung karena itu adalah panggilan dari nomot tak dikenal tapi Kirania tetap mengangkatnya.
“Halo?”
“KIRANIAA…”
“Pelan-pelan jangan teriak, ini siapa?”
“Ini siapa?”
“Kirania”
“Bukan, maksudnya kamu nanya aku siapa? Kamu enggak tahu siapa yang nelpon kamu?
“Nggak”
“Aku… kecewa!”
“Hahaha, aku juga, ketawa”
“Kecewa bukan ketawa”
“Hahaha”
Kirania menutup mulutnya supaya suara tawanya tidak mengundang perhatian Ibu Akbar dan Akbar.
“Bukk, Kirania pulang dulu ya? Ada urusan” teriak Kirania pamit
“Heh, bukannya cuci piring dulu” kata Akbar menjelek-jelekkan Kirania di depan Ibunya.
“Iya, hati-hati. Assalamualaikum”
“Wa alaikum salam” teriak Kirania menutup lagi pintu rumah Akbar setelah dia keluar
“Halo?” sapa Kirania pada si penelpon lagi
“Sibuk ya?
“Nggak, ini namanya siapa sih?”
“Sayang”
“Sayang?”
“Iya sayang kenapa?”
“Eh?”
“Hahahaha…. Ini aku”
“Hahaha aku udah tahu, cuman pura-pura nggak tahu aja” aku Kirania yang sudah berbaring di sofa ruang tamu rumahnya.
“Bandel ya..”
“Nggak lagi lagi hehehe”
“Tahu ini aku darimana?”
“Kamu selalu nyebut nama aku teriak-teriak gitu. Dasar PITOOOO”
“Hahaha… jangan teriak-teriak nanti direkrut jadi istri tarzan baru mau.”
“Baru mau?”
“Pasti maulah kalo aku jadi tarzannya kan?”
“Ge-er, kamu lagi dimana?”
“Maunya dihati kamu tapi pintunya masih ketutup”
“Hehehe”
“Buka dong biar aku bisa masuk”
Kirania diam.
“Aku nggak maksa. Tapi kalo pintu hatimu masih ketutup, kamu nggak bakal tahu aku ada di sana. Nggak bakal bisa kelihatan”
Kirania memegang dadanya ‘kalo pintu hatiku beneran ketutup nggak mungkin bakalan berdebar kencang gini’ pikirnya
“Aku sayang Kirania” suara Pito pelan sekali
“Ehm” Kirania berusaha mengeluarkan suara meski tak berbentuk kata
“Aku kangen Kirania sampai nelpon pagi-pagi. Pasti Kirania sibuk, maaf aku ganggu” nada bicara Pito terdengar sendu
“Nggak ganggu kok”
“Makasih Kirania”
“Iya”
Kirania tak memiliki ekspresi apa-apa di wajahnya selain sedih meski tanpa air mata. Pito sudah mematikan sambungan telpon tapi Kirania masih merapatkan ponselnya ke telinga.
Selalu begini. Kirania merasa sedih tiap mendengar kejujuran perasaan seorang pria kepadanya
***
ceritanya lucu juga, di save ah, lumayan buat bacaan sebelum tidur :D
Comment on chapter Keputusan terberat