Because I am nobody and he is somebody—Tera
Tera mengendarai Ucan menuju mini market dekat rumahnya dengan sangat berhati-hati karena siang itu Jakarta baru saja diguyur hujan, dan ia tak ingin mempertaruhkan keselamatan hanya demi bisa cepat-cepat tiba di tempat tujuan sementara jalanan tengah licin-licinnnya. Namun, ketika sudah hampir tiba, pikiran Tera mulai bercabang, membuatnya tidak menyadari kalau sebuah Swift merah tengah mundur untuk keluar dari pelataran parkir mini market tersebut yang membuatnya terkejut setengah mati. Membanting stang ke kanan, dan Tera pun jatuh ke permukaan aspal karena kehilangan keseimbangan. Dengan mengabaikan denyutan di siku, telapak tangan serta rasa perih di lututnya, Tera buru-buru bangkit demi memastikan kalau Ucan tak menimbulkan cedera pada mobil itu. Namun, satu goresan panjang sudah eksis di sebelah sisinya.
“Aduh, Mas, sori banget. Saya benar-benar nggak nggak sengaja,” Tera panik setengah mati pada si pengemudi yang tengah menunduk untuk melihat keadaan mobil tersebut. “Ng… s-saya janji akan ganti.” Mengamati garis tersebut, ia meringis terang-terangan. “Mmm… kalau kita tukeren nomer hp supaya Masnya bisa kirim tagihan perbaikannya ke saya, gimana?” Detik itu si pengemudi mengangkat wajah, dan tubuh Tera langsung menegang. “Al?”
“Elo tahu gue?” kerenyitan halus tampak di dahi cowok tersebut.
“Tentu aja, hampir semua cewek di kampus tahu elo. Al Virzha Diemen Salim anak Ilmu Komunikasi yang hobinya gonta-ganti cewek,” cerocos Tera sementara Al terkesiap. Dan, ketika menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya, mata Tera terbelalak ngeri. “Duh sori-sori, gue nggak bermaksud ngomong gitu, gue cuma—” tak melanjutkan ucapannya, ia mengerang kecil, dan kembali pada percakapan semula sebelum mulutnya mengatakan hal yang membuat wajah Al kian masam. Mengambil ponsel dari saku celana pendeknya, kata Tera, “Jadi, berapa nomer hp lo? Supaya nanti gue tahu jumlah yang harus gue bayar untuk kerusakan mobil lo ini.”
Mengangkat sebelah alisnya, Al bertanya, “Elo nggak lagi ngerjain gue, kan?”
“Maksud lo?” Tuduhan Al membuat Tera tersinggung.
“Ya elo pura-pura nabrak gue supaya lo bisa minta nomer hp gue, dan setelah itu elo terus nempel sama gue kayak perangko.”
Tertohok, “Idiiih, siapa lo bisa nuduh orang sembarangan? Kalau gue berencana nempel terus kayak perangko setelah dapat nomer hp lo, ngapain juga gue harus sampai jatuh kayak tadi!” sembur Tera jengkel ketika Al masih menatapnya spekulatif. “Cepetan mana nomer hp lo.”
Al menyerah, dia pun memberikan nomor hp-nya pada Tera. Kemudian, dengan pertanyaan darimana ia bisa mendapatkan uang untuk membayar tagihan kerusakan mobil tersebut di kepalanya, Tera kembali meminta maaf dan berjanji tak akan kabur sebelum memutuskan untuk meninggalkan tempat sembari membawa si Ucan ketika tiba-tiba lengan kirinya ditarik oleh seseorang.
“Tunggu dulu.”
“Apa lagi?” menatap Al tak sabaran.
“Lutut lo,” cowok itu munjuk lutut Tera yang terluka, “Se’enggaknya obatin dulu.”
Tertegun sejenak sebelum senyumnya pecah, kata Tera, “Rumah gue dekat, kok, jadi gue bisa ngobatin di rumah.”
Setelah hari itu, kehidupan Tera yang setenang air danau pun berubah total karena kehadiran Al, anehnya ia tak menaruh curiga sedikitpun kalau ternyata segala rentetan pesan bahkan telepon yang ia terima dari Al adalah salah satu rencana cowok itu untuk mendekati dirinya. Sampai suatu hari, Al memutuskan untuk tidak meminta ganti rugi sepeeserpun dengan syarat Tera mau menjadi kekasihnya. Tera yang kaget atas permintaan itu hanya bisa menghindar, sialnya pesona serta segala perjuangan Al membuatnya sempat ingin melabuhkan hati. Namun, semua berubah ketika Tera mengunjungi rumah Bibinya di Bogor demi menemui sang sepupu. Dan, layaknya teman lama yang sudah sekian tahun tak bertemu, Tera serta Layla membicarakan banyak hal termasuk cowok kampus yang tenggah mengejar Tera.
“Dia itu tahu banget bagaimana memperlakukan cewek, La. Seolah si cewek itu memang the only one buat dia. Tapi… mungkin semua player emang gitu kali, ya. Sampai-sampai kitanya bingung apakah dia cuma modus atau emang beneran tulus.” Kata Tera pada Layla yang duduk di sebelah.
“Cowok yang negajar elo itu namanya siapa, Ra?”
Menoleh pada Layla, “Al—” katanya. “Al Virzha Diemen Salim,” melanjutkan dengan sumringah sembari membayangkan sosok Al sebelum mengerenyit ketika mendapati wajah Layla yang sebelumnya secerah mentari pagi menjadi seperti orang yang baru saja terkena hantaman besi tepat di perut. Dengan khawatir Tera pun bertanya. “Kenapa, La?”
“Ra, gue minta elo jauh-jauh dari dia. Dia itu—”
“Player?” potong Tera sambil tergelak melihat kekhawatiran berlebihan Layla, lalu tawanya lenyap ketika menyadari sesuatu. “Eh, emang lo tahu dia?”
“Bahkan gue tahu jumlah tahi lalat di punggungnya,” geram Layla, sementara otak Tera langsung bekerja keras demi bisa mencerna ucapan barusan. Kemudian, sembari membiarkan jari-jarinya diraih oleh sang sepupu, Tera memaksa dirinya untuk menerima semua kenyataan yang meluncur dari Layla yang ternyata pernah menjalin hubungan dengan Al, mencintai cowok itu dengan tulus bahkan sampai rela menyerahkan segalanya. Namun, nasib Layla sama seperti cewek-cewek yang pernah berada dalam pelukan cowok itu, dicampakan begitu saja dengan kejamnya.
“Habis manis sepah dibuang, Ra,” kata Layla di akhir cerita, dan Tera hanya bisa tertegun setelahnya, merasa menjadi sepupu paling buruk sedunia karena tak pernah mengetahui kisah tersebut.
Jadi, demi menebus rasa bersalahnya, dan juga menjaga perasaan Layla, Tera berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah jatuh ke dalam pelukan cowok itu. Bahkan, kebencian pun tumbuh dengan sendirinya mengingat apa yang telah dilakukan Al pada Layla.
“Ra, kok malah bengong sih? Itu dimakan dulu nasi gorengnya.”
Teguran Mama membawa Tera keluar dari lamunan, membuat ia buru-buru mengerjap sebelum menyurukkan sendok di tangan kanannya pada nasi goreng yang masih mengepulkan asap tipis. Dan, melihat Tera sudah mulai mengunyah, Mama yang tengah menuangkan teh hangat ke dalam tiga buah mug di atas meja pun tersenyum.
Pagi ini entah kenapa Tera kembali teringat hari pertama kali ia dan Al bertatap muka hampir setahun lalu, serta hari-hari setelahnya yang melibatkan cowok itu sampai akhirnya ia mendengar cerita Layla. Mungkin karena semalam Layla meneleponnya, atau mungkin karena rasa bencinya pada Al sudah mencapai ubun-ubun.
“Ra, kamu beneran nggak keberatan, kan, kalau Ucan dijual?” Mama menarik kursi kosong di depan Tera, dan menghempaskan tubuhnya yang sudah dibalut pakaian kerja di sana.
Tera masih saja meringis mendengar pertanyaan tersebut walaupun rencana Ucan yang akan dijual sudah mereka bahas semalam. Meski tak rela kalau harus berpisah dengan motor kesayangannya, ia tak bisa melakukan apa-apa karena uang hasil penjualan itu akan dipakai untuk melunasi uang bangunan Ajeng agar adiknya itu bisa mengikuti ulangan semester. “Nggak apa-apa kali, Ma. Itu kan motor Mama,” kata Tera dengan senyum dipaksakan.
“Nggak usah dijual deh, Ma, Ajeng yakin kak Tera bakalan nangis bombay kalu Ucan sampai ditunggangin sama orang lain.” Sergah Ajeng yang nongol dari kamarnya, dan Tera langsung mendelik pada gadis tomboy berambut lurus sebahu yang kini sudah duduk di sisi.
“Mending nangisin si Ucan yang dijual daripada nangisin kamu yang nantinya nggak naik kelas.” Sembur Tera, Ajeng pun terkikik.
“Dih sayang banget ya Kakak sama Ajeng?” menjulurkan lidahnya, dan Tera semakin mendelik karena tingkah Ajeng yang kini mulutnya sudah penuh oleh nasi goreng.
Mama hanya tersenyum geli melihat tingkah kedua anaknya itu. “Kamu maklumin aja ya, Ra. Keaungan Mama lagi seret akhir-akhir ini. Tapi Mama janji deh uang jajan kaliannya nggak akan Mama potong.”
Hati Tera nelangsa mendengar ucapan itu, merasa tak berguna sebagai seorang anak. Lalu apa yang bisa ia lakukan demi meringankan beban di pundak Mama? Karena ternyata penghasilannya sebagai freelance translator di sebuah agency penerjemahan yang hanya dibayar tak lebih dari Rp. 30.000,- per lembar tak mampu membuat ia untuk tidak meminta uang jajan dari Mama. Beasiswa memang sangat membantu, namun segala printilan seperti modul, uang bensin, dan lain-lainnya masih harus ia rogoh dari kantung pribadi. Makadari itu, Tera berniat untuk mencari pekerjaan, harus! Tapi perusahaan mana yang mau menerima mahasiswa tingkat tiga seperti dirinya?
(***)
Di kampus, Tera menceritakan masalah tersebut pada Anggia hanya demi meringankan kepalanya yang penuh oleh daftar pekerjaan apa yang bisa ia lakukan. Meski prihatin mendengarnya, Anggia tak bisa banyak membantu selain berjanji untuk mengantar-jemput Tera setiap hari. Tera pun menolak karena hal tersebut terlalu merepotkan, namun bukan Anggia namanya kalau tidak berhasil membujuk Tera. Obrolan pun berlanjut, kali ini Anggia mulai mengusik-usik nama Bram, dan mau tidak mau Tera mengaku pada Anggia kalau ia sudah menyukai cowok itu sejak mereka kelas dua SMA.
“Apa ini alasan lain kenapa elo mati-matian nyuekin cowok-cowok yang suka sama elo termasuk si Al?” tanya Anggia.
“Kayak yang naksir gue banyak aja sih, Gi?” kekeh Tera sembari mengiderkan pandangan ke halaman kampus, dan diam-diam mendesah lega karena duduk hanya dengan beralaskan rumput hijau di bawah pohon rindang seperti ini tak bisa sering-sering ia lakukan mengingat bahaya bisa muncul kapan saja. Namun, berhubung katanya Al beserta sebagian anak-anak tingkat tiga Ilmu Komunikasi sedang melakukan observasi di luar kampus, Tera bisa dengan tenang menikmati waktu istirahatnya di sana.
Melipat kedua kaki yang sebelumnya selonjoran, Anggia menatap Tera gemas. “Apa perlu gue bikin daftar ya nama-nama cowok yang hatinya udah lo bikin patah?” Tera yang duduk selonjoran sembari bersandar pada pohon pun hanya tersenyum. “Jadi, elo beneran naksir Bram, nih?”
Tera mengakui pada Anggia kalau Bram memang salah satu alasan dirinya menolak Al, dan cowok-cowok itu. Tapi, ia tidak berniat membeberkan masalah Layla dengan Al pada Anggia.
“Ya ampun, Ra! Kenapa lo nggak pernah cerita ke gue sih?!” Anggia sebal setengah mati karena Tera tega menyembunyikan hal sepenting itu darinya.
Tera tersenyum meminta maaf. “Gue malu, Gi.”
“Malu? Sama gue?!” Pekik cewek itu, sementara Tera hanya mengangguk lesu. “Malu kenapa sih, Ra?”
“Because I am nobody and he is somebody,” karena dirinya masih tahu diri, karena Bram itu sesuatu yang tak mungkin bisa ia gapai. Itu lah alasan kenapa ia membiarkan dirinya menjadi pengagum rahasia Bram selama beberapa tahun ini.
“Ya ampun Lentera Kamasean,” desah Anggia frustasi. “Elo itu somebody, Sayang, elo nggak sadar, eh?” Tera menggeleng. Anggia menghela napasnya, heran saja kalau cewek seperti Tera harus merasa rendah diri. Oke, Tera mamang sedikit sableng, dia mengakui itu, namun hal tersebut tak dapat menutupi kebaikan hatinya, bahkan diam-diam Anggia menjadikan Tera salah satu role model-nya selain Anne Avantie dan Raisa Andriana. Selain dianugerahi oleh Tuhan penampilan fisik yang enak dilihat, Tera sepintar itu untuk merasa rendah diri, bahkan Anggia berani bersumpah kalau dua bahasa asing yang cewek itu kuasi seharusnya menjadikan Tera cewek yang bisa mengangkat dagu tinggi-tinggi di depan cowok termasuk Bram. Jadi… Ini ada apa sih dengan dunia? Pikir Anggia. “Dengar ya, Ra. Elo itu sesuatu. Paket lengkap malah.” Melambaikan kedua lengannya ke arah Tera.
Sekali lagi Tera terkekeh, menatap sahabatnya geli. “Mulai ngaco ah lo, Gi.”
Mengibaskan sebelah tangan, kata Anggia. “Terserah deh ya, yang pasti nggak ada alasan buat lo untuk nggak percaya diri. Hello… the boy every girl wanted semacam Al aja ngejar-ngejar elo, kok!”
“Kok jadi bawa-bawa si Al, sih?!”
“Iya iya sori. Lupain Al dan fokus aja ke Bram.”
“Bram-nya nggak akan suka sama gue, Gi.” Pandangannya kembali ke depan.
“Nyatanya dia mau jagain lo dari si Al.”
Tera tak menyahut, diam-diam menyesali keputusannya untuk menceritakan masalah Bram ini pada Anggia karena dia bisa menjamin kalau cewek itu akan mati-matian menjodohkan dirinya dengan Bram. Hal tersebut mungkin akan menguntungkan pengecut macam dirinya, namun… ah bahkan membayangkan Bram membalas perasaannya saja dia tak berani. Takut sakit hati.
“Aha! Gue punya ide.” Pekik Anggia tiba-tiba memecah hening. Tera sudah siap mendengar apapun ide yang diucapakan Anggia demi melancarkan hubunganya dengan Bram, namun… “Elo jadi private teacher aja, Ra, bayarannya lumayan. Elo kan jago bahasa Inggris sama Jepang-nya tuh. Atau lo applay deh ke tempat bimbel sekitaran sini. Gimana?
Heh? Tertohok sebentar, lalu menghela napas lega karena ternyata ide Anggia sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bram, melainkan untuk memecahkan masalah keuangannya.
“Lo yakin gue bisa? Kan kita nggak ada basic jadi pengajar, Gi.”
“Apa sih lo yang nggak bisa, Ra? Kecuali ngungkapin perasaan ke si Bram.” Anggia terkikik, dan Tera misuh-misuh tak karuan. “Pokonya, nanti gue bantu promosiin elo. Tenang aja kalau sama Anggia mah pasti semua beres.”
“Anggia Sayang, gue udah pernah bilang belum kalau lo itu baiknya udah kayak malaikat?” Kata Tera sambil tersenyum lebar.
“Dih, gue mendadak takut ini sama elo, Ra. Sumpah.”
(***)
Tak bisanya Al merasa gelisah tanpa tahu apa penyebabnya. Bisa jadi karena sebentar lagi dirinya akan menghadapi PKL, dan baru saja ia berserta beberapa teman satu angkatan observasi ke salah satu perusahan tempatnya mengumpulkan bahan tugas akhir sebagai syarat mengikuti PKL, atau semua ini disebabkan karena dari pagi dirinya belum melihat Tera? Ah masa sih gadis itu mempegaruhinya begitu banyak? Tapi, bisa saja karena… ah tidak tahu, Al harus membuktikannya. Jadi, setelah bus fakultasnya kembali mendarat di parkiran kampus, dia segera pergi mencari Tera untuk memastikan kalau kegelisahan yang dilamainya sejak pagi sampai siang hari ini disebabkan karena gadis itu. Dan, jika setelah bertemu dengan Tera dia merasa lebih baik, dia akan mengakui kalau Tera memang telah berhasil mempengaruhinya sejauh ini, tapi jika sama saja berarti ada hal lain.
Namun, yang dicarinya ternyata tidak ada karena kelas Tera sudah kososng saat ia sambangi. Tak ingin menyerah begitu saja, Al memilih melanjutkan pencarian ke perpustakanan, halaman, sampai kantin. Shit! Bukannya menemukan Tera, yang ia lihat malah Bram. Menyadari tatapan Bram and the geng yang duduk di kantin tak lepas darinya, membuat Al tak segan-segan untuk balas menatap. Bukannya membuang muka, Bram malah semakin menantang, dan saat itu lah Al melihat ada kilatan kebencian di mata cowok itu, entah kenapa, dia tidak mau ambil pusing karena tidak semua orang di dunia ini menyukai dirinya, bukan? Jadi, Al lah yang pertama kali memutuskan kontak mata sebelum meninggalkan kantin dengan perasaan jengkel. Kemana gadis itu? Dan, menyadari kalau ternyata dirinya begitu ingin bertemu Tera membuat Al jadi uring-uringan sendiri bertepatan dengan kedatangan Raden ketika ia sudah tiba di dekat mobil.
“Gue kira lo udah balik, Al.” Kata cowok jabrik itu sembari menggendong ranselnya, melirik Swift di belakang Al, ia bertanya lagi. “Lagi nggak bawa motor?” Al menjawab dengan gelengan. “Terus, dari mana lo, Al?”
“Gue habis nyari Tera,” Al menjawab ketus.
“Lah, dia baru aja pergi sama Anggia.” Raden memberitahu yang malah mendapati pelototan dari Al.
“Kenapa elo nggak ngasih tahu gue?!”.
“Gue, kan, nggak tahu kalau lo lagi nyari Lentera Kamasean,” Raden membela diri.
“Mereka baru pergi banget?” kini Al kebih kalem, membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalamnya. Jika Tera baru saja pergi ada kemungkinan dia bisa mengejar gadis itu. “Mereka baru pergi?!” tanya Al sekali lagi tak sabaran saat Raden hanya bengong menatapnya. Tentu saja Raden bengong melihat Al begitu frustasi mendengar kalau gadis yang dicarinya baru saja pergi.
“Iya, iya baru. Eh elo mau ke mana?” Tanya Raden, Al bersiap menutup pintu.
“Ngejar Tera.”
“Gue ikut ya. Motor gue dipinjam si Danu soalnya.” Tanpa menunggu persetujuan Al dia langsung mengitari mobil, mengisi kursi kosong di samping sohibnya.
Oke, Raden tahu kalau Al doyan banget ngebut, doyan cewek juga, dan kini tengah getol mengejar Lentera Kamasean. Namun, ia tak pernah menduga kalau cewek itu mampu mempengaruhi Al sejauh ini sampai-sampai sohibnya ini menjadi gila, segila kecepatan mobil yang dipacunya. 190km/jam!! “Anjrit, Al. Gue masih mau ngerasain wisuda ini!” jerit Raden tak tahu malu dengan hati kebat-kebit sementara doa terus ia rapalkan.
Namun, Al menutup mulutnya rapat-rapat, berkonsentrasi pada jalanan dengan rahang mengeras, tatapan setajam samurai, dan hati jengkel karena mobil yang sudah ia pacu gila-gilaaan ini tak mampu membuatnya melihat bahkan menyusul Tera. Oh… tentu saja karena Al tidak tahu kalau Tera dan Anggia sebenarnya tengah berada di warnet dekat kampus, bukan dalam mobil yang meluncur di jalanan. Jadi, wajar saja kalau sampai detik ini ia belum bisa melihat mobil Anggia karena mobil itu tengah bertengger di halaman warnet tersebut.
“Gue mau nyamperin Tera ke rumahnya!” geram Al.
“Gue akan bikin lo nggak akan pernah sampai ke sana!”
“Heck! Kenapa?!” Berang Al.
“Karena saat ini elo kayak orang kesetanan! Gue khawatir kalau elo bakal nyakitin Lentera Kamasean!”
“Gue nggak akan nyakitin dia!” bentak Al tanpa sedikit pun mengurangi kecepatan.
“Gue nggak yakin!”
“Lo bisa pegang kata-kata gue!” Benarkah? Bahkan Al sendiri tak tahu apa yang baru saja diucapkannya.
NEXT >>>