Beberapa hari kemudian ... Kintan masih dirawat di sana. Ketika Tama dan ibunya kebingungan membayar pengobatannya, rezeki datang lagi lewat cara yang tak diduga-duga. Tuhan selalu membantu lewat uluran tangan siapa saja. Saat itu ada salah satu pembeli langgangan ibu yang membantu pembayaran rumah sakit. Setelah lega bahwa ketakutan mereka tak terjadi. Kehidupan memberinya kejutan lagi.
Ayahnya muncul di depan pintu ruangan Kintan dirawat. Saat itu Tama mau keluar mencari makan, seketika terkejut ketika sosok yang selama ini membuatnya banyak bertanya-tanya ... akhirnya muncul juga.
Beberapa detik hanya diisi keheningan.
“Gimana kabarmu ... Tam?” tanya ayahnya ragu. Pakaiannya masih seperti biasa, rapi berkemeja. Tama yakin ayahnya baik-baik saja bahkan setelah sempat menelantarkan keluarganya.
Entah kenapa, mungkin faktor belum makan atau banyak pekerjaan yang belum diselesaikannya, emosi Tama seperti disulut api mendengar pertanyaan itu.
“Setelah menelantarkan keluarganya, masih bisa santai dan berlagak nggak ada apa-apa?” tanyanya balik.
“Ayah ....”
“Kami kehilangan ayah kami, nggak tahu ke mana,” katanya sarkas.
“Tama!”
“Kalau ayah mau—” ucapannya terpotong, amarahnya terjeda. Ibunya sudah tau ada kejadian yang baru, ia segera keluar dari ruang inap itu.
Namun, ketika keluar ia tak mengucap apa-apa selain ungkapan kaget yang tertahan. Matanya haru bercampur kecewa.
“Ayah mau minta maaf, kita perbaiki ini sama-sama.”
“Semudah itu?” tanyanya tajam.
“Tama, redam emosi dan ‘keakuan’-mu. Sana cari makan dulu,” kata ibunya berkata lembut berusaha mengontrol emosinya.
Tama menatap sejenak ke arah ayahnya, banyak hal yang ingin diungkapkannya. Namun, hanya tatapan dan hadirnya yang perlahan pergi dari tempat itu menjadi jawabannya.
***
Ayah Tama kembali lagi, ke kehidupan mereka lagi. Tama bingung harus bersikap seperti apa. Cuman ada kecanggungan yang menyelimuti atmosfer mereka. Cuman sikap tutup mulut yang bisa dilakukannya. Namun, ia hanya ingin memberi waktu, seberapa serius kali ini ayahnya mau bekerja sama memperbaiki keadaan.
Setiap harinya keluarga Tama bergantian menjaga Kintan. Ayahnya jadi lebih sering kebagian waktu jaga. Entah apa yang orang tua Tama bicarakan waktu itu. Hanya saja Tama yakin kali ini ibunya bisa memaafkan lagi, kali ini ayah Tama mulai melunak.
***
Suatu sore, di halaman rumah sakit. Tama nggak bisa menghindar lagi untuk berbicara dengan ayahnya. Ada perasaan rindu dan marah dalam dadanya. Tama cuman lagi lelah, pembawaan bijaknya sedang meluntur. Kehadiran ayahnya dirasa tidak tepat, tetapi juga sesuatu yang ditunggu-tunggu sejak dulu. Hati tak bisa bohong, ia masih rindu keluarganya yang utuh.
“Kami sudah bicara baik-baik, kali ini kami berdua mengaku salah, maafkan ayah ...,” kata ayahnya membuka pembicaraan. Kedua lelaki itu duduk bersebelahan tanpa melihat wajah satu sama lain. Kedua lelaki itu hampir mirip dari segi fisik, tegap dan tinggi, tapi ciri khas ayahnya yang berkumis tipis tak pernah hilang.
Tama masih diam.
“Waktu itu keluarga kita belum bisa bayar hutang yang banyak, biaya untuk sekolah kalian, ayah pikir kami masih bisa hidup tenang, tapi orang itu memberi kesempitan untuk kami melunasinya.” Ayahnya mulai bercerita. “Ayah jadi gila kerja, ayah nggak mau keluarga kita kekurangan, ayah jadi lupa nilai-nilai positif yang harus dibawa dalam kehidupan, ayah jadi kehilangan kontrol, emosi yang disulut ujian bertubi-tubi, ayah yang—”
Tama memotong cerita ayahnya dengan menyentuh lembut punggung tangannya.
“Waktu itu ayah juga dibohongi rekan kerja, hampir ditarik-tarik untuk masuk kasus korupsi, juga berbagai klien yang tiba-tiba membatalkan janji, semuanya terasa membuat ayah semakin di bawah. Apalagi sebagai kepala keluarga juga sudah semakin luput dalam bertindak. Ayah pikir menjauh sejenak bakal lebih baik, ayah merasa bukan orang yang baik untuk kalian. Tapi ... jarak yang membuat arti pulang itu semakin besar, semakin sadar. Mungkin doa-doa kalian juga yang membawa keluarga ini bisa dapat celah cahaya.”
“Ayah ... ayah bisa cerita. Cerita sama ibu, aku, atau Kintan. Kami bakal mendengarkan. Seenggaknya kami mendengarkan. Kami ada untuk ayah. Kita sama-sama berjuang, sama-sama berjalan lewati berbagai rintangan. Selama masih ada langit, semuanya pasti bisa baik-baik aja.”
“Terima kasih ...,” ucap ayahnya lirih.
“Kami tahu ayah kami juga manusia, nggak ada salahnya jujur bercerita tentang kesedihan, mau itu laki-laki atau perempuan. Kami sama. Kami ada. Untuk ayah.”
Senja menutup percakapan mereka. Semburat langit jingga menutup harinya. Sama seperti kehidupan mereka. Akhirnya sama-sama bisa keluar dari badai kehidupan. Besoknya, matahari bersinar lagi, lebih cerah dari biasanya.
***
Kintan semakin membaik. Ia sudah boleh pulang. Keluarga Tama kembali lagi. Rumah itu kehadiran awan yang lembut berwarna putih. Awan mendung itu tak disimpan ibu di dalam lemarinya lagi. Keluarga Tama perlahan-lahan memperbaiki suasana. Saling bercerita, saling bertukar kesedihan, saling memberi canda tawa. Mereka bersyukur bisa melewatinya bersama-sama.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu