“Ide bagus! Selesai ujian kita pergi ke sana!” Tegas Hazen semangat. Karena begitu semangat, dia sampai tidak sadar jika suaranya mengundang perhatian seluruh penghuni kantin disebelah gedung fakultas ekonomi & bisnis.
“Tapi, aku! Aku pasti tidak diizinkan pergi ke sana. Apalagi temannya, cowok semua.” Keluh Rona mengerutkan bibirnya tak setuju.”Cari tempat wisata lain saja, lah, yang dekat-dekat sini! Pulau seribu, Ancol, atau Dufan.”
“Sudah pernah!” Seru Fikar, Joe, dan Hazen bersamaan. Ketiganya melebarkan matanya menatap Rona, agar tidak membantah lagi
“Kami akan minta izin pada Ayah dan Ibumu? Tenang saja, kau pasti diizikan pergi. Biasanya, kan, begitu.” Kata Leo.
“Bagaimana jika kau ajak Seina?” Usul Olan.
“Benar! Dia pasti mau ikut pergi bersama kita.” Sahut Arson tersenyum dengan ide Olan.
“Aku telepon dia sekarang!” seru Rona kegirangan. Dia segera mencari kontak Seina dan menghubunginya untuk bertemu.
Meski panas siang ini sangat membahana, dengan langkah pasti Silvi berjalan menuju rumahnya yang sudah kelihatan atapnya. Dari jauh, dia melihat Om Seto dan Om Rendy sedang berbincang akrab dari halaman rumah masing-masing.
“Lho, kok jalan?” Seru Om Seto mengerutkan keningnya heran.
“Silvi, kau tidak pulang bersama Alga?” Tanya Om Rendy ikut-ikutan. Om rendy adalah adik Ibunya Alga yang masih lajang diusianya yang sudah mencapai kepala empat. Alga tinggal berdua dengan Om Rendy. Sedangkan, orangtua Alga tinggal di Lombok menjalankan usaha restoran.
Silvi menghentikan langkahnya dan menyerka keringat yang membasahi dahinya. Dia terlihat kesal karena harus berjalan di tengah siang bolong begini.”Katanya ada urusan dengan Seina.”
“Lalu kenapa kau jalan?” Tanya Seto begitu penasaran.
“Dompetk—“
“Di copet, ya? Ayo, kita kekantor polisi, buat laporan. Kau ingat ciri-ciri orang yang mencopetmu? Dimana tempat kejadiannya? Selain dompet, ada lagi yang hilang.” Tanya Om Rendy cepat. Wajahnya terlihat tadinya terlihat santai, langsung berubah. Begitu juga dengan Om Seto.
Silvi yang ditanya seperti itu langsung tersenyum bersalah pada kedua orang tersebut.”Ketinggalan di kamar.”
“Hah.” Desis keduanya melongo.
“Tadi, kan, Silvi belum selesai bicara, tapi sudah potong.” Kata Silvi membela diri, lalu melanjutkan langkahnya, namun baru satu langkah dia kembali berhenti karena sebuah pertanyaan.
“Silvi, menurut kamu, asik tidak kalau kita liburan bareng?” Tanya Om Rendy.
“Asik, dong. Tapi, kemana?” Tanyanya antusias. Wajahnya langsung cerah ketika mendengar kata “liburan”. Padahal, tadinya dia sempat bete, kesal, dengan kelakuannya sendiri yang bisa-bisanya lupa kalau dompetnya ketinggalan di kamar. Gara-gara hal tersebut, dia harus cepat-cepat pulang dan tidak bisa nongkrong di kantin bareng Ila, Zeze, dan Tora. Tapi, Untungnya dia masih bisa pulang naik angkot, dengan uang sepuluh ribu yang ditemukannya di dalam tas. Kalau tidak, terpaksa dia harus berhutang pada teman-temannya hanya untuk ongkos pulang.
“Om, sih, pengennya kita ke Malang.” Jelas Om Rendy.
“Silvi, sih, pengennya ke Lombok. Pengen tahu, tuh, seperti apa restoran yang selama ini di bangga-banggakan oleh Alga.” Ujar Silvi sambil mermikirkan gambaran-gamabaran yang di ceritakan oleh Alga, tentang restoran milik keluarganya di Lombok
“Kejauhan!” Sahut Om Seto tak setuju.
“Iya. Kejauhan, Silvi. Om, pengen kita wisata alam.” Kata Om Rendy.
“Yahhh, padahal Silvi pengen coba masakan restoran Alga.” Ungkapnya kecewa.”Tapi, terserah deh. Kemana saja, Silvi ikut.” Lanjutnya gembira.
“Kita pergi, tepat kalian libur semester! Kapan kalian libur?” Tanya Om Rendy antusias.
“Belum tahu.” Jawab Silvi enteng.”Perkiraanya, sih, sekitar 2 atau 3 minggu lagi. Soalnya, hari ini baru ujian. Tapi, Silvi selalu siap kapan pun perginya.”
“OK. Kalau begitu, kita tinggal bilang ke Alga.” Seru Om Seto.
“Alga ikut juga? Apa dia bisa? Dia, kan, sibuk. Setiap hari ada saja yang dikerjakannya. Sampai-sampai dia tidak sempat bantuin Silvi untuk buat tugas.” Kata Silvi mengingat-ingat kalau akhir-akhir ini Alga sangat sibuk.
Om Seto dan Om Rendy tersenyum geli, namun penuh makna. Itu hanya akting Alga saja, agar Silvi mengerjakan tugasnya sendiri supaya dia bisa mandiri.
“Oh, ya, Ayahmu, barusan telepon Om. Kenapa kau tidak angkat teleponnya?” Tanya Om Seto.
“M-A-L-A-S!” jawab Silvi mengeja.”Silvi masuk dulu! Lapar, nih!” Lanjutnya cepat, sambil melangkah masuk ke dalam rumah, sebelum Om Seto berkata lebih lanjut.
Nice.
Comment on chapter 1 : Rencana