Suara sirine ambulans yang memasuki perkarangan rumah sakit, diikuti dengan mobil polisi dan beberapa mobil lainnya, membuat sejenak pandangan tertuju pada mereka. Meski hal tersebut biasa terjadi, tetapi tetap saja semua orang-orang penasaran dan bertanya-tanya, apa yang telah terjadi?
Silvi yang baru saja tiba di rumah sakit, sejenak melihat ke arah ambulans, sebelum berlalu pergi ke ruang praktek Om Seto.
“Pagi,” Sapa Silvi dengan riang pada perawat yang bertugas di ruangan Om Seto.
“Pagi, Silvi. Dokter Seto baru saja pergi. Kau tidak berpapasan dengannya di jalan?” Jelas perawat wanita itu.
Silvi mengelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, tunggulah sebentar! Tadi, dia terlihat terburu-buru setelah menerima telepon. Mungkin ada yang mendesak.”
“Dia sangat sibuk belakangan ini,” keluh Silvi.”Tante Sora juga.”
Perawat itu tersenyum sambil mengelus punggung Silvi.”Mereka sibuk pasti karena ada sesuatu yang sangat darurat yang harus di kerjakan.”
“Memangnya apa yang darurat?” Tanya Silvi menatap perawat itu penasaran.
“Aku tidak tahu.”
“Tahu, tapi pura-pura tidak tahu,” Gumam Silvi pelan,”Om Seto lama banget, sih. Kau tidak sibuk, kan? Bagaimana kalau kita bermain ular tangga sambil menunggu Om Seto.”
“Boleh.”
“Yang kalah traktir makan nasi goreng di café baru yang ada di sebrang jalan,” Tantang Silvi jail.
“Kau tidak boleh makan sembarang. Ingat, kau baru saja sembuh! Ganti hukuman yang lain. Bagaimana kalau yang kalah, wajahnya di coret pakai lipstick.”
“Aku sudah sehat.” Silvi sebal karena sejak sebulan lalu di larang ini dan itu.
“Kalau begitu, tidak ada hukuman untuk yang kalah!”
“Kalau tidak ada hukumannya, tidak seru. Baiklah! Yang kalah wajahnya di coret dengan lipstick.”
Silvi langsung mencari aplikasi permainan tersebut di ponselnya. Lalu mengeluarkan lipstick yang berada di dalam tasnya.
Mereka mulai bermain.
30 menit sudah berlalu dengan heboh. Wajah penuh coretan. Saat ini, mereka sedang bermain di putaran ke 25. Silvi memenangkan 17 kali permainan, sedangkan si perawat masih 7, masih kalah jauh dari Silvi.
“Yaah, kok turun, sih. Kenapa ularnya bisa ada disini.” Silvi melotot sebal melihat lagi-lagi pion miliknya turun. Di putaran yang ke 25 ini, pion milik Silvi sudah turun 19 kali.
“kali ini kemenangan berpihak padaku.” Perawat itu tertawa lebar.
“Terlalu percaya diri.”
“Percaya diri itu awal dari keberhasilan.”
“ASTAGA!” Teriak seorang pria.
Silvi dan sang perawat yang sedang asik bermain ular tangga terkejut dengan teriakan tersebut. Mereka menoleh ke pintu masuk. Di sana terlihat seorang pria dengan jas putih dokter mengeleng-gelengkan kepalanya melihat wajah mereka yang penuh dengan coretan berwarna pink.
“Ini masih jam kerja,” Tegur dokter pria itu pelan.
Silvi dan perawat wanita tersebut saling melirik diam. Sang perawat merasa malu dan bersalah karena sudah bermain-main di jam kerja, sedangkan Silvi heran dengan teguran dokter pria tesebut, karena perawat yang berada dihadapannya bertugas khusus di ruangan Om Seto. Bukan di ruangan pria tersebut.
Silvi mengarahkan lagi pandangannya pada dokter itu. Kali ini, dia menatapnya secara terang-terangan. Dokter tersebut terlihat sangat asing baginya.
“Ini dokter Rayhan. Dokter baru di rumah sakit ini. Dokter Rayhan akan mendampingimu untuk cek up,” Jelas sang perawat,”Baru saja, aku menerima pesan dari dokter Seto.”
“Kamu Silvi, anaknya dokter Seto dan dokter Sora?” Tanya dokter Rayhan tanpa basa basi.
“Seina.”
Dokter Rayhan mengerutkan dahinya bingung. Tidak mengerti maksud dari jawaban Silvi. Berbeda dengan sang perawat yang mengerti maksud Silvi.
“Aslinya, dia cantik sekali, ya,” Kata perawat itu terpesona. Kebetulan dia melihat Seina, saat berbicara dengan dokter Rayhan yang berdiri di ambang pintu dengan pintu yang terbuka lebar. Dia mengenal Seina, dari cerita Silvi. Selama ini dia hanya melihat fotonya yang ditunjukan oleh Silvi. Beserta, cerita-cerita keseharian antara Silvi dengan Seina.
Sesaat, Silvi langsung melirik sebal ke perawat tersebut. Lalu dia segera berlari keluar untuk menyusul Seina. Namun, belum sempat dia melangkahkan kakinya keluar pintu, dia teringat wajahnya masih penuh dengan coretan lipstick.
“Tolong, lihat dia pergi ke arah mana! Aku mau membersihkan wajahku dulu.” Perintah Silvi pada perawat tersebut, sebelum memasuki toilet di ruangan dokter Seto.
Silvi menjadi sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di fakultas kedokteran hari ini. Kini, Seina malah ikut-ikutan menangis juga. Dirumah sakit pula.
Usai wajahnya benar-benar bersih. Silvi segera keluar dan langsung bertanya,”Ke mana dia?
“Sepertinya kamar jenazah. Dia berlari terus sampai ke ujung, lalu belok ke kiri. Itu, kan, kamar jenazah. Memangnya Siapa yang meninggal?”
“Hah. Ada yang meninggal.” Silvi terkejut sambil berpikir siapa yang meninggal dunia. Apa mungkin salah satu keluarganya atau kerabatnya. Tetapi, tadi dia terlihat bersama Anita dan beberapa teman sekelasnya.”Apa mungkin salah satu teman sekelasnya atau dosen mereka.”
"Kau juga tidak tahu siapa yang meninggal.”
Silvi langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat.”Oh, ya, aku ke sana sebentar. 5 menit saja. Aku akan segera kembali.”
Dengan langkah cepat, Silvi segera meninggalkan ruangan dokter Seto. Meninggalkan dokter Rayhan yang masih menatapnya takjub.
“Dia terlihat baik-baik saja.” Dokter Rayhan menatapnya dari kejauhan.
Nice.
Comment on chapter 1 : Rencana