Mereka telah membaca surat itu bersama-sama, meja mereka lengang, tak seperti meja pengunjung lain yang penuh oleh obrolan ringan atau tawa renyah. Daffa kembali mengembuskan napas.
“Emang nggak ada kabar lagi sama sekali?” tanya Tama.
“Aku udah cari ke mana-mana sih, Tam,” jawab Daffa. Sebenarnya Dika bisa merasakan kesedihan yang ditutupi Daffa dari bicaranya yang tak seperti biasanya.
“Sekolah? Yayasan? Kafe? Jalanan ala kota lama depan tempat tinggalnya?” tanya Dika sambil menyebutkan semua tempat yang biasa dikunjungi Aira.
“Udah, Dik.”
“Jadi mau gimana lagi, Daf?”
“Nggak tahu,” jawab Daffa lalu menyeruput cokelat panasnya. “Udahlah nggak apa-apa,” lanjutnya sambil menaruh gelas lalu bersandar. “Bahas yang enak-enak aja, gimana kerja di penerbit mayor-nya, Dik?” Ia malah membanting topik.
Dika dan Tama saling pandang, bagaimanapun juga masalah Daffa masalah mereka bersama, tapi mungkin berbagi kabar bahagia dulu siapa tahu bisa sedikit menyembuhkan.
“Ya ... alhamdulillah sesuai ekspektasi, kerja sesuai passion nggak akan mengkhianati.” Matanya memancarkan semangat dan wajahnya yang mencerah, Dika membuktikan kalau matahari terbit sesudah badai itu benar adanya.
Seorang tertawa hari ini sampai berair mata, seorang lain menangis tanpa air mata. Kita bisa bertukar kapan saja, kita masih di bawah langit yang sama. Mereka jadi teringat masa-masa awal bertemu, perjalanan mengakrabkan diri karena punya masalah yang sama: galau kuliah, karena saat itu masa-masa terakhir mereka ada di sekolah.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu