“Bagaimana? Bagus, kan?” Tanya Zeze setelah keluar dari kamar ganti.
“Tidak!” Seru Ila dan Silvi kompak.
“Untuk apa kau tanya? Yang kau pakai hanya kaos biasa.” Jelas Silvi tanpa melihat Zeze. Dia sibuk memilih cardigan.
“Sebenarnya, tanpa perlu ditanya kau tahu sendiri jawabannya. Penampilanmu tidak akan berubah hanya dengan sepotong kaos” Kata Ila dengan tatapan mengejek.
Percuma menceramahi atau mengejek Zeze. Sebab itu tidak akan mengubah keputusannya membeli selusin kaos yang katanya akan dia gunakan saat berlibur di Jepang.
“Ini. Bagus! Sebaiknya kau beli ini, untuk dipakai di Jepang.” Ila menunjukan sebuat coat cantik berwarna merah muda.
“Tidak perlu! Aku punya dua di rumah.” tolak Zeze memandangi coat tersebut ngeri.“Selesai ini, kita makan.”
Tiga jam kemudian, mereka baru meninggalkan department store dengan berbagai macam belanjaan. Sejak tiga jam lalu pula, Zeze merasa seperti berada dalam neraka. Dia hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk membeli selusin kaos dan dua pasang sepatu kets. Sementara kedua temannya membutuhkan waktu berjam-jam hanya untuk membeli sebuah cardigan, coat, serta dua pasang sepatu.
“Ini terakhir kalinya, aku berbelanja bersama kalian!” Tegas Zeze berlalu meninggalkan Ila dan Silvi dibelakang. Kedua temannya masih sibuk membahas beberapa dress yang mereka lihat di department store tadi.
Dia berjalan mendekati eskalator untuk turun ke lantai tiga dan langsung masuk ke sebuah restouran Jepang bergaya minimalis modern.
“Kenapa disini?” Protes Ila.
“Aku yang traktir!” Sahut Zeze menjawab protesnya Ila.“Stop! Jangan protes lagi! Kalian pasti tahu, betapa muaknya aku menunggu kalian tadi. Sekarang gilirianku!” Lanjutnya ketika melihat Ila akan protes lagi.
“Sudahlah. Ayo, duduk saja! Jarang-jarang Zeze traktir kita. Kau bisa makan ramen. Kata Tora, ramen disini sangat enak.” Silvi menengahi.
“Oh, pantas!” Sahut Ila tersenyum jail pada Zeze.”Aku pesan ramen saja!”
“Kau pesan apa? Cepat! Jangan terlalu banyak pilih-pilih.” Tanya Zeze ketus pada Silvi yang sibuk membolak-balikan daftar menu. Dia bete karena Ila mengejeknya.
“Aku bingung. Apa ramennya enak, seperti yang dikatakan Tora?” Tanya Silvi polos.
“Kau tidak pernah makan masakan Jepang? Kalian berdua benar-benar kuno sekali.” Jawab Zeze mengejek sambil tertawa kecil.”Ah, kenapa, lah, aku bisa memiliki teman seperti kalian? Benar-benar kuno!”
Ila dan Silvi menatap Zeze datar. Antara sebal dan malu, karena dilihat oleh beberapa pengunjung yang duduk di dekat mereka.
“Kau suka dan mengenal makanan ini, hanya karena orang tua mu. Jika tidak, aku yakin, pasti akan terasa aneh di lidahmu. Sama seperti kami” jawab Ila datar. Jelas itu adalah alasan utamanya. Karena orang tua Zeze tinggal di Jepang. Jadi, setiap pergi mengunjungi orang tuanya, mau tak mau dia harus makan masakan Jepang. Awalnya memang aneh, lama-kelamaan menjadi biasa. Memang seperti itu, kan? Berawal dari kebiasaan meskipun tidak suka.
“Karena masakan Indonesia sangat enak, jadi kami enggan makan masakan negara lain. Kau pasti tidak tahu, kalau rendang adalah makanan paling enak didunia. Nomor satu!” Kata Silvi bijak. Menunjukan satu jarinya ke wajah Zeze.
Ila yang mendengarnya langsung tersedak saat minum air mineral. Tumben sekali Silvi bijak seperti tadi.
“Terserah kalian mau bilang apa? Yang aku tahu, kalian berdua kuno.” Jawab Zeze enteng. Dia lalu menyebutkan semua pesananya kepada waiters yang sejak tadi menunggu dan mendengar perbincangan mereka.
“Kita liburan masing-masing.” Seru Zeze setelah selesai makan.
Sebenarnya liburan ke Bali adalah idenya Tora. Dia tahu, kalau dia yang mengajak Silvi dan Ila pasti tidak akan berhasil. Sebab, sebelumnya dia sudah mendengar, jika Silvi dan Ila akan liburan masing-masing. Jadi, dia menyuruh Zeze untuk mengajak mereka. Karena kalau Zeze mengajak, mereka pasti akan ikut. Seperti kebiasaan sebelumnya, ajakan Zeze tidak bisa ditolak. Karena anak itu begitu keras kepala. Tetapi, Zeze sendiri sebenarnya sudah punya rencana akan liburan ke Jepang, tetapi dia terlalu segan untuk menolak ajakan Tora.
“Jadi Tora mengalah?” Tanya Silvi gembira.
Zeze langsung mengangukkan kepalanya cepat.”Bagaimana aktingku tadi? Keren, kan?”
“Tidak ada bedanya. Karena itu memang sifatmu.” Jawab Ila cepat.
“Tidak bisakah kau memujiku sekali saja?” Ujar Zeze sewot sambil menatap Ila yang masih sibuk dengan ramennya.
“Aku tidak bisa berakting seperti Silvi yang akan mengatakan itu semua. Aku ini adalah manusia yang jujur.”
“Jujur.” Ucap Zeze tertawa geli.
“Jadi, kau anggap aku selalu berakting?” Kata Silvi sebal. Menurutnya, dia hanya bersikap sesuai kondisi dan tidak pernah berlebihan, sampai harus berakting segala.
“Wah, kalian habis berbelanja, ya?” Sapa seorang pria.
Mendengar suaranya langsung membuat Silvi dan Zeze ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
“Kalian hanya bertiga? Mana yang lainnya?” Sapa Ila ramah.
“Mereka ada urusan masing-masing.” Jawab Fikar.”Kalian sudah selesai?”
“Belum.” Jawab Ila melirik ke arah ramennya.
Zeze yang tadinya berniat untuk berdiri, jadi mengurungkan niatnya. Karena jawaban Ila barusan.
“Aku rasa ini sangat cocok untukmu.” Seru Fikar tersenyum manis sambil meletakan sebuah brosur diatas meja.
“Ini memang sangat cocok untuknya. Dari mana kau mendapatkannya?” Sambar Silvi cepat saat melihat tulisan di brosur itu.”Kau tahu dimana lokasinya?” Tanyanya sangat bersemangat.
Zeze langsung melotot melihat kekompakkan antara Silvi dan Fikar.”Kalian pikir, aku tidak beretika, sampai-sampai kalian menyuruhku untuk sekolah etika. Benar-benar menyebalkan. Lebih baik aku pulang.”
Zeze langsung bergerak cepat, berdiri, lalu mengambil belanjaanya, dan berjalan kekasir untuk membayar pesanannya tadi. Dia tidak perduli dengan Silvi ataupun Ila yang memanggilnya.
“Tumben dia begitu?” Ujar Fikar takjub. Sebab, tidak pernah dia melihat Zeze ngambek seperti tadi. Dia terus memandang kepergian Zeze hingga sosoknya tak lagi terlihat.
“Yahhh, aku ditinggal sendirian.” Keluh Silvi yang juga menatap kepergian Zeze.
“Sendirian bagaimana? Masih ada aku disini.” Sahut Ila melirik Silvi .
“Tapi, rumah kita tidak searah.” Jelas Silvi polos.
“Tenang! Ada Arson disini.” Fikar menepuk pundak Arson yang duduk disebelah Silvi.”Dia yang akan mengantarmu, selamat sampai rumah. Ya, kan.” Fikar menatap Arson dengan tatapan jail.
“Apa, sih?” kata Silvi melirik Fikar dengan sebal. Karena cowok satu itu suka sekali menganggunya dan Arson.
“Aku hanya memberikan solusi.” Jelas Fikar dengan senyuman mautnya.
“Kira-kira Zeze jadi atau tidak traktir kita, ya?” Tanya Silvi pada Ila yang duduk berhadapan dengannya.
“Aku yang akan traktir kalian. Tapi, kalian tetap disini sampai urusan kami selesai.” Jawab Fikar cepat.
“Aku masih punya uang untuk membayarnya.” Ujar Silvi semakin sebal dengan tingkah Fikar.”Bisa tidak, kau cari meja lain? Kau—“
“Tidak!” Fikar langsung menjawabnya, padahal Silvi belum selesai berbicara.
“Anggap saja dia tidak ada. Hari ini dia memang sedikit menyebalkan. Ah, tidak. setiap saat dia memang selalu begini.” Kata Joe tenang.
“Aku pulang duluan, ya.” Ujar Silvi pada Ila secara mendadak setelah membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya.
“Kenapa buru-buru?” Tanya Fikar yang langsung duduk tegak.
“Mau belajar.” Jawab Silvi asal. Dia segera merapikan tasnya dan membawa seluruh belanjaannya. Sebelum keluar restoran, Silvi menghampiri kasir untuk membayar pesanannya, tapi sudah dibayar oleh Zeze.
Suka banget dengan tema reuni. Semangat ya, kak.
Comment on chapter 18 : Pertanyaan Leo