“Sepertinya sejak semalam, aku tidak melihat Silvi.” Ujar Rona tersenyum menang. Dia langsung mengajukan pertanyaan tersebut, begitu melihat Zeze. Rona yakin jika ketidakhadiran Silvi pasti dikarenakan faktor malu terhadap dirinya sekarang. Mungkin karirnya tidak secemerlang seperti otak cemerlangnya yang selalu membuat Rona kesal, atau mungkin dia sudah berubah menjadi wanita gendut.
“Saat ini, dia sedang berada di Jepang. Dua minggu yang lalu, aku bertemu dengannya di sana. Dia sangat menyesal tidak dapat menghadiri acara ini. Dia sudah berusaha agar dapat hadir untuk bertemu dengan kalian semua. Dia juga menitipkan salam untukmu, Rona dan kalian semua.” Jawab Zeze tersenyum tenang.
Leo yang mendengarnya, langsung menatap Zeze, bingung. Begitu juga Ila yang menatapnya memberi isyarat—jangan berbohong—tetapi, Zeze malah menatap balik Ila dengan tajam, dan kini mereka perang tatap-tatapan.
Sedangkan, Tora hanya diam ketika mendengarnya. Ujung bibirnya menyunggingkan sedikit senyum. Sebuah senyum nanar. Hazen yang mendengarnya dari jarak beberapa meter terlihat mendesah kesal.
“Benarkah, dia berada di Jepang?” Tanya Hazen ketus.
Zeze hanya mengangguk membenarkannya.
“Apa dia baik-baik saja? Dia pasti sangat-sangat baik.” Hazen menarik nafas panjang.”Aku dapat merasakan dia sedang tersenyum mengejek padaku.” Kata Hazen lagi.
Zeze kembali mengangguk. Walaupun tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh Hazen.
“Sedang apa dia di Jepang? Liburan? Aku sudah mengirim email dua bulan sebelum acara, kenapa dia masih tidak bisa mengusahankannya untuk datang.” Seru Hazen dengan volume agak keras, sehingga mengejutkan orang-orang yang berdiri di sekitarnya.
“Ada apa denganmu? Apa kau merindukannya?” Tanya Ila mengejek. Dia merasa sikap Hazen sangat aneh. Mau dia mengundang sebulan lalu, dua bulan lalu, enam bulan lalu, atau setahun lalu, jika tidak bisa, ya, tidak bisa. Mana mungkin dipaksakan. Sok perfeksionis
“Ya, rindu bertengkar dengannya.” Sahut Zeze mengejek.”Aku juga rindu Fikar, rindu bertengkar dan berdebat dengannya, benarkan Fikar?” Zeze menoleh ke arah Fikar.
“Begitulah.” Jawab Fikar tersenyum.
Hazen speechless mendengar ejekan yang dilontarkan Ila dan Zeze. Dia mengadakan reuni ini memang untuk kembali menjalin persahabatan yang erat dengan teman kuliah. Hazen juga berharap bisa menjalin pertemanan dengan Silvi dan meminta maaf padanya untuk sikapnya selama kuliah. Hubungan mereka semasa kuliah, memang tidak baik. Namun, ada hal lain yang membuatnya ingin sekali bertemu untuk mengucapkan maaf dan terima kasih.
Dua bulan usai wisuda, tanpa sengaja Hazen bertemu dengan Silvi di desa penglipuran, Bali. Saat melihat Hazen, Silvi tersenyum dan menyapanya, tetapi Hazen malah mengacuhkannya dan berpura-pura tidak melihatnya. Mendapat perlakuan seperti itu, Silvi hanya diam dan kembali melanjutkan perjalanannya mengunjungi desa penglipuran. Ternyata, pertemuan mereka tidak sampai di situ saja.
Saat Hazen dalam perjalanan kembali menuju Hotel, dia mengalami kecelakaan mobil. Dia tidak mengalami luka parah, namun dia sempat tidak sadarkan diri. Saat dia bangun, orang pertama yang dilihatnya adalah Silvi. Suster menjelaskan jika Silvi, lah, yang menolongnya dan membawanya ke rumah sakit. Bukan berterima kasih sudah di tolong, Hazen malah membentak Silvi dan mengatakan, jika dia tidak perlu bantuan ataupun pertolongannya. Dia juga mengusir Silvi dari rumah sakit.
“Walau sekarat sekalipun, aku tidak sudi kau bantu. Jadi berhenti berbuat sok baik padaku. Pergi dari kamar ini! Sekarang! Aku tidak suka melihatmu. Ingat kata-kataku.” Kata-kata itu kembali berputar di otaknya. Sekarang, dia menyesali perkataanya tersebut.
“Dia pasti tidak ingin bertemu denganku.” ucap Hazen pelan, setelah lama diam. Dia menyadari kesalahannya terakhir kali bertemu dengan Silvi.
Semua langsung menoleh ke arah Hazen. Hubungan mereka memang tidak baik, tapi tidak mungkin hanya karena alasan ketidakakraban seperti itu, Silvi tidak mau hadir. Sebab Silvi bukan tipe orang yang seperti itu.
Hazen tersenyum sumbang.”Harusnya, aku mengucapkan terima kasih, bukan mengusirnya. Dia pasti marah, susah payah membawaku ke rumah sakit, tapi mendapat perlakuan seperti itu.”
Semua yang berdiri di dekat Hazen semakin menatapnya dan meninggalkan sejenak obrolan mereka. Mereka jadi penasaran, karena mereka sedikitpun tidak mengerti dengan apa yang dikatakan olehnya, barusan. Memangnya apa yang telah terjadi diantara Hazen dan Silvi yang tidak mereka ketahui? Mereka diam, menanti Hazen untuk menjelaskannya, namun Hazen malah pamit meninggalkan mereka.
“Aku harus memberikan kata sambutan, sebelum acara ini berakhir.” Hazen lalu pergi setelah melirik jam tangannya. Mengingat setengah jam lagi, acara akan berakhir. Sebagai ketua panitia dalam acara ini, dia harus memberikan kata sambutan dan ucapan terima kasih atas kehadiran dan partisipasi para tamu undangan pada acara siang ini, hingga terlaksana dengan lancar.
“Aku jadi penasaran, seperti apa gadis yang bernama Silvi?” tanya Fani pada Leo.
Leo tidak memberi respon, dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Tentang ketidakhadiran Silvi. Tora berkata, kalau mereka kehilangan kontak dengan Silvi. Lalu Zeze mengatakan, jika Silvi sedang berada di Jepang, Dan Hazen bilang, jika Silvi tidak datang karena tidak ingin bertemu dengannya. Sebenarnya kata-kata siapa yang benar?
“Leo.” Fani menyentuh pundak Leo.
“Tanya saja, pada yang lain. Aku mau ke kamar.” Leo melangkah pergi dari tempat acara, tanpa pamit pada yang lainnya.
“Olan, kau mengenal Silvi? Seperti apa dia?” Tanya Fani yang masih penasaran.
“Mungkin, lebih baik kau bertanya pada Hazen, Leo, atau yang lainnya. Sudut pandangku dan mereka berbeda dalam menilai Silvi.” Jawab Olan datar. Dia kembali menatap Hazen di kejauhan.
Arson tidak bersuara sejak tadi. Dia hanya mendengar dan mengamati semua perbincangan teman-temannya tentang Silvi. Sesekali dia melirik Olan, yang menurutnya tahu lebih banyak tentang keberadaan Silvi dibanding dengan semua obrolan teman-temannya tadi.
Suka banget dengan tema reuni. Semangat ya, kak.
Comment on chapter 18 : Pertanyaan Leo