Sepulang sekolah di minggu pertama setelah libur panjang, sekolah seni Saraswati nyatanya tidak memberikan toleransi. Tidak ada masa perkenalan bagi guru dan murid. Berbeda dengan ekspetasi kebanyakkan orang yang menganggap sekolah Saraswati hanya untuk anak-anak orang kaya dan kegiatannya bermain setiap hari tanpa akademik yang menonjol.
Dari banyaknya tempat di sekolah, Sherin memilih taman belakang. Menurut Sherin, tidak ada yang lebih indah dibandingkan menghabiskan waktu siang di padang rumput Saraswati. Dan tanpa ada penolakkan, ketiga temannya yang lain mengikuti langkah terburu-buru Sherin. Ia yang mengejar tempat favoritnya sebelum anak-anak dari jurusan seni rupa mendahului mengambil alih dengan menjejerkan banyak easel.
"Kita latihan di sini aja ya. Suasananya lagi mendukung," kata Sherin terlihat setengah memaksa. "Eh, naskahnya ada di siapa sih?"
Wanda menyimpan tas biru langitnya di samping tas hitam milik Sherin. "Bukannya kemarin lo yang pegang?"
"Sumpah, nggak ada di gue!" Sherin mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Max mengumpat kasar yang dibalas pelototan dari Wanda. "Lo ceroboh sih jadi cewek! Coba inget-inget lagi, kemarin gue lihat lo masukkin naskahnya ke dalem tas lo."
"Nggak percaya banget, lo periksa aja sendiri tas gue!"
“Sori, gue bukan security bioskop.”
"Dari pada nyari-nyari naskah yang belum tentu ketemu mending ngerjain PR Bahasa Inggris yang tadi dikasih Pak Andi. Kan tujuan awal kita kerja kelompok sekarang mau bagi-bagi soal bahasa Inggris, biar cepet selesai." Yuner mencoba memberikan usul namun langsung ditolak mentah-mentah oleh yang lain.
"Karena naskahnya hilang, mending kita tulis ulang.” Sherin pun kembali melakukan pemaksaan. "Lo kan bule, jadi tugas lo kerjain PR bahasa Inggris. Gue, Wanda sama Max, tulis ulang naskah soalnya Pak Edy nyuruh kita tulis tangan. Kalau salah satu dari kita bertiga udah ada yang selesai, langsung bantuin lo. Gimana? Jadi dua-duanya jalan kan?"
"Sayangnya, bahasa sehari-hari gue Jerman, bukan Inggris. Kenapa nggak Max aja yang ngerjain bahasa Inggris? Kan namanya aja udah Inggris banget,” tolak Yuner sekaligus menggoda Max.
"Itu kerjaan Bapak gue aneh-aneh ngasih nama anak depannya Max. Biar kebarat-baratan, tapi nama belakang gue Sutejo mah nggak ngaruh," balas Max tersinggung.
Ledakan tawa pun tercipta seketika. Walau ini menyangkut dirinya yang dijadikan bahan ejekan, tapi Max tetap tidak dapat untuk tidak ikut menertawakan namanya.
"Untung aja, masyarakat Indonesia tahunya nama lo itu Max Derian. Bukan Maximus Pakuan Sutejo! Derian nyolong dari mana lo? Ahahaha!” Sherin tertawa puas sementara Max dengan raut pasrahnya, mempersilahkan Sherin tertawa lebih.
Suara tawa Sherin memang begitu melengking keras dan bukan berarti itu menjadikannya pusat perhatian di area taman belakang. Ini sekolah seni. Hampir setiap hari sekolah ini melakukan presentasi dalam bentuk tampil di muka umum. Jika tiba-tiba di kantin saat jam istirahat ada yang menari-nari sudah bukan hal aneh. Tak jarang juga di toilet laki-laki, sering terdengar seseorang bernyanyi dengan suara tanpa ragu untuk mengasah pita suara.
Selalu ada konser mendadak kapan pun. Di sudut sekolah mana pun. Maka dari itu, jika ada dua orang yang sedang bertengkar hebat jangan langsung dilerai. Mungkin mereka sedang berlatih adu akting sebelum presentasi.
"Akhirnya amunisi kita nambah satu." Napas lega keluar dari mulut Wanda kala Naja mengambil posisi duduk di atas meja kayu yang mereka lingkari.
"Gue udah bilang, pasti bakal dateng. Eh, tadi ada PR apa aja?" tanya Naja santai sambil mengorek-orek tasnya, lalu mengeluarkan sebuah pulpen hitam dan note kecil yang selalu ia bawa kemana pun. "Ada adegan seru yang udah gue lewatin dalam delapan jam kebelakang?"
"Kertas naskah buat presentasi minggu depan hilang! Padahal progress kita udah tujuh puluh persen! Jatah istirahat gue yang biasanya gue pakai tidur, sekarang sia-sia," cerocos Sherin. “Terus guru bahasa Inggris kelas kita kebagian guru PKL. Padahal gue pengin yang ngajar Pak Edgar!”
Yuner mengkibas-kibaskan tangannya di depan wajah Sherin agar perempuan bermata bulat itu berhenti sebelum Sherin mencurahkan semua isi hatinya. “Max tiba-tiba grogi pas liat Pak Andi garuk-garuk pantat."
"Parah lo, Yun. Gue nggak pernah bilang gitu!" rengek Max tidak terima.
"Gue percaya sama lo, Yun!" Kata-kata Wanda selanjutnya, menguatkan argumen Yuner. Mereka berdua pun bertos ria, sengaja mengejek Max.
"Ada kejadian lain yang lebih penting?" tanya Naja kembali. Tangannya masih stand by memegang pulpen di kanan dan note di tangan kiri. "Karena insiden horny mendadak nggak mungkin gue masukin script gue. Mungkin gue langsung disidang nanti sama KPI."
Dasar bakat dari seorang Pranaja Malik adalah penulis naskah. Ayahnya yang merupakan salah satu sutradara sekaligus produser kelas tinggi Indonesia, begitu mendukung pilihan Naja mengambil jurusan seni drama di SMA Saraswati.
Sayangnya, Saraswati tidak lagi menyediakan jurusan seni sastra semenjak tiga tahun lalu karena peminatnya yang terbilang sangat minim. Sebagai jalan pintas, jurusan seni sastra disatukan dengan seni drama. Bagi yang berminat mendalami sastra, baik menulis naskah film atau novel, dapat mengambil kelas tambahan.
Sebab itulah yang membuat remaja berkulit eksotis ini selalu membawa note kemana pun ia pergi. Naja melihat, mendengarkan, menangkap momen-momen tertentu yang terjadi di hadapannya lantas menuliskannya di dalam note untuk kemudian di abadikan di dalam karya-karya tulisan.
Sudah terhitung dua belas novelnya terbit di penerbit buku ternama. Dan diantaranya masuk best seller. Karyanya tersebut tidak termasuk puluhan cerpen yang sudah diterbitkan di beberapa majalah atau koran. Baru-baru ini, Naja ditarik oleh sebuah rumah produksi untuk menjadi penulis naskah sebuah film sejarah untuk memperingati hari kemerdekaan yang akan jatuh sebulan lagi. Hal tersebut, mengharuskannya mengambil izin dari sekolah dan ia benar-benar keteteran dalam masalah tugas serta presentasi.
“Tadi Yuner dapet tawaran sinetron, lagi,” ujar Wanda seraya melirik Yuner sekilas, memastikan Yuner bahwa ia tidak keberatan Wanda menyinggung hal ini. “Dan dia tolak, lagi.” Ia pun merampungkan kalimatnya setelah menangkap ekspresi datar Yuner yang sama sekali tidak mencerminkan ia risih.
Naja menepuk jidatnya. “Ah, lo kenapa sih? Lo itu harusnya bersyukur, banyak orang di luar sana yang pengen ada di posisi lo! Jangankan orang awam, artis juga pasti ingin punya rejeki muka ganteng, otak encer, sama berbakat kayak lo.”
“Gue nggak suka sama cerita yang nanti gue bawain, gue nggak mau tampil nggak maksimal.” Yuner menggaruk kasar kepalanya yang tidak terasa gatal, ia frustasi.
“Dari dulu lo permasalahin soal alur sama tipe cerita aja terus. Ya wajarlah, ada satu dua adegan yang mainstream.”
“Itu plagiat, bukan mainstream,” sanggah Yuner tidak terima.
“Mereka cuman mengambil konsep, tapi adegannya dirubah sedemikian rupa. Itu sah. Nggak ada hukumnya. Terus lo mau peranin cerita yang bagimana? Asal lo tahu aja, buat cerita dengan ide out of the box itu susah tanpa adanya referensi dari cerita-cerita sebelumnya,” balas Naja. “Ibaratkan lo ditaksir sama ratusan cewek yang bisa kuat ngangkat galon air mineral sendirian. Itu langka! Tapi lo nyari cewek yang kuat ngangkat dua galon air mineral, dan itu baru yang namanya mustahil!”
“Nggak! Gue yakin, suatu saat nanti bakal ada film atau sinetron Indonesia yang bener-bener masuk ke dalam kategori ‘cewek yang kuat ngangkat dua galon air mineral’!”
“Guys—“
Cepat-cepat Naja memotong panggilan Sherin yang mencoba melerai perdebatan. “Siapa yang mau buat? Rumah produksi juga mikir soal pasar, meskipun cerita ‘cewek yang kuat ngangkat dua galon air mineral’ itu luar biasa menakjubkan bagusnya, tapi kalau yang nonton sedikit buat apa?!”
“Terus mau buat selera masyarakat Indonesia begitu terus? Nggak ada perubahan? Harusnya cerita ber-genre ‘cewek yang kuat ngangkat dua galon air mineral’ diangkat temanya di seluruh stasiun TV di Indonesia, otomatis perlahan-lahan selera masyarakat bakal lebih berkelas!”
“Namanya juga selera, nggak bisa dipaksain dan beda-beda tiap orang. Udahlah, kalau lo maunya gitu, mending minggat aja dari industri perfilman Indonesia.”
“Suatu hari nanti, pasti ada cerita itu, gue yakin”
“Nggak akan ada!”
“Ada!”
“Nggak!
Baik Yuner atau Naja tidak ada yang mau mengalah. Semakin lama setiap kalimat yang keluar dari mulut mereka, juga semakin mempersempit jarak keduanya. Sherin sudah menyerah menghentikan perdebatan keduanya, sementara Max dan Wanda hanya menonton.
Dua pemuda ini memang sangat menyukai perdebatan dalam hubungan pertemanan yang mereka buat. Mulai dari hal-hal kecil seperti bertaruh siapa yang lebih kuat memanjat, apakah semut atau monyet. Sampai tiba-tiba sebuah galon air mineral menghantam keras meja yang mereka duduki, lontaran perdebatan itu tergantikan suara-suara yang mengekspresikan rasa kaget.
Para gadis otomatis berteriak, sementara para pemuda menimpali umpatan keras.
“Kita dikutuk sama galon air!!” Max refleks memeluk Sherin. “Lagian lo pada ngapain pake perumpamaan galon?”
Yuner mencoba membela diri. “Naja yang mulai! Bukan gue!”
“Heh, lo juga yang bikin suasana panas!” balas Naja tidak mau kalah.
“Maaf.” Kelima muda-mudi tersebut memusatkan perhatian ke sumber suara, seorang gadis mungil dibalut pakaian khas olah raga. Dipunggungnya, ia mencangklong galon air mineral serupa. “Boleh saya ambil?” pintanya menunjuk galon air mineral yang terisi hampir penuh.
“Oh, ini punya lo?” tanya Naja.
“Bukan,” jawab gadis itu seraya mengambil galon air tersebut dan membawanya tanpa tampak keberatan sama sekali. “Makasih.”
Mereka berlima tetap menitik beratkan fokus pada gadis itu meskipun gadis itu telah melangkah menjauh. Dari kejauhan, mereka menyaksikan gadis itu membawa dua galon air mineral. Satu ia bawa menggunakan kedua tangannya, sementara satu lagi ia cangklong di punggungnya dengan beberapa lilitan tali.
“What the....” Wanda menahan umpatannya sendiri. “Dia beneran manusia?”
Yuner menggebrak meja dan berteriak di depan wajah Naja. “HAH! Gue bilang apa?!”
Perdebatan kali ini, dimenangkan oleh Yuner.
***
nice story :)
Comment on chapter P R O L O G