Daffa menutup suratnya, kemudian tersenyum, tapi senyumnya tak semanis yang biasa ia pamerkan kepada teman-temannya, pada orang-orang terdekatnya, kali ini seperti menyimpan sebuah rasa yang berkebalikan dengan perangainya sehari-hari. Ia adalah vitamin bagi orang terdekatnya. Tak pernah ada yang melihat ia bermuram sendirian atau melamun sepanjang hari, kecuali hari ini. Mungkin, itu juga kalau ada yang melihat.
Tak lama dua karibnya datang, Tama dan Dika. Hanya merekalah yang menjadi pemanis saat suka dan pelipur kala lara. Sebenarnya banyak teman yang dimilikinya, Daffa termasuk orang yang humble, apalagi didukung dengan fisik yang enak dilihat dan prestasinya yang selalu cemerlang. Namun, pasti di antara kita punya teman yang benar-benar sudah seperti soulmates. Teman jiwa. Karena fisik tak selamanya. Daffa ingin terus berteman dengan mereka sampai kapan pun, sampai hidup setelah mati.
“Oi!” Tama melambai sambil menyapa saat mereka berdua baru tiba di pintu kafe. Kafe yang sering mereka jadikan “basecamp”. Karena itulah pernah ada ide terselip di antara mereka ingin buka kafe sendiri, biar gak usah numpang orang, kalau kata Daffa.
Berbeda dengan Tama yang terlihat “agak” semangat kali ini, Dika hanya terdiam sambil tersenyum lalu kembali berjalan sambil melihat lantai.
“Kenapa, Daf?” tanya Tama sambil menepuk bahu Daffa dari belakang, habis itu ia langsung menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Sedangkan Dika duduk di depannya.
“Ada apa nih hari ini? Yang biasanya paling berisik jadi kalem gini.” Akhirnya Dika bergabung bersama mereka. Ia yang bilang Daffa kalem padahal sendirinya jauh lebih kalem.
“Eh, nggak apa-apa kali,” balas Daffa sekenanya.
“Elah jangan kayak cewek kali, bilang ‘gak apa-apa’ padahal sebenernya pasti ada apa-apa,” respons Tama.
Daffa tersenyum lagi, tanpa melihat mereka berdua, tetap melihat surat yang baru dibacanya. Hanya surat dari amplop sederhana, tapi isi dan pengirimnya jauh istimewa.
“Surat terakhir Aira.” Akhirnya Daffa menjawab jujur sambil melihat dua sahabatnya. Seketika pikiran Daffa melayang jauh, dua sahabatnya ini sudah lama menemani cerita hidupnya. Mereka bertiga kini semakin dewasa, yang mulanya baru berteman sangat dekat ketika kelas tiga SMA, melanjutkan lika-liku hidup baru di kuliah, dan sekarang nggak kerasa mereka baru saja lulus sarjana.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu