Read More >>"> Turn on Your Heart ([2]) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Turn on Your Heart
MENU
About Us  

Terhitung tujuh kali Naja bersendawa tanpa kenal sopan. Untung sekarang dirinya berada di kamar luas milik Max, bukan sedang menghadiri acara makan malam bersama para produser ternama. Meskipun nyeri setengah mati, Naja tidak bisa melawan. Max mengunci tubuhnya. Kedua pergelangan tangannya di genggam erat dari belakang sementara lehernya ditekuk. Posisi mereka tampak seperti seorang polisi yang baru saja menangkap penjahat kelas kakap.

"Kampret! Gue bilang anginnya di bagian atas, bukan di bawah! Jadi nggak usah kerokin sampai pinggang gue!" Sekuat tenaga Naja memberontak, namun usahanya sia-sia. Karena secepat mungkin Yuner membantu tugas Max mengunci Naja.

"Heh, memang anginnya bisa ngomong?" Max semakin menekukan leher Naja. "Ye... Pranaja, gue di sini! Sebelah sini! Eh, nggak kena. Eh, keburu gue pindah."

Yuner terkekeh melihat Max berakting kocak dengan pembawaan yang maximal. Tidak mengenal tempat dan suasana, sekali pun tidak dibayar, jiwa akting sudah mendarah daging dalam diri setiap anak jurusan seni drama. Naja sampai terbawa kesal berkat kemampuan akting Max.

"Tiga garis lagi, Ja." Yuner pun kembali mengolesi kayu putih pada pinggang Naja.

"Dari tadi lo ngomong tiga lagi, dua lagi!" ketus Naja tidak sabar. "Sumpah, kalau misalkan ini bukan kamar orang, habis beres kerokan gue lemparin kalian pake apa aja yang ada di depan mata gue."

"Di depan lo lemari baju gue yang beratnya mungkin lima kali berat badan lo," celetuk Max. "Dan lagian, ini bukan kamar sembarang orang. Ini kamar milik teman terbaik yang perhatian banget sama lo. Tersanjung nggak?"

"Tidaaak!" teriak Naja dramatis berbarengan saat Yuner menggosokan koin pada pinggang Naja menggunakan kecepatan penuh.

Hampir satu jam pergulatan konyol mereka pun akhirnya selesai. Naja limbung seketika di kasur. Sedangkan Yuner dan Max melakukan tos penuh kemenangan.

Jika saja tadi Naja tidak muntah-muntah dan mengeluh pusing berat, ia pasti tengah berada di rumah produksi menyaksikan shooting pembuatan film yang naskahnya ia tulis. Bukan dikeroki sampai lemas di kamar Max. Naja geleng-geleng kepala, mungkin teman bulenya yang satu itu terlalu banyak makan rempah-rempah sehingga bakat mengeroki muncul otomatis dari jemari tangannya.

Yuner tersenyum bangga bila dipuji lihai dalam urusan itu.  Bahkan mungkin lebih bangga dibandingkan dipuji akan kemampuan aktingnya. Bagi Yuner, sandiwara adalah membohongi diri sendiri dan semua orang pernah berbohong. Pedagang baso tahu di sekolahnya pun sering berbohong jika siomaynya sudah habis, padahal siomay tersebut sengaja disisakan untuk anaknya di rumah. Dan setiap pembeli tentu percaya perkataan serta ekspresi mendukung tukang baso tahu tersebut tanpa perlu tukang baso tahu itu mengikuti sekolah akting.

Sejujurnya, semenjak kecil ia sesekali dikeroki neneknya memakai bawang merah dan tidak disangka, ia ketagihan hingga ia tumbuh remaja. Yuner langsung meminta neneknya mengajari tata cara mengeroki yang baik dan benar agar ia bisa membuat orang-orang disekitarnya merasakan ketagihan kerokan seperti yang ia rasakan. Sayangnya, meskipun Naja seratus persen pribumi, ia membenci pengobatan tradisional itu.

"Mana nih yang katanya mau lempar barang apa aja di depan mata. Habis kerokan... malah limbung," ejek Max.

Naja mengacungkan jari tengahnya sesaat sembari bergumam, "Berisik."

Baru saja Yuner hendak menikmati tawanya menyaksikan sikap saling merendahkan kedua temannya, teleponnya bergetar di nakas. Sebuah panggilan nomor tidak dikenal muncul di layar handphone. Ragu-ragu Yuner mengambil handphone dan mengingat-ingat nomor tersebut.

"Siapa, Yun?" tanya Naja dalam kondisi masih tidak berdaya.

Bahu Yuner naik dan turun secara samar."Nggak tahu, nggak ada namanya. Jangan-jangan nomor nyasar."

"Atau jangan-jangan director film Hollywood mau ngajakin lo main film terbaru mereka. Judulnya Fantastic Debus."

Yuner memutar bola matanya malas atas tanggapan berlebihan Max. "Terus gue jadi siapa? Mang Gini?"

Terlalu lama menimbang, panggilan telepon itu berakhir sendirinya. Tetapi tak selang lama, panggilan itu muncul lagi. Penelpon sepertinya cukup serius ingin menghubungi Yuner. Naja yang tidak sabar sekaligus penasaran pun menggeser tombol hijau di layar handphone Yuner tanpa seizin pemiliknya.

Mata Yuner melotot tajam. Mulutnya melafalkan kata 'bodoh' untuk Naja tanpa bersuara yang dibalas kata 'memang' dari Naja, tentu tanpa bersuara juga. Mengingat Naja selalu mendapatkan nilai dibawah enam di pelajaran Tata Panggung dan Dekorasi, Naja mengakui ia tidak lebih pintar dibandingkan Yuner yang meraih nilai diatas delapan di semua mata pelajaran.

"Lo pada ngapain bisik-bisik sih?" Max yang tidak tahu cara mainnya menerima kode 'sstt!' yang menyuruhnya diam dari kedua temannya.

Naja merebut ponsel Yuner dan mengaktifkan mode loud speaker agar mereka bertiga dapat mendengar jelas percakapan di telepon. "Ya? Halo? Ini dengan siapa?" ucap Yuner mendahului Naja yang tampak siap merebut tak hanya teleponnya, jatahnya menerima telepon pun juga ia ambil sepihak.

"Oh, akhirnya dijawab juga." Terdengar dehaman beberapa kali dari suara yang entah kini tengah berada di belahan dunia bagian mana. "Apa ini benar dengan Yuner? Siswa kelas tiga jurusan seni drama SMA Saraswati?"

"Iya, betul," balas Yuner mengkonfirmasi. "Maaf, saya bertanya lagi. Ini dengan siapa?"

"Hai, gue Gery! Anak seni musik yang seangkatan sama lo." Bahasa perkenalan keduanya pun mulai menjauhi kesan formal setelah si penelepon menyahuti cepat. "Gue tahu gue lancang minta nomor telepon lo di bagian Kesiswaan. Habisnya, email gue nggak pernah lo bales-bales. Apa disengaja?"

Yuner memang belum lama mengganti alamat emailnya. Alasannya bukan muak menerima terlalu banyak pesan cinta setengah mati oleh fans atau pesan menyakitkan oleh pihak haters. Yuner bukan selebritis—belum untuk saat ini. Dan meskipun blasteran, Yuner bukan primadona sekolah. Seluruh pemuda SMA Saraswati punya daya pikat wajah di atas rata-rata, kecuali kelas seni rupa. Jadi, alasannya mengganti email bukan karena itu. Melainkan, ia ingin mengganti akun steam-nya yang sudah mulai banyak mendapatkan musuh.

"Gery mana dulu nih? Gery mancung apa Gery pesek?" tanya Yuner mencoba mencari tahu identitas jelas si penelepon. Pasalnya, terdapat dua nama Gery yang masuk jurusan seni musik di angkatannya.

Gery—tidak tahu yang pesek atau mancung—mengeluarkan tawa renyah yang enak didengar. Kemampuan olah vokal jurusan seni musik SMA Saraswati tidak diragukan lagi. Kalau boleh, Yuner ingin meminta Gery tertawa dan menjadikan tawanya sebuah lagu.

"Gue nggak habis pikir. Masalahnya gue ngerasa lebih pesek dari Gery yang itu." Sambil sesekali tertawa, Gery membalas.

Yuner mulai menebak. "Oh, ini berarti Gery yang pesek?"

"Mungkin?" jawab Gery ragu-ragu.

"Tapi sekarang Gery pesek udah mancung." Dan meledaklah tawa di dua tempat yang berbeda.

Naja yang terlentang lemas, tidak mau kalah terbahak dari Max yang sudah meringkuk sembari memegangi perutnya di ujung kasur.

Mereka bertiga jelas tahu rahasia umum salah satu Gery di angkatan mereka yang merubah bentuk hidungnya di Korea Selatan.

"Oke, oke. Gue Gery yang punya hidung original khas keturunan kakek gue dari Arab," jelas Gery yang perlahan-lahan meredakan tawa tiga pemuda itu dan pembicaraan pun kembali fokus. "Gue sama band gue, baru dapat kontrak label. Rencananya kita pengen lo jadi model video klip terbaru kita."

Naja dan Max saling bertukar pikiran lewat pandangan. Apakah kali ini Yuner akan menolak kesempatan emas yang datang?

"Video klip? Itu hal yang baru sih buat gue." Yuner memiringkan kepalanya.

Belum Yuner melanjutkan kalimatnya, Gery mendahului antusias. "Waktu kunjungan presiden ke sekolah kemarin, gue lihat lo main drama perang Pasundan. Gue suka banget peran lo!" Meski tak bisa melihat ekspresi Gery, Max percaya mata Gery kini berninar-binar.

"Buat bahan pertimbangan, gue kirim demo lagu band gue ke email lo. Gimana? Apa mau lewat lain? LINE? Whats App?" tawar Gery yang terkesan memaksa.

Getar-getir Max dan Naja menunggu jawaban sinis atau sakarstik keluar dari mulut Yuner. Namun, jawaban itu tak kunjung keluar.

Yuner pun menghembuskan napas panjang sebelum berucap, "Oke, lewat LINE gue aja."

Bila ada Wanda atau Sherin di sana, sudah pasti Yuner menerima pelukan erat yang menyesakan.

***

Mata Yuner mulai berair. Tetapi ia belum ingin menutup PUBG yang sedang menguasai layar PC-nya walau PR matematika menunggu dikerjakan. Jemarinya tak berhenti bergerak dan pandangannya selalu fokus. Sampai tiba-tiba ketukan keras dipintu kamarnya, mengalihkan pandangannya sejenak.

"Apri la porta!" teriak seorang wanita dengan logat Italia yang kental. "Yuner!"

"Iya, Mom, sebentar!" Kerja kerasnya selama empat jam pun berakhir sudah. Ia meninggalkan game online-nya berat hati lantas membuka pintu kamarnya perlahan. Ia pun mendapati wajah muram ibunya di depan kamarnya.

"Perché sei ancora sveglio?" tanya sang ibu sambil melipat tangan di dada. 

"Main game," jawab Yuner tertunduk. Sedari dulu, ia memang lebih nyaman berbicara memakai bahasa Indonesia ketimbang bahasa ibunya. 

"Oh, pantas, mungkin itu penyebab jatah bulanan kamu habis ya di ATM." 

Yuner ingin terkekeh mendengar ibunya marah-marah memakai bahasa Indonesia karena logat Italia menempel lekat di lidahnya. Tetapi ia tidak bisa tertawa karena saat ini ia sedang dihakimi. Jatah bulannya habis sebelum waktunya. Dan game merupakan penyebab utamanya.

"Tapi aku siap kok seminggu ke depan bawa bekal dari rumah. Biar di sekolah nggak perlu jajan," usul Yuner yang mencoba mereda amarah ibunya. Sayangnya, itu tidak berhasil.

Sebuah cubitan melayang ke salah satu pipi Yuner. Ia mengaduh kesakitan tapi sang ibu tak menghiraukan. Franzeta justru mencubit kedua pipi Yuner dan membiarkan anaknya mengaduh lebih keras.

"Ya... sekali-kali juga nggak apa-apa Yuner sedikit boros." Kedatangan Lucas membawa pertolongan bagi Yuner. Pemuda tujuh belas tahun itu langsung mengusap-usap pipinya yang sakit bukan main.

Franzeta menatap risih suaminya itu. "Sekali? Bulan lalu juga dia seperti ini, tapi aku sengaja pura-pura tidak tahu."

"Kita tambah saja jatah bulanannya mulai bulan depan," kata Lucas santai sementara Zeta—panggilan istrinya khusus di rumah—sudah berapi-api. "Yang penting kamu tetap mengutamakan sekolah. Kalau perlu apa-apa, bilang sama Papa. Nanti Papa usahakan penuhi semua kebutuhan kamu. Lebih baik kamu cepat tidur."

"Thanks, Pa," balas Yuner.

Lucas segera meraih istrinya agar ikut turun dari lantai dua rumahnya dan membiarkan Yuner beristirahat di kamar. Yuner memang tidak menyukai dirinya disandingkan dengan ayahnya namun sesungguhnya, ia tak bisa sedikit pun membenci ayahnya, karena hanya sang ayah yang paling mengerti dirinya.

Baru saja Yuner hendak meraih buku tugas matematikanya, pintu kamarnya lagi-lagi diketuk. Sekarang, giliran Lucas yang mengunjunginya, tentu tanpa amarah atau acara mencubit pipi. 

"Papa bilang aku harus cepat tidur," Yuner menyimpan kembali buku tugas matematikanya di nakas.

Lucas pun mengangguk, ia sengaja berdiri dan tidak mengambil tempat duduk. Bertanda ia tak akan lama. "Waktu itu kamu menolak tawaran Pak Tino?" tanya Lucas tanpa basa-basi.

"Iya, habis aku nggak tertarik," balas Yuner.

Lucas mengembuskan napas panjang. "Pak Tino teman baik Papa di dunia industri perfilman. Dia sampai dijuluki Bapak Sinetron Indonesia—"

"Tapi dia buat karya yang mengikuti serial luar negeri, Pa," potong Yuner. "Aku nggak mau ikut ambil bagian sebuah karya yang ujung-ujungnya jadi bahan hujatan masyarakat. Sama-sama membuat karya, sama-sama capek, kenapa nggak sekalian yang bagus? Aku tahu selera orang nggak sama, tapi seenggaknya kita bisa kan menciptakan karya yang lebih original. Lebih kreatif. Lebih mendidik."

Suasana pun menjadi canggung. Yuner merasa sedikit bersalah memotong perkataan ayahnya. Lucas hanya terdiam setelah mendengar penjelasan panjang anak semata wayangnya itu. 

Yuner memang tidak begitu dekat dengan ayahnya. Semenjak kecil, ayahnya sibuk mondar-mandir rumah produksi untuk menafkahi keluarga kecilnya. Mereka jarang bercanda gurau seperti kebanyakan hubungan ayah dan anak laki-laki. Yuner ragu untuk memulai dan Lucas menganggap hal tersebut telah terlambat. 

"Papa nggak paham arah pemikiran kamu, tapi Papa percayakan karya generasi selanjutnya pasti lebih baik," kata Lucas. "Apa ada yang perlu ayah bantu?" 

Yuner menggeleng. "Nggak ada.Tapi apa menurut Papa... jadi model video klip itu awal yang bagus?" tanya Yuner ragu-ragu.

Lucas tersenyum. Ia membuka gagang pintu kamar Yuner lalu berucap, "Papa nggak tahu. Sejauh ini, Papa belum pernah jadi model video klip."

Pintu kamar ditutup. Yuner masih mematung memandang kepergian ayahnya. 

Ayahnya. Belum pernah. Video klip.

Akhirnya, ia menemukan jalan untuk menjalani dunia seni peran tanpa terbayang-bayang nama Lucas.

***

[1] Apri la porta = Buka pintunya
[2] Perché sei ancora sveglio? = Kenapa kamu belum tidur?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
HEARTBURN
5      5     0     
Romance
Mencintai seseorang dengan rentang usia tiga belas tahun, tidak menyurutkan Rania untuk tetap pada pilihannya. Di tengah keramaian, dia berdiri di paling belakang, menundukkan kepala dari wajah-wajah penuh penghakiman. Dada bergemuruh dan tangan bergetar. Rawa menggenang di pelupuk mata. Tapi, tidak, cinta tetap aman di sudut paling dalam. Dia meyakini itu. Cinta tidak mungkin salah. Ini hanya...
Love in the Past
308      253     4     
Short Story
Ketika perasaan itu muncul kembali, ketika aku bertemu dengannya lagi, ketika aku harus kembali menyesali kisah itu kesekian kali.
Woozi's Hoshi
115      31     0     
Fan Fiction
Ji Hoon dan Soonyoung selalu bersama sejak di bangku Sekolah Dasar, dan Ji Hoon tidak pernah menyangka bahwa suatu hari Soonyoung akan pergi meninggalkannya...
RAIN
3      3     0     
Short Story
Hati memilih caranya sendiri untuk memaknai hujan dan aku memilih untuk mencintai hujan. -Adriana Larasati-
When You Reach Me
21      14     0     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
Simplicity
83      18     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
PENYESALAN YANG DATANG TERLAMBAT
461      300     7     
Short Story
Penyesalan selalu datang di akhir, kalau diawal namanya pendaftaran.
LEAD TO YOU
116      26     0     
Romance
Al Ghazali Devran adalah seorang pengusaha tampan yang tidak mengira hidupnya akan berubah setelah seorang gadis bernama Gadis Ayu Khumaira hadir dalam hidupnya. Alghaz berhasil membuat Gadis menjadi istrinya walau ia sendiri belum yakin kalau ia mencintai gadis itu. Perasaan ingin melindungi mendorongnya untuk menikahi Gadis.
Rela dan Rindu
69      18     0     
Romance
Saat kau berada di persimpangan dan dipaksa memilih antara merelakan atau tetap merindukan.
Phased
12      11     0     
Romance
Belva adalah gadis lugu yang mudah jatuh cinta, bukan, bukan karena ia gadis yang bodoh dan baperan. Dia adalah gadis yang menyimpan banyak luka, rahasia, dan tangisan. Dia jatuh cinta bukan juga karena perasaan, tetapi karena ia rindu terhadap sosok Arga, abangnya yang sudah meninggal, hingga berusaha mencari-cari sosok Arga pada laki-laki lain. Obsesi dan trauma telah menutup hatinya, dan mengu...