Ada orang-orang terkasih yang masih satu dunia, satu rumah, satu ruangan denganku.
Ada aku yang masih sehat.
Bersyukurlah, aku, kamu.
***
Situasi seperti ini rasanya seperti dejavu bagi Tama. Pasalnya dia pernah mengalami hal yang serupa dalam keluarganya. Sebelum bertemu dan hidup bersama dengan Hana, Tama tinggal bersama kedua orang tua dan adik perempuannya. Di balik keceriaan ibunya dan senyum manis adiknya, Tama tahu ada awan kelabu yang sengaja disimpan dalam lemari kamar ibunya. Awan kelabu itu adalah rahasia ibu tentang ayahnya yang jarang pulang. Pekerjaan perusahaan yang mulai membuka cabang di mana-mana membuat pria satu itu harus bermitra ke mana-mana.
Tama kecil belum mengerti, cuman setiap lebaran dan tahun baru ayahnya pulang itu ada alasannya. Di balik keceriaan dan matahari yang dipancarkan keluarga Adiputra, terdapat awan mendung yang berusaha disimpan agar tak menjadi aib keluarga. Tidak boleh ada yang berhasil menghancurkan keluarganya. Broken home menjadi mimpi buruknya. Semoga itu cuman ilusi.
Tama besar yang sudah cukup banyak melihat, mulai berani menemani ibunya saling bicara.
“Bu, aku mulai ngerti kenapa ayah jarang pulang,” katanya sambil duduk di samping tempat tidur ibunya. Sementara lawan bicaranya sedang asyik membereskan bon-bon belanjaan sambil mengecek pengeluaran bulanan di atas kasur. Kintan—adiknya—sudah terlelap bersama bulan.
“Kamu ngomong apa, Kak?” sahut ibunya melirik sebentar ke arahnya lalu memusatkan perhatiannya lagi pada kertas-kertas yang sebagian pernah dilecek. “Ayah kan nyari uang, buat kita hidup.”
“Iya sih ... tapi ... emang kita hidup cuman butuh uang?”
“Lalu maksudmu bagaimana? Apa yang kamu mengerti?”
“Manusia juga butuh kasih sayang, cinta, keluarga. Ayah ...?”
Kini air muka ibunya berubah, asalnya seperti lampu 10 watt jadi meredup seperti mau kehabisan daya, tetapi jadi lebih fokus terhadapnya, bukan lagi ke bon belanjaan itu. Ibunya menatap lembut sambil mendengarkan, menunggu kata-kata selanjutnya yang keluar dari anak sulungnya yang baru beranjak dewasa, baru lulus SMA.
“Aku merasa kehadiran ayah pulang dua kali setahun cuman formalitas aja. Gimana kalau ... ayah punya keluarga lain?”
“Kamu habis minum apa?”
“Gini loh, Bu. Sekeras apa pun ibu menyembunyikan sesesuatu, asap selalu punya jalan keluarnya untuk dapat dihirup.”
“Tam, kamu kebanyakan ngobrol sama Dika, ya? Jadi kepo sama alur cerita gitu.”
“Bu, aku serius. Aku banyak lihat masalah orang-orang di luar sana. Banyak ketidakadilan yang dialami perempuan. Seseorang yang menemani laki-lakinya dari awal, lalu ditinggalkan ketika merasa sudah banyak memiliki sesuatu untuk mendapatkan kebahagiaan lain. Ada juga kepala keluarga yang memerintah untuk mendidik, bukannya menemani untuk belajar bersama. Polanya tuh sama, ngilang gitu aja.”
“Ayah kamu nggak ngilang, Tama.”
“Emang ayah masih pulang setahun dua kali, masih ngirimin kita uang. Tapi ayah nggak pernah nanya gimana kabar mag yang ibu derita, berapa jumlah SPP Kintan, atau jurusan apa yang mau aku pilih setelah SMA.”
“Tiap orang punya caranya masing-masing untuk mengungkapkan kasih sayang ....”
“Kapan terakhir kali ibu dan ayah ngobrol berdua kayak sebelum datangnya aku dan Kintan ke dunia? Kapan ayah matiin teleponnya saat kita makan bareng sekeluarga?”
“Ayah lakuin itu karena kerjaan, dia sering dapat kerjaan dari sekretarisnya ....”
“Nah, itu! Itu maksudku, Bu. Seseorang pernah bilang, orang yang spesial bakal kalah sama orang yang selalu ada. Kemarin aku lihat sekretaris ayah posting cincin dan caption-nya memuat inisial ‘P’. Kapan terakhir kali ibu dan ayah saling tukar kabar?”
“Tama! Jangan mendramatisir keadaan. Ibu tau ayah baik-baik di sana. Seorang yang berinisial ‘P’ bukan ayah kamu aja. Kamu ibu izinkan di sekolah bisnis biar sukses kayak ayahmu, sesuai juga sama potensimu yang selalu punya ide untuk manajemen dan pemasaran, bukan mengkhayal dan mengira-ngira urusan kehidupan orang lain.”
“Bu ... orang tuaku bukan orang lain. Maaf, Bu. Aku cuman ingin ibu selalu disayangi sama seseorang yang ibu sayangi. Ibu yang dilindungi. Ibu yang juga baik-baik aja, bukan suaminya aja. Aku juga ingin sukses bisnis kayak ayah, tapi aku ingin keluargaku juga nggak menyimpan bebannya sendiri di belakang ayah mereka.”
Ibunya menghela napas.
“Aku sayang ibu.”
Ibu memeluknya erat dan hangat, baju bagian punggung anaknya ditetesi air yang menetes dari pelupuk matanya.
Malam itu Tama berjanji, awan kelabu ibunya harus keluar dan digantikan mentari. Yang sama hangat dan cerahnya, layaknya wajah yang selalu dipasang di khalayak.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu