Ia masih ingat suatu sore pada bangku kayu menghadap laut yang berkilauan. Mereka berdua duduk di kedua ujung yang berbeda sambil menyesap orange juice yang barusan laki-laki itu beli.
“What do you think about life?” tanya perempuan itu.
“Karena ... karena ... karena—”
“Kenapa harus didahului sama kata ‘karena’?”
“I just have many things on my head and that word just out.”
“Hmm ... so i’ll tell you first. Life is precious.”
“Cliches.”
“Kenapa kamu selalu bilang kata-kataku klise?”
“I think i know why i loved you.”
Perempuan itu mengerutkan dahi. Jawaban laki-laki tadi nggak nyambung. Tapi dia tetap membalasnya, “Why?”
“‘Cause you’re different.”
“Maksudnya?”
“Menurutku, bahan baku yang digunakan seseorang bisa saja sama, tapi cara penyajiannya yang berbeda. Itu yang membuat hal-hal klise, yang dekat sama keadaan kita, lalu disajikan dengan penyajian yang luar biasa, itu yang membuat hal klise jadi mengagumkan, so you are.”
“Perasaan aku nggak menyajinya dengan cara yang luar biasa,” katanya heran.
“Memang. Tapi aku lihat ketulusan dan kejujuran di sana. Mata nggak bisa bohong, Dear. Itulah cara penyajianmu, pakai hati.”
“Aku kagum sama kamu. Cewek yang dilihat orang dingin abis, tapi pas sama aku keluar semua kata-kata kamu.”
“‘Cause i found myself when i met you, Dear.”
“Oh ... i think i know why i loved you.”
“Why?”
“‘Cause i found ‘the person’ ... is you.”
***
“Aku ingin punya anak yang namanya Langit sama Awan!” seru perempuan yang berbaring di sebelahnya sambil menunjuk ke arah langit tanpa awan, rumput-rumput hijau yang baru dipangkas jadi alas terbaik untuk sore santai kali ini.
Setelah menikah, Tama dan Hana punya mimpi bersama, punya rumah di lingkungan yang damai, halamannya cukup luas untuk berbaring menatap awan, tiap sore selalu diluangkan untuk quality time. “Harus!” kata belahan jiwanya itu.
Tama yang cuman menanggapi dengan tersenyum membuat perempuan itu geregetan lalu bangkit jadi duduk bersila.
“Kok nggak ditanggepin sih!” katanya sambil memukul pelan lengan pemimpin dunia dan akhiratnya itu.
“Kamu lagi PMS, ya?” balas Tama yang baru membuka matanya.
Hana nggak menanggapi.
“Apa artinya rumah bagi kamu?”
Hana masih bungkam. Ia malas menjawab. Soalnya pertanyaan itu pernah dijawabnya saat-saat perkenalan serius sebelum ijab. Tama tersenyum lagi. Ia paham istrinya soksokan ngambek. Akhirnya ia mengganti pertanyaan.
“Kenapa mau kasih nama anak kita kelak sama Langit dan Awan?”
“Langit nggak perlu menjelaskan kalau dirinya tinggi.” Akhirnya perempuan yang berarti nama cantik itu menjawab. “Aku pernah baca seseorang yang nulis gitu.”
“Terus? Kalau Awan?”
“Kamu kan yang suka awan!”
“Awan selalu setia, entah dalam bentuk uap, terbawa angin, atau luruh bersama hujan, ia tetap di sana.”
“Cocok.”
“Apa artinya rumah bagi kamu?”
“Asal dan pulang.”
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu