Saat itu ... rekening ayahnya tak pernah melakukan transfer lagi, bon-bon yang biasa ibunya periksa semakin berkurang, tabungan keluarga mereka semakin menipis. Ibunya yang seorang ibu rumah tangga berusaha sebisanya dengan mulai berjualan apa pun ke ibu-ibu kompleks. Saat itu ... Tama sudah cukup dewasa untuk tahu kalau saatnya ia yang mengambil alih tulang punggung keluarga. Demi roda kehidupan yang harus terus berjalan.
Tama teringat kafe dekat SMA-nya dulu, kafe langganan yang biasa dipakai untuk kumpul bersama teman-temannya. Ia menanyakan apakah ada lowongan di sana. Ternyata rezekinya cepat dikabulkan. Tak butuh waktu lama, ia sudah punya pekerjaan untuk nambah-nambah penghasilan. Pekerjaan pertamanya: jadi barista.
Sehabis pulang kuliah, ia menambah kostumnya dengan mengenakan apron. Sudah siap di belakang meja pertempuran, membuat berbagai minuman hangat terutama kopi. Untungnya manajer dan karyawan-karyawan di sana mendukung suasana betah. Pimpinannya sesuai impiannya: tetap bisa dihormati tapi bisa terasa seperti teman sendiri. Begitu pun senior-seniornya, meskipun beberapa kali ia melakukan kesalahan, ia tetap diingatkan dan diajari lagi. Lama kelamaan, Tama jadi bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
***
Beberapa waktu terus berjalan begitu ... rutinitas yang sama. Ayahnya masih tak ada kabar, ibunya tetap sabar berjualan—kali ini berbagai kue kering, dan adiknya Kintan semakin giat belajar agar bisa terus sekolah dibantu beasiswa. Namun, saat itu Tama belum tahu, kalau takdir memberinya sesuatu, hadiah baru yang akan menuntunnya sampai akhir hayat. Seseorang yang tak disangka-sangka begitu mudah bisa dekat dengannya. Ya, di sinilah Tama bertemu Hana.
Entah pada bulan apa, semesta tak mengisyaratkan kalau ada yang berbeda, tetapi tak bisa dimungkiri, keduanya merasa sesuatu yang berbeda. Ketenangan yang menjalar lebih dari biasanya. Mungkin karena saat itu mereka telah sampai pada tahap penerimaan. Setiap masalah yang datang dalam hidup tak bisa kita pilih-pilih dan kita atur kapan datangnya. Setiap masalah itu pula kadang bikin kita jengkel dan kesal. Mengapa harus terjadi pada saya. Namun, setelah beberapa saat, ada tahap di mana manusia yang memiliki masalah itu akhirnya menerima dan memetik pelajaran dari sana. Sama halnya seperti yang dilakukan Tama dan Hana saat itu.
Hana juga kerja part time di kafe itu, sebagai kasir, kadang juga bantu-bantu sebagai pelayan. Sebagai rekan kerja yang cuman saling sapa dan ngobrol saat dibutuhkan, mereka bisa dibilang sebagai teman yang baik. Rasa canggung dan segan cepat menghilang, obrolan yang mengalir sering mereka rasakan ketika ada keperluan. Tama dan Hana sama-sama berteman baik. Sama-sama menutupi dan menyangkal untuk mengakui bahwa mereka saling mengagumi.
Hana tahu masa lalu Tama, hal itu yang membuatnya salut pada ketegaran yang dialaminya. Tama nggak tahu banyak masa lalu Hana, cuman pemuda itu tau kalau perempuan yang ditemuinya punya daya tarik tersendiri. Hana termasuk seorang misterius, tetapi ia suka menularkan gagasan-gagasan positif akan sesuatu. Menurutnya, semua hal pasti ada sisi baiknya, kenapa nggak fokus dari sana aja. Bahkan setiap masalah-masalah kecil di kafe pun, kebanyakan orang bertanya solusi darinya. Kadang-kadang Tama memperhatikan perempuan itu mengisi waktu luangnya dengan membaca. Dia suka baca atau nonton sesuatu yang bermuatan positif. Itu yang dikaguminya dari perempuan yang memiliki mata berbinar seakan tersenyum.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu