Again 02
"Iya, Ma, iya," sahut Arbian malas sambil berlalu meninggalkan mamanya yang masih mengomel tentang rencana kencan buta yang dibuat wanita terkasih itu. Ini sudah kesekian kalinya.
Entah bagaimana cara ia meyakinkan agar wanita itu tidak perlu repot-repot mencarikan bermacam jenis perempuan untuk dirinya. Karena untuk hal itu Arbian bisa saja menunjuk wanita mana yang ingin ia ajak berkencan selama yang ia mau. Akan tetapi, Arbian tidak ingin bertemu wanita, lalu meninggalkan mereka, bertemu lagi, berkencan lagi, lalu saling meninggalkan. Arbian sudah lelah dengan romansa percintaan yang tidak ada kejelasan. Jika untuk memberi wanita sejumlah uang ia bisa membagikannya dengan cuma-cuma. Uang bukanlah pengukur cintanya kepada seorang wanita.
"Kasihan deh lo..." ejek Anastasya kepada abangnya yang menghambur ke atas ranjangnya. Dari tempat ia duduk Ana bisa bisa melihat betapa lelahnya saudara laki-laki satu-satunya itu setelah kembali dari bekerja.
Arbian mencebik bibir sambil menatap sekilas ke arah Ana yang sedang duduk di meja belajar. Di tangan perempuan itu ada sebuah pulpen berwarna hitam. Ia bangkit dan berjalan ke arah Ana yang kini sedang menulis.
"Belajar apa?" tanya Arbian memerhatikan buku tulis Ana.
"Matematika," jawab Ana tanpa menoleh. Ia terus mencoret buramnya untuk mencari jawaban Trigonometri.
Alis Arbian terangkat sebelah. "Pelajaran yang ngga pernah Kakak suka," gumamnya sembari menjauh.
Ana berbalik dan melihat Arbian kembali tidur di atas ranjang yang juga menatapnya. "Karna nilai Matematika Kakak selalu merah," ejeknya.
"Biarin. Asyikan Fisika," balasnya tidak mau kalah.
"Fisika juga berdasarkan hitungan dari Matematika," kata Ana memelototi lelaki itu.
"Engga kali." Arbian menjulurkan lidah membuat Ana jengkel. Gadis itu mendengus lalu merapikan kembali duduknya dan melanjutkan menulis tugasnya.
Arbian terkekeh. Ana yang menggemaskan. Tidak bisa Arbian pungkiri ia sangat menyayangi gadis itu. Meskipun mulutnya yang cerewet sering mengomeli seperti Mama, tetapi tetap saja Arbian suka menganggu Ana.
“Cukup, Arbian. Aku ngga suka kamu baca-baca diari aku!” teriak gadis berambut panjang itu kepada seorang lelaki yang berlari lebih dulu di depannya.
Lelaki itu tertawa, melarikan diri dari amukan Amelia yang bisa mencakarnya ketika marah. Meskipun begitu, ia tidak bosan-bosannya menganggu gadis itu. Misalnya, melarikan tas Amelia, mencuri lipstik dan mengembunyikan di dalam mobilnya atau melukis wajah gadis itu saat tertidur.
“Aku baca bagian terakhirnya. Aku juga sayang kamu....” teriak Arbian dari kejauhan.
“Aku benci kamu!” balas Amelia jengkel. Namun, sedetik kemudian ia mengulum senyum, senang.
“I love you too.”
Amelia Carla mendengus kesal. Lelaki itu senang sekali menyebut kata-kata itu setiap kali ia marah. Alih-alih mencari kelemahan Amelia, lalu amarahnya akan mereda dan berubah menjadi salah tingkah.
“Aku benci kamu selamanya, Arbian....” teriak Amelia, senang. Dengan senyum lebar ia berlari mengejar Arbian.
“I love you too forever, Amelia.”
"Kak, kenapa melamun?" kejut Ana memukul lengan Arbian. Ia duduk di samping Arbian, memerhatikan wajah lelaki itu. Sedari tadi Anastasya memanggil Arbian, tetapi lelaki itu tidak menyahut. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
Arbian tersentak kaget. Ia membuka mata, lalu menatap Anastasya sekilas. Tampak senyuman menghiasi wajahnya. “Ngga apa-apa,” sahutnya, menggelengkan kepala.
"Mikirin kata-kata Mama ya, Kak?" tanya Ana. "Iya, kayaknya emang harus cepet-cepet tuh, Kak. Kan enak ya kalau aku punya kakak cewek, ada yang bisa diajak jalan," lanjutnya. Ia tersenyum geli menatap laki-laki itu.
Arbian tersenyum miring. "Bisa iya, bisa enggak," sahutnya asal.
Ana mengerutkan kening bingung. "Apanya yang bisa iya, bisa enggak, Kak?"
Arbian terkekeh. "Ngga ada...." gumamnya panjang, lalu bangkit dari tempat tidur. "Mau ke kamar, ah." Ia merentangkan tangan lebar-lebar. Menghirup napas dalam, lalu menghembuskannya.
"Apaan sih, Kakak!" erang Anastasya kesal.
Arbian menoleh pada Anastasya. Gadis itu menatapnya jengkel. Ia membungkukkan badan, tersenyum manis menatap Anastaya. “Apa lagi, Adik kecil?” tanyanya
"Coba jelasin siapa cewek yang ada di walpaper hp Kakak?" tanya Anastasya tiba-tiba.
Jujur saja, sejak melihat foto gadis itu, menganggu pikiran Ana. Saat itu ia ke kamar Arbian mencari lelaki itu untuk ia ajak menemaninya belanja. Tidak sengaja matanya melihat layar ponsel Arbian menyala. Saat ia lihat rupanya ada panggilan tidak terjawab. Karena ponsel Arbian tidak dikunci, Ana menjadi leluasa mengotak-atik benda tersebut. Hasilnya, Anastasya menemukan banyak sekali foto Amelia bersama Arbian.
Alis Arbian terangkat sebelah, menatap Anastasya bingung untuk beberapa detik. "Oh, jadi kamu udah suka ngintip privasi orang, ya," celetuknya. Ia menegakan tubuh sambil melipat kedua tangan di depan dada.
Tatapan Anastasya berubah tajam. "Apa karna dia Kakak ngga mau ikutin saran Mama? Harusnya Kakak kenalin sama Mama, dong. Jangan bikin Mama sibuk mikirin Kakak terus," tanya Ana serius.
Melihat adiknya yang sudah mulai sok tahu membuat Arbian tertawa keras. Ia mengacak rambut gadis itu, gemas. "Kenapa coba sekarang kamu mulai kepo masalah Kakak," katanya di sela-sela tawanya.
Anastasya mengenyahkan tangan Arbian di kepalanya. Ia mendengus kesal."Aku serius, Kak," erangnya malas.
"Iya Kakak juga serius, Dek," jawab Arbian menirukan gaya berbicara gadis itu.
Anastasya memutar bola matanya malas. Ia berdiri dan menatap lelaki itu tepat di matanya. "Kakak galau?"
Arbian membulatkan mata. Lagi, ia tertawa terbahak-bahak. Sungguh pertanyaan dari Anastasya tadi mengelitik perutnya. Ia tertawa hingga seisi rumah bisa mendengar tawanya.
"Udah sana belajar. Anak kecil ngga boleh tahu," kata Arbian mengacak rambut Anastasya, lagi–setelah tawanya berhenti. Lalu ia berjalan keluar dari kamar gadis itu.
Ana memutar bola mata. Sementara Arbian sudah keluar dari kamar masih dengan sisa-sisa tawanya tadi. Kembali ia tatap gadis itu sebelum ia menutup pintu dan tertawa kecil. Setelah lolos dari pintu kamar Anastasya, Arbian hanya menggelengkan kepala pelan. Ternyata adiknya sudah melihat foto gadis itu. Padahal Arbian tidak pernah meninggalkan ponsel di sembarang tempat dalam waktu lama. Ia selalu teliti menjaga barang-barang pentingnya.
Arbian berdiri di depan pintu kamar Anastasya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Menyalakan layar benda datar tersebut. Muncul lagi foto Amelia Carla di sana. Arbian tersenyum samar, bahkan tidak terlihat. Ia menghela napas, lalu memasukan ponsel kembali ke dalam saku celana.
Arbian melangkah menuju kamarnya di lantai 2. Arbian menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Hari ini ia begitu lelah. Ada banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan beberapa hari ke depan. Ditambah lagi dengan omelan Mama ketika ia baru sampai di rumah. Sebenarnya sudah satu minggu Arbian tidak pulang ke rumah. Ia merasa nyaman berada di apartemennya yang sunyi.
Arbian mengambil ponsel yang ia letakkan di atas nakas. Ia sudah selesai berganti pakaian. Arbian menekan nomor seseorang, menunggu sebentar lalu menyapa si pemilik nomor.
"Hallo, Nek," katanya. Ia meluruskan kaki dan menyandarkan punggung ke kepala ranjang.
"Hallo Arbian," sapa sang Nenek.
"Nenek lagi apa? Aku rindu sama Nenek." Arbian menyunggingkan senyum.
"Rindu, tapi ngga datang ke rumah." Suara di seberang sana terdengar sedih.
Arbian tersenyum tipis. "Maafin Bian ya, Nek. Bian sibuk banget akhir-akhir ini sampai lupa ngabarin Nenek," ungkap Arbian penuh penyesalan.
"Iya Nenek ngerti. Kapan kamu bisa ke sini?" tanyanya lembut.
Arbian menatap keluar jendela, berpikir-pikir sebentar. "Mungin satu bulan lagi. Kalau pekerjaan Bian selesai, Bian ingin berlibur di rumah Nenek."
Terdengar helaan napas halus lolos dari bibir wanita tua itu di telinganya. "Iya, ngga apa-apa, kok. Kapanpun kamu datang pintu rumah Nenek akan terbuka lebar untuk kamu," ucapnya lembut.
Arbian tersenyum. Ia benar-benar merindukan wanita itu. Sejak dulu Arbian selalu menjadi cucu kesayangan Neneknya. Bahkan sampai saat ini wanita itu masih senang memanjakannya dengan membuat kue kesukaan Arbian atau menceritakan Arbian dongeng-dongeng yang sudah pernah Arbian dengar ratusan kali dari Neneknya sejak Arbian kecil. Tetapi anehnya, lelaki itu tidak merasa bosan sama sekali.
“Di rumah ada keluarga baru, loh,” ucap sang Nenek dengan nada berseri-seri.
Arbian mengerutkan dahi. “Oh, ya? Siapa?”
“Kalau ke sini kamu akan bertemu dengannya,” jawab wanita itu.
Arbian berdecak malas. “Ah, Nenek. Masih aja suka bikin Bian penasaran. Jangan bilang ini cerita dongeng seperti yang pernah Nenek ceritakan. Bian sudah tahu jawabannya.”
“Tidak. Ini bukan dongeng,” sahutnya. “Nenek mau tidur, ngantuk.”
Arbian menghela napas. “Iya, deh. Nenek jaga kesehatan, ya. Kakek juga. Sampaikan salam Arbian sama Kakek.”
“Iya, Arbian.”
Setelah itu Arbian menutup telepon. Ia tersenyum kecil, lalu meletakkan ponsel di samping bantalnya. Lelaki itu merebahkan tubuhnya atas ranjangnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya, lalu kembali menghela napas panjang.
Percuma saja Arbian menyibukkan diri dengan pekerjaan ini, pekerjaan itu. Bahkan, barang sebentar saja gadis itu tidak memberinya waktu untuk bernapas dengan tenang. Arbian kelelahan. Walau ia sudah bekerja keras untuk menghindar, tetapi setiap jengkal serpihan dari kenangan-kenangan itu menggoyahkan pertahanan Arbian. Hasilnya, Arbian tidak bisa bertarung melawan rindu. Ingatan itu begitu kuat, hingga mampu melukai Arbian dengan sangat dalam.
Arbian menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Ia bersembunyi di dalam selimut, memejamkan mata, berharap bisa terlelap segera.
“Aku lagi dalam selimut.”
“Kok? Nanti kamu kekurangan oksigen.”
“Iya. Aku sembunyi. Biar suara aku bisa tersamarkan. Nanti Mama dengar. Jam sengini aku masih belum tidur. Kalau HP aku diambil aku ngga bisa telepon kamu lagi....”
“Nanti kamu kangen sama aku.”
“Ish! Ge-er banget, sih!”
“I miss you.”
“I hate you.”
“Ha.. ha.. Aku suka kamu kalau kesel gitu.”
“Kamu memang ngga pernah bikin aku bahagia. Bisanya bikin kesal aja.”
“Kamu cantik.”
“Sekarang kamu lagi senyum-senyum, kan? Berarti aku berhasil bikin kamu bahagia.”
“Ih, siapa juga yang lagi senyum-senyum.”
“Kamu.”
“Engga!”
“Terus?”
“Ngga ada.”
“Amelia....”
“Apa?”
“Mau ngga jadi pacar aku?”
“Pacar yang ke berapa?”
“Ke sekian-sekian.”
“Ngga, ah.”
“Jadi istri aku deh nanti. Mau ya?”
“AKU MAU TIDUR!”
Arbian keluar dari selimut. Menyebalkan. Ia tidak bisa bernapas dengan baik di dalam selimut, apalagi untuk tertidur dengan nyaman. Arbian bangkit dari tidurnya, lalu berjalan keluar kamar menuju dapur di lantai bawah.
Ia menuangkan air putih ke dalam gelas dan meminumnya sampai habis. Rasa segar mengaliri tenggorokannya. Itu membuat debar-debar di dadanya sedikit berkurang. Arbian memijit pelipisnya dengan tangan kanan. Tangan yang lainnya ia letakka di dinding untuk menahan tubuhnya.
“Kemana aku harus cari kamu?” bisiknya, terdengar putus asa.