Jangan takut lagi ya, Ra. Aku akan jagain kamu —Bram
Perkuliahan selesai, Tera dan Anggia pun segera mebenahi modul-modul ke dalam tas. Saat dosen sudah meninggalkan kelas, kedua Mahasiswa Sastra Inggris itu pun langsung beringsut menuju kantin, memutuskan untuk nongkrong sebentar di sana sembari menikmati es tebu di pojokkan sebelum nantinya pulang ke rumah masing-masing.
“Gue nebeng ya, Gi.” Tera berkata selagi bibirnya menyedot cairan manis dari sedotan, dan hal tersebut membuat Anggia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabat sejak SMA-nya itu.
“Elo nggak bawa si Ucan emang?” bertanya sebelum berdecak kesal saat Tera yang siap menjawab pertanyaan tadi malah tersedak sampai wajahnya memerah. “Ck! Orang yang ngeliat lo dalam keadaan tolol kayak gini pasti nggak akan pernah nyangka kalau elo penerima beasiswa tetap kampus ini.” Anggia menyerahkan beberapa lembar tisu yang diambilnya dari dalam tas.
"Gue kan emang nggak suka pamer, Gi.” Tera menimpali selagi tangannya sibuk mengelap bibir dan dagunya yang basah dengan tisu tadi, sementara cewek hitam manis berambut hitam legam selurus sapu lidi yang duduk di hadapannya memutar mata jengah. “Si Ucan ngambek. Minta perawatan dia.” menjawab pertanyaan sebelumnya, dan Tera meringis ketika teringat keadaan si motor matic kesayangan saat dibawa ke bengkel tadi pagi. “Padahal dompet lagi tipis banget ini.”
Anggia terkekeh. “Minta dimusiumin kali tuh si Ucan.” Tera hanya menggedigkan bahu sebelum mengeluhkan betapa panasnya Jakarta sembari mengikat rambut ikal sebahunya dengan karet gelang. “Eh deadline tugas analisis novel kapan, sih?”
“Kenapa emang? Pasti lo belum, ya?” tembak Tera langsung yang disambut anggukkan, dan senyuman lebar Anggia. “Ck! Kemana aja sih lo, Gi? Beruntung deh lo Tuhan masih sayang sama lo karena deadline-nya masih seminggu lagi dari sekarang.”
Anggia memasang mode cemberut. “Elo kan tahu gue paling males baca novel.”
“Kalau Jane Austen dengar ucapan lo barusan, dia pasti bakalan sedih banget. Anak Sastra kok males baca.” Tera bersungut-sungut sembari geleng-geleng kepala. Lebih dari enam tahun mengenal Anggia, dia selalu gagal memahami isi kepala sahabatnya itu. Sama seperti ketika Anggia memutuskan untuk memilih Sastra Inggris hanya karena Tera memilih jurusan tersebut. “Pilih novel modern aja lah kalau elonya malas baca novel klasik.” Sambung Tera lagi, yang diajak bicara pun hanya manggut-manggut, dan ujung-ujungnya minta dibantu. “Makalah cross culture udah?”
Anggia yang tengah ngeyot langsung melepaskan sedotannya. “Nah!” matanya berbinar sebelum menggeleng membuat Tera menghela napas frustasi. “Elo udah?”
“Ide sih udah ada, Gi. Tapi gue belum nemu bule Belanda buat diwawancara.” Berniat menulis perbadingan cara keluarga Belanda, Indonesia dan Inggris dalam menamai anak-anak mereka, namun dia belum menemukan sumber valid untuk bahan tulisannya. Berhubung tak ingin sembarangan mencomot informasi dari internet, Tera berniat mencari Mister Bule Belanda yang akan dijadikan responden, sama seperti dosen asal kampung halaman J.K Rawling yang beberapa hari lalu sudah ia wawancarai. “Mau ngerjain bareng?” Tera menawarkan, namun Anggia menggeleng, katanya takut malah merepotkan Tera.
“Cukup bantuin gue analisis novel aja.” Tegas Anggia sebelum mengiderkan pandangan ke sekeliling, lalu mendesis sebal saat matanya melihat pemandangan di pelataran kampus. Al tampak asik mengobrol dengan Natali si Ariana Grande KW super dekat Byson cowok itu, dan saking asiknya, mereka tak sadar kalau ada sepasang mata yang tengah mengawasi. “Katanya naksir teman gue, tapi dia malah asik ngobrol aja sama si Natali, pakai pegang-pegang pipi segala, lagi!” dengus Anggia jijik.
“Apaan sih, Gi?” Tera bertanya sembari mengikuti arah pandang Anggia, dan refleks tangannya menyambar Kamus Oxford tebal dari atas meja demi menutupi wajahnya ketika ikut menyaksikan pemandangan tersebut.
“Ck, Ra. Turunin tuh kamus. Kalaupun si Al liat lo, gue yang bakal hadapin dia!” Anggia tak suka melihat Tera seperti itu hanya karena Al yang kini malah asyik-asyikan dengan cewek lain. Tera menuruti ucapan Anggia bertepatan ketika sahabatnya itu kembali meracau. “Gue kira tuh cowok serius ngejar elo, Ra. Ternyata cuma basa-basi doang. Cih! Kalau dasarnya bajingansih ya bajingan aja.”
“Yaudah lah, Gi. Namanya juga player cap ikan teri.” Tukas Tera, dan meringis ketika menyaksikan Natali terkikik pelan sambil menggelendot manja pada Al di depan sana.
Anggia kini menatap Tera. “Elo jangan mau, Ra. Sama dia.”
“Dih, liat mukanyanya aja gue udah enek.”
Terkekeh. “Sebegitu bencinya ya elo sama tuh cowok.”
“Dunia akhirat, Gi.”
Kekehan Anggia semakin menjadi. “Kayak elo nggak pernah dengar kalau cinta dan benci itu setipis benang aja sih.”
“Maaf?”
Muka Tera yang sudah busuk banget membuat Anggia memilih untuk bertanya hal lain. Bertopang dagu pada sebelah tangan, tanyanya, “Gue penasaran deh, Ra.” Tera yang sedang asik mencoloki es batu dalam gelas plastiknya dengan sedotan seolah hal tersebut mampu membuat benda dingin itu bolong pun mengangkat kepala. “Elo kok benci banget ya sama Al? Perasaan mantan-mantannya aja nggak ada yang sampai pengin ngajak perang gitu sama itu cowok kayak elo gini.”
Tera mendorong gelasnya ke tengah meja, dan menatap Anggia serius. “Yang pertama karena dia berengsek, yang ke dua dia berengsek banget, dan yang ke tiga dia berngsek banget banget”
Memutar bola matanya jengah. “Serius, Ra.”
“Gue juga,” tegas Tera. Anggia mengerenyit tanda tak setuju, dia hanya merasa kalau Tera menyembunyikan sesuatu seolah ada alasan lain yang membuat sahabatnya begitu membenci Al, namun ia tidak mau berspekulasi. Kini Tera melipat tangan di depan dada. “End of discussion ya, Gi.” Anggia menggeleng. Tera mengerang sebal, “Apalagi?”
“Kok guenya merasa elo lagi menyembunyikan sesuatu dari gue, ya, Ra? Ada apa sih?”
“Ada apa apanya sih, Gi?”
“Elo—” berhenti sejenak, “Alasan sebenarnya elo benci sama Al—” mengangkat sebelah tangannya saat Tera siap membuka mulut. “Gue nggak mau dengar lagi alasan yang sebelumnya elo katakana, pasti ada alasan lain, kan?
Tera menghela napas, dan menggerutu diam-diam saat menyadari kalau terkadang Anggia itu sama seperti wartawan, doyan banget bertanya. Menguraikan tangannya, Tera kemudian mencondongkan tubuh ke depan meja. “Yang pertama karena gue nggak suka, yang ke dua elo mau kalau gue nantinya jadi barang bekas pakai? Tahu sendiri kan selama ini cewek-cewek yang pernah pacaran sama dia akhirnya kayak apa?” ia saja sampai bergidig ngeri membayangkannya. “Dan, yang ke tiga—” Tera berhenti, mulai menggigit bibir bawahnya, dan karena hal tersebut Anggia mengerutkan kening saat menyadari kegugupan cewek itu, menguatkan dugaannya kalau Tera tengah menyembunyikan sesuatu.
“Yang ke tiga?” desak Anggia.
“Ya gue nggak mau aja pacaran sama dia.” Buru-buru mengalihkan pandangan ke mana pun untuk menghindari tatapan kepo Anggia.
“Kalau misalnya—misal—dia serius sama elo?”
“Nggak mungkin!” tampik Tera langsung. “Udah ah, pulang yuk? Ngomongin dia kepala gue jadi pening,” katanya sambil bangkit, sementara Anggia tersenyum geli sebelum menyusul sahabatnya yang tengah ngambek itu.
Saat meninggalkan kantin, Tera bersyukur diam-diam karena Al tak lagi berada di tempat, membuat ia dapat dengan bebas melenggang di bawah terik matahari sembari berharap kalau Anggia tak akan kembali mengungkit-ungkit pembahasan mengenai alasan kenapa ia begitu membenci Al. Karena…
“Ra, gue pengin pipis dulu, ya?” celetukan Anggia membuat Tera bangun dari lamunan, dan mendapati sahabatnya itu sudah jelalatan kayak cacing kepanasan..
“Yah, tahan deh,” kata Tera sambil celingukan. Tak melihat Al lagi ketika mereka meninggalkan kantin memang membuat Tera dapat bernapas lega, tapi bahaya bisa muncul
kapan saja, bukan?
“Udah di ujung banget nih, Ra.” Rengek Anggia sembari memegangi perut bawahnya, dan melihat itu membuat Tera kasihan juga, jadi dia pun membiarkan Anggia pergi setelah memperingati untuk tidak berlama-lama.
Paska sahabatnya itu berlari menuju fakultas mereka, Tera segera bergerak menuju Honda Brio silver Anggia, dan mengerang sebal karena lupa tidak meminta kunci, membuat ia mau tidak mau harus berdiri di bawah pohon untuk menghindari terik matahari sampai terdengar sebuah suara yang membuatnya terlonjak kaget.
“Elo nunggu gue?”
Seketika bulu romanya meremang.
(***)
Fokus Al sudah sepenuhnya tersita pada sosok mungil dalam balutan jumper abu-abu dan blue navy jean saat matanya menangkap kehadiran cewek itu di kantin bersama sang sohib yang Al ketahui bernama Anggia. Dengan menempati meja dipojokan sembari menikmnati es tebu tersegar sepanjang masa itu, Al yakin kalau mereka dapat menyaksikan kebersamaannya bersama Natali yang mulai menggelendot manja. Berpura-pura tak menyadari keberadaan serta tatapan Tera padanya, Al memilih untuk meladeni Natali. Namun, saat Tera terlihat hendak meninggalkan kantin, ia memutuskan untuk segera bersembunyi karena gadis itu pasti tidak akan sudi berjalan melalui tempatnya berdiri meskipun hanya jalan tersebut satu-satunya akses menuju parkiran.
“Al, yuk pulang.”
Sebenarnya Al risih banget pada Natali yang sedari tadi merecoki. Cantik sih, sexy lagi, dan bisa diajak manja-manjaan, tapi dia mah lebih cocok dijadikan teman main-main ketimbang pacar apalagi diseriusin. Walaupun Al tahu kalau Natali sudah lama mengejarnya, dan mereka sering jalan bareng beberapa kali yang ujung-ujungnya membuat Al tak pulang ke rumah karena menginap di rumah cewek itu, Al tidak berniat untuk menjadikan si Ariana Grande KW super ini sebagai kekasih. Gila aja!
“Cantik, kamu pulang duluan aja, ya? Aku lupa kalau hari ini harus ke rektorat untuk minta transkrip pembayaran.” Meskipun risih, Al tetap memperlakukan Natali lembut banget karena pada dasarnya dia tidak suka mengasari perempuan—kecuali Tera mungkin. Bagi Al perempuan adalah mahluk lemah yang harus disayang-sayang, dimanja-manja, bahkan disentuh-sentuh sesekali, dan sikapnya yang tahu betul bagaimana cara memperlakukan perempuan itu membuat ia dipuja-puja oleh lawan jenisnya meskipun tahu kalau Al adalah bajingan kelas berat.
“Kamu, kan, udah janji mau antar aku pulang,” Natali merajuk sembari memanyunkan bibir semerah cabainya.
Ini cewek nyusahin banget sih? Gerutu Al dalam hati. Dia memang suka memanjakan cewek, tapi paling tidak suka melihat cewek manja yang doyan merajuk seperti ini. Jadi, ditatap lah Natali dengan tajam, meski tanpa mengatakan apapun, peringatan dari sorot mata Al sudah berhasil membuat Natali mengerti kalau dia harus segera mundur.
“Ck! Yaudah deh aku pulang sendiri aja!” gerutu cewek itu sebelum pergi dengan menghentak-hentakkan kaki seperti Poodle.
Tanpa membuang-buang waktu, Al segera bersembuyi di Fakultas Sastra untuk mengamati Tera dan Anggia dari kejauhan, lalu mengerenyit ketika menyaksikan Anggia meninggalkan sahabatnya. Saat Anggia mulai memasuki bangunan tempat persembunyiannya, Al langsung merapat pada tembok di balik pintu sebelum kilatan licik muncul di mata coklatnya kala mendapati mangsanya hanya tinggal sendirian. Lalu, dengan langkah percaya diri, ia segera melangakahkan kaki ke tempat Tera yang kini tengah berteduh di bawah pohon rindang.
“Elo nunggu gue?”
Pertanyaan Al membuat Tera terlonjak, jelas bukan pertanyaan itu yang membuatnya terkejut, tapi kehadiran mendadak Al lah yang membuatnya seperti itu.
“Ngapain lo di sini?” Tanya Tera defensif.
“Nemuin pacar gue lah,” Al menjawab santai, dan Tera mendesis sebal.
“Apa setiap cewek yang ada di dekat lo, bisa lo labeli dengan sebutan pacar? Oh… berarti Natali juga dong?”
Al mengangkat sebelah alis tebalnya, mengamati Tera beberapa saat sebelum tergelak. “Elo liat gue ngobrol sama Natali?” Bertanya di sela tawa walau ia sudah tahu jawabannya.
“Bahkan gue liat saat jari-jari lo itu ngejamah pipi medok Natali!”
Tuh kan benar, pikir Al. Lalu, melenyapkan tawanya untuk melangkah mendekat pada Tera. Refleks gadis itu mundur, dan mengerang kesal saat merasakan batang pohon keras sudah menempel di punggungnya. Jarak mereka yang begitu dekat, serta harum maskulin Al bercampur dengan nikotin yang tercium oleh hidungnya membuat jantung Tera berdebar kencang lebih karena takut. “Elo cemburu?” Al bertanya
Mata cewek itu melotot, bagaiamana bisa Al mengira dirinya cemburu? Belum sempat dia membalas pertanyaan barusan, Mata Tera menangkap seseorang yang mungkin saja bisa menyelamatkannya dari iblis ini. “Bram!” ia berteriak pada cowok jangkung yang tampak ‘jantan’ dengan bulu-bulu halus wajahnya itu. “Bram!”
Cowok bernama Bram yang tengah berjalan bersama beberapa orang temannya tersebut langsung menghentikan langkah, celingukan mencari sumber suara yang baru saja menyerukan namanya. Dan, ketika ia melihat dua mahluk yang berdiri dalam radius cium di bawah pohon di depan sana, dahinya berkerenyit dalam, antara yakin dan tidak kalau suara serak tadi adalah milik Tera. Tapi, setelah menyipitkan mata demi menajamkan penglihatan, ia yakin kalau cewek itu adalah Lentera Kamasean.
Sementara itu Tera merasa lega saat Bram berhasil menemukannya, lalu dengan garang ia kembali menatap Al. “Gue sibuk, awas!” Mendorong dada Al dengan kedua telapak tangan, namun itu tak membuat Al mundur ke belakang, cowok itu malah mencekal sebelah lengan Tera yang membuat Tera berontak mati-matian.
“Siapa tuh cowok?” desis Al marah.
“Elo nggak harus tahu, yang pasti dia bukan playboy cap ikan teri kayak elo!” tantang Tera. Al melotot, namun kali ini Tera tidak takut karena ia yakin jika Al berani macam-macam, Bram akan menolongnya. “Lepasin!” masih berusaha melepaskan diri dari Al, namun lagi-lagi Tera tak berhasil, Al malah semakin mengetatkan cekalannya, dan hal tersebut membuat Tera panik setengah mati. Gugup ia melirik Bram yang masih berdiri di tempat, takut kalau Bram akan salah paham dengan apa yang dia lihat karena Bram adalah salah satu dari sekian alasan kenapa dirinya tak bisa menerima Al. Tera jatuh cinta pada cowok itu sejak SMA, dan dirinya bersumpah akan semakin membenci Al dunia akhirat kalau sampai Bram berpikir macam-macam. “Lepasin!” desis Tera tak main-main.
Al masih melotot padanya dengan rahang mengeras, tidak habis pikir kalau dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam gadis ini sudah berhasil membuatnya marah dua kali! Namun pada akhirnya Al tetap melepaskan Tera.
Tanpa basa-basi Tera segera meninggalkan Al untuk menemui Bram, sementara Al yang menyaksikan pemandangan itu hanya terdiam dengan hati bergejolak. Bahkan, matanya menyempit saat laki-laki bernama Bram itu meliriknya sekilas dengan tatapan sinis sebelum Tera menggandengnya pergi.
“Den, elo di mana?!” sambar Al tanpa basa-basi ketika ponsel sudah menempel pada sebelah telinga karena ia perlu berbicara dengan Raden saat ini juga.
(***)
“Jadi, cowok itu satu sekolah sama lo dan Tera waktu SMA,” Al mengulang penjelasan Raden sebelumnya dengan mata menerawang, dan yang diajak bicara hanya manggut-manggut. Selepas meninggalkan kampus, Al memacu motornya gila-gilaan, dan semua itu dia lakukan demi bisa cepat tiba di rumah Raden. Berhubung rasa penasarannya terhadap laki-laki bernama Bram yang dipanggil oleh Tera di kampus tadi sudah mencapai ubun-ubun, dia sudah memberondong sang tuan rumah dengan rentetan pertanyaan bahkan sebelum Raden mempersilakannya masuk. Al yakin saja kalau si Bram akan menjadi ancaman jika ternyata Tera menyukai laki-laki itu. Tapi, apa benar Tera menyukainya? Pikir Al. “Tera sama Bram dekat?” ia kembali bertanya setelah beberapa saat terdiam..
Raden yang duduk ogah-ogahan di sofa ruang tamunya menggedigkan bahu,. “Lumayan.”
Al melotot. “Lumayan?”
“Ya lumayan dekat solanya dulu Lentera Kamasena wakil ketua osis.”
“Dan, Bram ketua osisnya?” Al menyimpulkan.
Raden menjentikkan jari, “Tepat sekali mas bro.”
“Tera suka sama tuh cowok?” kini ia cemas, benar-benar cemas.
“Wihhh, jadi ini alasan lo nanyain Bram? Elo takut si Lentera Kamasena naksir Bram?”
Tubuh Al menegang, tengsin juga kalau harus mengakui pertanyaan sahabatnya itu, jadilah Al berdebat dengan dirinya sendiri sebelum membenarkan pertanyaan tadi dengan konsekuensi mendapat cibiran Raden. Namun, sikap yang ditunjukkan Raden ternyata di luar ekspektasinya.
Raden cowok yang doyan ngegebug dram, dan naik gunung itu menegakkan tubuh. Dengan wajah distel serius, ia bertanya. “Elo beneran naksir Lentera Kamasean, Al?” Raden heran saja karena baru kali ini ia melihat Al tampak begitu menggebu-gebu mengejar seorang cewek, bahkan dia rela datang ke rumahnya hanya untuk mengorek informasi tentang Bram yang dicurigai Al sebagai laki-laki yang ditaksir Tera.
“Gue pengin naklukin dia,” Al menyandarkan tubuh di sofa, pandangannya tertuju pada pohon palm di halaman demi menghindari tatapan Raden.
“Terus apa lagi, Al? Setelah berhasil naklukin Lentera Kamasean, Elo bakal tinggalin dia gitu aja kayak cewek-cewek lain?” Al langsung melotot pada Raden, dan ekspresi kecewa langsung terlihat di wajah sahabtanya itu. “Dengar, Al. Elo emang sahabat gue, tapi gue nggak terima kalau elo cuma main-main sama Lentera Kamasean karena gue tahu dia cewek baik, dan kalau lo sampai nyakitin hati dia ataupun bikin dia rusak, gue orang pertama yang bakal nabokin lo.”
Al tertegun mendengar ancaman tersebut, tidak pernah menyangka saja kalau rencananya menaklukkan Tera mendapat rintangan dari seseorang yang dia pikir akan memberi dukungan. Oke, dia memang tertarik pada Tera, dan ketertarikannya semakin tak terkendali hanya karena cewek itu matian-matian menolaknya. Yeah… Al itu cowok normal yang semakin penasaran akan semakin merasa tertantang untuk mendapatkan incarannya. Bahkan Al yakin kalau dirinya sudah berhasil menjinakkan Tera, cewek itu lah yang akan mengemis-ngemis cinta padanya. As Usual.
Al memilih pamit pulang dengan perasaan dongkol, dan untuk melampiaskan kekesalannya itu dia kembali mengemudikan motor dengan kecepatan tinggi. Tahu tidak? Dia benar-benar marah, entah kenapa. Mungkin karena Raden, atau juga karena Tera, gadis yang diam-diam membuatnya frustasi karena belum juga dia dapatkan. Sial! Al mengerrem secara mendadak, menimbulkan decitan yang begitu memekakkan telinga, namun Al tak mengindahakannya, sama seperti ia mengabaikan segala sumpah serapah yang dilontarkan oleh pengemudian lain karena saat ini kepalanya penuh dengan skenario untuk menaklukkan Tera. Namun, saat yakin dirinya tak akan bisa berpikir jernih, yang dia tahu harus dilakukan sekarang adalah menyalurkan amarahnya.
Dua tahun yang lalu, mungkin dia langsung mengisi carrier-nya dengan segala perlengkapan mendaki, lantas meninggalkan rumah selama berhari-hari untuk naik gunung. Bukan hanya sekedar melepaskan segala pikiran penat, namun juga demi membersihkan kekalutan hatinya. Kemudian, dia akan pulang kembali dengan perasaan jauh lebih baik. Bagi Al, mendaki bukan hanya hobi, bukan juga sebagai ajang unjuk gigi, katakanlah sebagai healing jiwa, dan proses belajar meredam egonya yang kadung besar bahkan sampai saat ini. Namun, sejak kejadian itu, kejadian yang membuatnya benar-benar seperti kehilangan matahari dalam hidup, Al perlahan menarik diri dari semua kegiatan tersebut sebelum kecintaannya berubah menjadi rasa benci. Jadi, beberapa tahun belakangan yang dibutuhkan hanya teman perempuan dan dentuman musik untuk menyalurkan amarah meski saat berada di klub, dia hanya duduk bego dengan pandangan menyalang.
Menyambar ponsel dari saku celana jean, lalu dengan cepat ia menghubungi Natali. “Dandan yang cantik, aku jemput kamu lima belas menit lagi.”
(***)
Selagi Al sedang dikuasai amarah, Tera malah tengah berbunga-bunga. Bahkan, selepas berganti pakaian dan rebahan di atas ranjang, pikirannya masih enggan move on dari segala kejadian yang melibatkan dirinya dengan Bram. Setelah ia lepas dari gangguan Al di kampus tadi, Bram segera membawanya pergi, bahkan secara sukarela menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Apa ada alasan bagi Tera untuk menolak? Tentu saja tidak karena bisa diantar oleh sang pujaan hati adalah salah satu hasrat terpendamnya.
“Kamu ada hubungan apa sih sama Al?” tanya Bram saat motor matic Bram sudah meninggalkan area kampus.
“Eh nggak ada hubungan apa-apa, kok,” Tera buru-buru menjawab pertanyaan Bram sambil diam-diam merutuki Al karena perbuatan cowok itu berhasil menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak. “Dianya semacam ngejar-ngejar aku gitu, tapi aku nggak mau,” tambah Tera lagi dengan suara lebih keras demi mengalahkan deru angin.
“Kenapa nggak mau?”
“Kenapa juga harus mau?” Tera cemberut, semakin sebal saja pada Al. Dan, ketika Bram terkekeh, getaran punggung cowok itu menimbulkan perasaan hangat di hati Tera.
“Dia sering gangguin kamu, ya?”
“Banget, Bram. Ih akunya sampai takut.” Tera mengeluh seolah Bram peduli saja pada dirinya.
“Kok takut?”
“Ya takut aja diapa-apain, dia kan nekat orangnya.” Bergidig membayangkan hal yang bisa saja dilakukan oleh Al terhadapnya.
Ada jeda sejenak, kemudian Bram berhasil membuat tubuh Tera menegang ketika cowok itu menyentuh sebelah lengan Tera yang melingkar di perutnya. “Jangan takut lagi ya, Ra. Aku akan jagain kamu.” Dan, motor pun meluncur di jalanan dengan semakin cepat.
Saat itu Tera hanya bengong mendengar ucapan Bram, tidak berani menyimpulakan arti di balik ucapan tersebut. Yang Tera tahu adalah dirinya mendadak lega setelah beberapa bulan terakhir merasa ketakutan oleh segala macam bentuk teror Al karen kini ada Baram yang akan menjaganya. Sebagai apa? Kekasih? Teman dekat? Teman biasa? Entahlah.
Dering ponsel kembali membawa Tera kemasa kini, dan hal tersebut membuatnya teringat akan sesuatu. Ya ampun! Anggia lupa diberitahu kalau dirinya sudah berada di rumah, bisa dipastikan saat ini sahabatnya itu tengah kelabakan mencarinya. Bangkitlah ia dari ranjang untuk merogoh tas, dan saat ponsel sudah dalam genggaman, Tera mendadak histeris. Dua puluh enam panggilan tak terjawab?! Lalu, dengan perasaan bersalah, dihubungilah Anggia.
“LENTERA KAMASEAN!! ELO DI MANA? KENAPA TELEPON GUE NGGAK ELO ANGKAT? ELO TAHU NGGAK KALAU GUE BENAR-BENAR KHAWATIR? ELO BAIK-BAIK AJA, KAN?!”
Mengerenyitkan wajah ketika diberondong oleh teriakan Anggia di ujung sana, bukannya balas berteriak, Tera malah semakin merasa bersalah. “Sori, Gi. Gue ada di rumah, dan gue baik-baik aja.” Meninggalkan kamar, Tera menyeret kakinya melintasi ruang tv hanya dengan ditemani detak jam dinding di atas foto keluarga, mengabaikan rasa sepinya karena Mama masih di tempat kerja sementara sang Adik baru pulang sekolah sebelum Magrib. Sejak Ayah meninggal beberapa tahun lalu, kehidupan mereka memang hanya bergantung pada penghasilan Mama yang bekerja sebagai akunting di sebuah perusahaan asuransi.
“Kok elo bisa ada di rumah, sih? Gue kan nyariin elo kemana-mana, Tera!”
Membuka lemari es di dapur, udara dingin langsung menyerbu sementara lengannya langsung meraih sebotol air dingin dari sana. Dengan membawa benda tersebut ke meja makan, ia kemudian menceritakan apa yang terjadi di kampus sampai dirinya bisa tiba di rumah.
“Ya ampun, sori ya, Ra. Coba gue nggak ke toilet, gue pasti bantuin lo buat ngusir si kampret Al,” sesal Anggia dengan latar belakang suara klakson mobilnya, membuat Tera dapat dengan cepat menebak kalau cewek itu sudah tiba di rumah bak istananya. Berbeda dengan Tera, kehidupan Anggia bisa dikatakan sangat berkecukupan bahkan berlebih.
“Berisik banget sih, Gi. Elo udah sampai rumah, ya?” Tera menyandarkan tubuh di punggung kursi, kerongkongannya terasa lebih segar paska air dingin tersebut berpindah dari botol ke perut.
“Hu’um, baru nyampe banget nih, tapi si Ine-nya nggak tahu lah ke mana. Eh bentar, Ra—Ineeeeee bukain gerbang!!” kolaborasi teriakan dan klakson mendominasi latar belakang telepon tersebut, membuat Tera terkekeh mendengar semua itu terlebih ketika Anggia mulai
ngomel-ngomel pada Ine yang dari suaranya sih sudah muncul.
“Ine tadi di kamar mandi, Mbak. Ya maaf kalau agak lama.” Si Ine terdengar melakukan pembelaan, dan Anggia misuh-misuh tak jelas.
“Ah paling lagi teleponan sama Abang Sayur yang suka lewat depan rumah itu, kan? Ngaku deh.”
Tawa Tera semakin menjadi, dan gerbang terdengar dibuka ketika Anggia kembali. “Untung ada Bram ya, Ra, jadi elonya punya alasan buat kabur.” Kata Anggia, deru mobilnya terdengar, namun dengan cepat menghilang berganti suara pintu terbuka dan tertutup setelahnya.
“Udah masuk lo?” tanya Tera geli.
“Udah,” menjawab santai. “Ngomongin apa aja lo sama si Bram?”
“Banyak lah,” mendengar nama Bram membuat Tera tersenyum-senyum sendiri,
“Nggak usah senyum-senyum gitu kaleee.” Teguran Anggia membuat Tera membeku dengan mulut mengap-mengap seperti ikan Mas Koki. “Jangan tanya darimana lah gue tahu elo lagi senyum-senyum kayak orang gila. Ngomong apa tuh si Bram?”
“Ng-nggak ngomong apa-apa, kok.”
“Alaah, elo bohong, kan? Sama kayak selama ini elo ngebohongin gue tentang perasaan lo ke Bram!” Gila!! Bertahun-tahun sahabatan sama Anggia, Tera sama sekali tidak pernah tahu kalau Anggia berbakat jadi cenayang, sehingga Tera hanya bisa berkata sori karena selama ini sudah merahasiakan perasaannya dari Anggia. “Dih, jadi elo beneran suka sama Bram, Ra? Padahal tadi guenya cuma asal ngomong doang, lho.”
Tera tertohok. “Sialan, lo!”
“Eh, harusnya gueya yang marah,” Anggia bersungut-sungut. “Kenapa sih elo nggak pernah cerita sama gue?!”
“Ng… Gi, ada telepon masuk nih. Takutnya penting, jadi gue tutup dulu nggak apa-apa, ya?” Ia berdusta, buru-buru memutuskan percakapan sebelum benda itu kembali menjerit nyaring dengan menampilkan nama Layla di layar. Ada apa? Jantung Tera mendadak berdebar lebih cepat.