Bakauheni
__________
"Kita."
Aku mengulum bibir, membaca sepatah kata di bawah sebuah foto dua tangan yang saling menggenggam. Sepertinya, kalian telah berkencan untuk pertama kalinya. Aku menurunkan ponsel dari pandangan. Menaruhnya di sembarang tempat asal ia menjauh dariku untuk beberapa saat.
Indah sekali kisahmu setelah pisahnya kita. Kau berjalan-jalan ke taman kota, saling menggenggam. Aku pun sama, berjalan-jalan di sepanjang jalan kenangan, berdampingan dengan kesepian.
Aku tahu, di ujung kisah kita, kau bertemu dengannya tanpa sepengetahuanku. Sementara aku lengah, dia mengambil celah. Semudah itu saja tentang kehilangan. Berpaling lalu kesepian. Yang tertinggal, kenangan.
Kau beruntung, sepeninggal cinta yang kau sebut-sebut terbaik, luka itu tak benar-benar meremukan dadamu. Aku ingat betul, bagaimana kau menyanyikan lagu merdu tentang rindu. Katamu, hal terbesar yang ingin kau gapai adalah mengecap temu. Ya, mungkin dengannya, maksudmu yang sebenarnya.
Aku bangkit dari duduk di bangku kayu tempat biasa aku menunggu.
"Tunggu aku di sana. Di sebuah taman dengan pemandangan dermaga, sebelum senja menua, lalu terdengar deburan ombak sebagai tanda kapal akan menepi di pelabuhan Bakauheni."
Mataku memutih, memandangi laut yang tak bertepi. Menanti-nanti kehadiranmu yang tak pernah kudapati. Hingga akhirnya lelah menghinggapi, aku berdiri dan beranjak pergi. Tanpa hasil. Nihil.
***
Aku tidak percaya, beberapa menit lalu, aku melihatmu berdiri di depan sebuah kedai kopi di persimpangan jalan. Matamu sedang mencari-cari di antara kabut asap. Sesekali kau terbatuk-batuk karena tidak mengenakan masker, guna menghindari asap Sumatera yang mengganggu pernapasan. Lalu, mata kita bertemu. Kulihat ada raut lega di wajahmu setelah menemukan keberadaanku. Entahlah, sejak melihatmu di seberang jalan, aku tidak berani mengharapkan kau sedang menunggu tatapku menemukanmu di depan sana.
Jadi, kau memerhatikan sekitar, memastikan saat yang tepat, lalu menyeberangi jalan menujuku. Tidak. Aku sedang tidak menunggu kau menjumpaiku di antara ramai bunyi kendaraan dan kerumunan asap abu-abu, bertemu mata coklat terangmu.
"Dei. Maafkan untuk khilafku, meninggalkanmu dengan ...."
"Dengan memilihnya?"
Aku mengepalkan kedua tangan di atas paha. Menunduk, mendengar ia berucap omong kosong tentang cinta yang sudah patah dua tahun lalu.
"Aku ingin kesempatan itu."
"Aku tidak memberikan pilihan apapun," sahutku getir.
Lalu kau beranjak dari dudukmu dan berpindah ke sampingku. Aku bisa merasakan keresahan di setiap helaan napasmu yang tidak teratur. Aku tahu kau ketakutan. Namun, apa kau juga tahu jika aku selalu gelisah pada ketidakpastian?
"Untuk apa kau datang ke sini? Aku berharap kau tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di Bakauheni. Apalagi bertemu denganmu di dermaga saat senja belum menua."
Aku dengar hembusan napasmu yang mulai teratur. Sesekali kau mendesah berat. Kau berkata, "Kau tidak mendengar debur ombak tanda kapalku berlabuh. Jadi kupercepat kedatanganku agar kita bisa menikmati senja menua bersama."
"Cukup saja cerita Bakauheni hanya bertubuh kata-kata cacat yang terserak bersama kenangan yang sudah kutanggalkan di sepanjang dermaganya. Kau tak perlu ikut campur soal ingatanku."
"Kau membenciku?"
"Bukankah seharusnya kau mengetahui sejak dahulu? Ah, aku mengerti. Kau bahkan tidak pernah memikirkan karena terlena pada dirinya. Aku sangat memahami." Aku menganggukkan kepala, mengerti.
"Merak telah menantikanmu."
"Aku tidak ingin ke sana."
"Aku datang ke sini untuk menjemputmu."
"Kau hanya akan mendapatkan sia-sia. Sama seperti halnya penantianku, kau dan Merak hanya saksi harapan-harapan palsu, seperti yang pernah kau janjikan pada dermagaku."
Selesai.