15
“Kiraniaaa! Kiraniaaa! Tok tok tok Kiraniaaa!” panggil Akbar panik
Ceklek
“Eh, sejak kapan ada orang mau namu suara tok tok-nya disebut? Seharusnya tangan kamu yang ngantam pintu sampai terdengarlah tok tok”
“Ya namanya panik”
Kirania mengernyit tapi tetap mempersilakan Akbar masuk “Tenang ada Bibi juga di belakang lagi nyuci, pintunya kubiarin ke buka”
Akbar mengangguk dan membuka sepatu, tentu saja Akbar masih berseragam sekolah lengkap dengan tasnya. Pulang sekolah bukannya pulang ke rumah sendiri.
Akbar membuka tasnya lalu kotak pensilnya dan mengambil termometer di dalamnya.
“Gigit!” perintah Akbar “Ini baru!”
Kirania mengangguk
“Aku nggak bisa megang kening kamu jadi kita ukur panas badan kamu lewat termometer”
Bip bip
“38,3 C” Akbar membaca angka di termometer “kamu demam!”
“Apaansih Bar” keluh Kirania
“Mama aku tadi masuk siang, dia lihat kamu pulang hujan-hujanan. Aku bahkan sampai di telpon suruh pulang padahal lagi ujian praktek. Ya aku bilanglah ke Mama nanti pulang sekolah baru aku lihat kamu”
Kirania tersenyum
“Nih minum paracetamol” Akbar mengeluarkan satu tablet dari kotak pensilnya.
“Nanti aku minum, belum makan”
Akbar mengangguk “Aku panik banget, Mama tadi ceritanya di lebih-lebihkan” Akbar sampai bersender di sofa dan mengusap mukanya.
“Kamu suka ya sama aku?”
“Enggakk!”
“Tapi sampai sebegitunya..”
“Tadi Mama ngancam aku, Buk guru satu itu. Masak kalo kamu kenapa-napa dia nggak mau bayarin buku paket aku, padahal administrasi kan harus dilunasi, kalo nggak, nggak bisa ikut UAN. Gila kan masa depan aku dipertaruhkan”
“Ck, kirain”
“Padahal dokter di keluarga kami kan Bapakku, tapi Mama masak nyuruh aku yang ngecek kesehatan kamu” Akbar geleng-geleng
“Perlengkapan pengecekkan kamu juga lengkap, aku bahkan dapat obat” Kirania mengangkat satu tablet paracetamol yang diberi Akbar
“Semua itu mengalir begitu saja ketika kamu menjadi anak dokter” Akbar mulai kasihan dengan dirinya yang sekarang.
“Hahaha..”
“Oh, tadi ada yang Mama suruh aku tanyain ke kamu.” Akbar serius
“Apa?”
“Kata Mama tadi kamu bertengkar dengan cowok, siapa? Berani banget ganggu anak kompleks kita.”
“Itu Pito” suara Kirania pelan
“Tapi Mama bilang bajunya bebas”
Kirania mulai menceritakan semuanya, tentang kehidupan sekolahnya yang sedang tidak baik, tentang Sela, tentang Pito yang menolongnya.
“Jangan terlalu dipikirin nanti kamu tambah sakit” peringat Akbar seolah Kirania benar adalah pasiennya
“Aku.. Suka sama Pito”
Akbar membereskan kotak pensilnya ke dalam tas.
“Apa kamu sudah memberitahunya?” tanya Akbar
“Belum”
“Beritahukan kepadanya”
Entah sejak kapan Kirania menyukai Pito, tapi nyatanya itulah perasaan Kirania sekarang, mungkin sudah lama, mungkin Kirania baru sadar sekarang. Tapi bagaimana? Sela gimana?
***
Besoknya, Kirania datang pagi-pagi, lagi-lagi Pak Akinom menjemputnya kecepatan. Kirania tampak gelisah, sesekali dia melihat ke kanan dan ke kiri. Mungkin karena trauma, perlakuan tak baik kepadanya belakangan ini membuat mentalnya memburuk.
Snow white? Daripada salju putih, Kirania lebih tepat dikelilingi snow black. Salju hitam yang dingin, gelap dan juga sepi.
Kirania duduk di bawah pohon depan kelasnya, tempat terbuka jauh lebih baik daripada kelas kosong yang mungkin akan didatangi beberapa perempuan yang selalu ingin menjelaskan betapa buruknya Kirania.
“Kirania?” sapa Ayu yang jarang sekali datang pagi.
“Hm” Kirania tersenyum ramah melihat Ayu
Ayu mengambil posisi duduk di samping Kirania tapi agak jauh. “Pak Akinom kecepatan lagi jemputnya?”
“Haha, iya, biasa”
“Ini” Kirania menyodorkan kotak kecil berwarna putih padi ke Kirania “Selamat ulangtahun ya Kirania”
“Makasih Ayu meskipun telat”
Saat Kirania mengambil kotak dari tangan Ayu, Ayu bisa merasakan betapa dinginnya tangan Kirania juga keringat yang memenuhi keningnya. Ayu bisa merasakan jika Kirania tengah ketakutan.
“Ak-akhir-akhir ini hidupmu berat”
“I-iya”
“Maafin gue ya, biarin lo sendirian, gue nggak bisa milih antara lo atau Sela. Gue tahu ketika gue nggak bisa milih salah satu maka gue bakal kehilangan semuanya” airmata Ayu menetes meskipun tidak dilihat Kirania
“Gue ngomong aku kamu ke cowok karena mereka juga aku kamu ke aku. Kayak ngomong lo gue ke teman karena mereka juga ngomong lo gue. Aku cuma ngikuti aja biar sopan.”
“Iya, gue tahu, Kirania”
“Kadang gue pengen banget bilang sebenarnya gini… Bukan gitu… pengen banget jelasin tapi nggak ada yang mau tahu…” tatapan Kirania kosong tapi penuh harap.
Ayu makin terisak dan langsung meninggalkan Kirania masuk ke kelas supaya Kirania tidak tahu.
Airmata Kirania jatuh membasahi kotak hadiah dari Ayu. Dan setelah dibuka, isinya adalah foto Ayu, Sela dan Kirania diawal-awal masuk SMA yang tampak akrab, bahagia dan sangat lama.
***
Kaki Kirania gemetaran ketika bel keluar main berbunyi, meski begitu dia tetap melangkah ke kantin dan memesan makanan.
Jika Kirania tidak makan dan jatuh sakit lagi, bisa-bisa Mama Akbar tidak akan melunasi uang buku paket Akbar lalu Akbar tidak bisa ikut UAN, Akbar akan marah ke Kirania untuk itu.
Kirania duduk sendiri berusaha menyuap nasi goreng yang dipesannya. Soal rasa sepertinya hambar bahkan pahit jika ada siswi yang melewati mejanya dan mengumpat sembarangan.
Ivan mengambil posisi duduk di depan Kirania. Jelas mereka langsung menjadi pusat perhatian.
“Kak..?”Sapa Kirania canggung
“Makanlah dengan tenang, kamu pucat Kirania”
Kirania mengangguk dan kembali fokus pada makanannya.
“Maaf Kak” Kirania mengambil kuning telur yang berada di mangkuk bakso Ivan.
Bakso di sekolah memang dilengkapi separuh telur rebus, tidak pernah satu karena adanya standar harga makanan kantin yang ditentukan sekolah. Jika telur rebusnya utuh maka mamang kantin bisa dirugikan.
“Kalo dibiarin bakalan kecampur dengan kuahnya” kata Kirania,
Ivan memang alergi kuning telur dan Ivan hanya memerhatikan Kirania yang masih mengetahui itu.
“K-kak Ivan, duduk sama aku aja” ajak Putri
“Sudah kubilang jangan tegur gue di depan umum” kata Ivan pelan
“I-iya Kak” jawab Putri patuh lalu memandang sinis ke Kirania.
Ivan melanjutkan makannya. Setelah Putri pergi Ivan kembali bicara “Makasih”
“Iya Kak” jawab Kirania.
Mustahil jika kantin seramai itu tampak biasa saja, malah beberapa orang jadi canggung melihat keakuran Ivan dan Kirania. Anggapan, desas-desus dan semua gosip yang tersebar seakan menggambarkan Kirania mempermainkan Ivan, tapi kenapa pula yang dimainkan bisa dengan tenang makan bersama pemainnya.
Pito juga melihat itu bahkan matanya bertemu dengan mata coklat Kirania. Pito menyapa Kirania lewat senyumnya dan langsung pergi sebelum memesan apapun.
***
Pulang sekolah Reza nekat menjemput Kirania, nekat karena Kirania sudah melarang tapi Reza seolah tak peduli.
Kirania memandangi Reza yang duduk manis di motor.
‘Sela suka sama Pito, Putri suka sama Kak Ivan, Fadil adik kelas. Kalo dipikir-pikir dekat sama Reza adalah yang paling aman’ pikir Kirania
Lalu Kirania melirik ke samping dimana parkiran motor berada ‘Tapi aku sukanya dengan Pito’
“Eh Kirania ayo aku anterin” ajak Reza yang akhirnya sadar Kirania berada di sekitarnya.
“Hmm, sudah kubilang nggak usah”
“Ayo dong ada yang mau aku omongin, penting”
“Ngomong aja di sini”
“Temani aku ya hari minggu” mohon Reza “cuma sebentar”
Kirania masih berpikir tapi Pak Akinom sudah datang jadi Kirania asal ambil keputusan dan mengiyakan ajakan Reza supaya tidak tambah panjang.
***
Hari minggu.
Kirania memakai setelan levis kemeja dan celana, rambut tergerai seperti biasanya. Jam 1, Reza menjemput Kirania.
“Kok pakek mobil?” tanya Kirania
“Perkiraan cuaca, katanya bakalan hujan”
“Oh” Kirania masuk ke mobil
“Tampilan kamu boys banget” tegur Reza
“Nggak juga”
“Pas banget”
“Emang mau kemana?”
“Aku mau ngenalin kamu ke teman-teman aku”
“Ngapain? nggak usah”
“Nggak papa”
Kirania hanya bisa diam, Reza kan tidak bisa dilarang.
Mobil Reza memelan dan memasuki parkiran gedung yang tidak asing bagi Kirania.
“GOR? Kenapa kita ke gedung olahraga?”
“Nah pertama kali kita ketemu di sekolah kamu kan O2SN, dan aku jadi pemimpin supporter sekolah aku untuk tim basket, karena teman aku adalah pemain basket… horeee”
Kirania hanya memandang sekilas si Reza yang seolah kagum dengan diri sendiri.
Tok tok tok Suara kaca mobil digedor-gedor. Reza menurunkan kacanya.
“Apasih?”
“Kedalam deh Za, buruan” si pria jangkung itu langsung lari memasuki gedung
Panik, Reza dan Kirania buru-buru mengikuti.
“Ada apa nih?” tanya Reza kepada kerumunan orang yang merupakan teman satu sekolahnya.
“Eed, pingsan, kecapekan latihan”
Kirania satu-satunya wanita di situ tampak paling cemas.
“Bawak ke mobil gue deh” perintah Reza
Berbondong-bondong mereka yang terhitung tujuh orang itu mengangkat Eed. Reza menarik Kirania, mukanya cemas.
“Kirania, aku nggak bisa nganter kamu dan nggak bisa biarin kamu ikut kami karena kami semua laki-laki. Nggak papa kan?”
Kirania mengangguk,
“Aku tinggal duluan” kata Reza berlari keparkiran.
Kirania mencoba mengatur napasnya dan menenangkan pikirannya lalu berjalan ke kamar ganti dimana kamar mandi berada. Tenang, GOR sangat sepi bahkan tidak ada orang, anggap saja rumah sendiri.
Kirania sekarang sudah tenang dan berniat pulang. Kalau-kalau itu bisa, Kirania tertahan dengan ingatan jadian dan putus setiap berada di GOR. itu membuatnya diam beberapa saat.
“Kirania?” sapa Ivan yang baru datang
“Kak Ivan? A-aku pulang duluan ya?”
Kring kring kring ulangtahun Kak Ivan kring kring kring jangan lupa.
Alarm di ponsel Kirania berbunyi sangat keras, alarm yang disetel saat Kirania baru jadian dengan Ivan. Bagaimana Kirania lupa jika ulangtahunnya dengan Ivan hanya selisih empat hari. Kenapa alarmnya berbunyi sekarang!
“Sampai kapan kamu mau bohong Kirania?” tanya Ivan
“Bohong?”
“Tentang perasaan kamu saat ngejalin hubungan dengan aku, dulu, kamu nggak main-main”
“Kak?”
“Kamu sengaja ngecat rambut jadi putih pas mau mutusin aku karena aku cuma mau diputusin kalo kamu udah jadi nenek-nenek, kamu mau makan telor kuning di mangkokku supaya alergiku nggak kambuh, kamu bahkan buat alarm di hari ulangtahun aku.”
“Kak Ivan,”
“Tidak ada yang ingat hari ulangtahunku bahkan orangtuaku, kamu baik banget Kirania dengan aku yang jahat sama kamu…”
“Kak Ivan nggak boleh ngomong gitu, Kak Ivan selalu memperlakukan Kirania dengan baik”
“Kamu nggak perlu bohong!”
“Nggak Kak, aku nggak bohong”
“Kamu bisa bilang ke semua orang kalo penyebab putusnya kita itu karena aku yang nggak bisa berhenti dekatin cewek-cewek lain”
“Aku nggak bisa Kak”
“Kamu tinggal bilang, aku nggak bakal nepis satupun. Aku nggak sanggup lihat kamu disindir satu sekolahan”
“Itu bukan karena Kakak,”
Kirania tak mungkin mengatakan itu semua demi Sela, demi Sela sahabatnya. Kirania tidak peduli omongan buruk apapun dari orang asing. Karena nyatanya yang bisa menghancurkannya adalah orang yang sangat dekat dan dipedulikannya.
Kirania memutar badan dan kembali menuju pintu keluar.
“Maaf” suara Ivan memelan “Aku tahu aku nggak bisa berubah meski aku ingin, seorang monster selamanya akan tetap jadi monster. Aku nggak bisa sama kamu karena aku nggak bisa berhenti buat dekatin cewek lain, aku nggak bisa biarin kamu sama cowok brengsek ini” Ivan menunjuk dirinya sendiri "karena aku sayang sama kamu Kirania”
“Kak? Kakak pasti bisa berubah, nanti, nggak harus sekarang, kakak bakal dapatin cewek yang jauh lebih baik dari aku.” Kirania kembali melihat Ivan dan menunda niat untuk meninggalkan gedung.
“Diluar hujan Kirania, jangan pulang, aku nggak mau ngerasa sepi di hari ini”
“Oke, tapi janji jangan bahas ini lagi.”
“Sekarang kita bisa temenan?”
“Kita teman, teman Kak Ivan pandai main basket. Aku juga berarti kan? Ayo main!” Kirania mencoba merubah suasana
“Boleh”
“Aku pengen lupa semuanya!” teriak Kirania berlari mengambil bola basket dari tangan Ivan.
“Huh… aku pengen nggak pernah lupa dengan Kirania” suara Ivan pelan sekali, mungkin tidak akan dikenal Kirania yang sedang melompat di bawah ring basket.
***
ceritanya lucu juga, di save ah, lumayan buat bacaan sebelum tidur :D
Comment on chapter Keputusan terberat