Read More >>"> Again (Again 09) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Again
MENU
About Us  

Again 09

            “Yang tadi namanya Om Arbian, ya.”

            Arbian mengulum senyum. Tadi sebelum ia masuk ke dalam kamar rawat Tiara, Arbian sempat mendengar Amelia bicara pada anaknya. Dan itu membuat hati Arbian menggelitik.

            Ia memandang ibu dan anak yang tertidur di atas ranjang rumah sakit. Tangannya bergerak untuk menyelimuti keduanya. Arbian mengembuskan napas perlahan. Akhirnya mimpi buruk semalam berakhir. Amelia sudah tenang dan kondisi Tiara juga membaik.

            Arbian bangkit dari duduknya ketika telepon berbunyi. Ia melangkah pelan keluar kamar, lalu menempelkan ponsel pada telinga.

            “Iya, Nek,” sahutnya.

***

            Dua orang pasangan tua keluar dari taksi dengan tergesa-gesa. Setelah menanyakan nomor kamar rawat Putri Mutiara, mereka berjalan secepatnya melewati lorong rumah sakit. Saat sampai di depan kamar dengan nomor 1B, mereka masuk dengan wajah risau.

            Saat sampai di dalam, mereka disambut oleh Arbian yang sedang duduk di samping ranjang sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Meminta kakek dan neneknya untuk tidak bersuara.

            Namun, perasaan cemas itu tidak bisa hilang begitu saja di dalam hati Maria. Tadi, saat mereka pulang dari perjalanan dan mendapati pintu rumah terkunci, Maria menelepon Arbian dan mendapat kabar bahwa Tiara masuk rumah sakit.

            Ia melangkah pelan ke samping ranjang. Menatap Tiara sedih, nyaris saja ia menangis melihat gadis itu harus diinfus di kepalanya. Lalu ia menggenggam tangan kecil Tiara dan meremasnya pelan. Kemudian ia beralih menatap Amelia. Sudah jam satu siang, pasti gadis itu belum makan. Tangannya terulur untuk membangunkan Amelia.

            “Amelia? Bangun, Nak,” katanya lembut, “Ibu sudah pulang.”

            Amelia menggumam, lalu mengerjap-ngerjapkan mata. Ia terkejut melihat Maria ada di rumah sakit. Amelia duduk dan menatap Maria, Rudi, dan Arbian bergantian.

            “Ibu kok ada di sini?” tanyanya heran.

            “Aku bilang kita di sini,” sahut Arbian yang saat ini berdiri di belakang dua orang itu.

            Rudi mengangguk. “Iya, Amelia. Saat kami sampai di rumah, pintu terkunci.”

            “Tiara sakit apa, Amel?” tanya Maria khawatir.

            Amelia terdiam sejenak, lalu menjawab lirih, “Demam berdarah, Bu.”

            Maria menggelengkan kepala tidak percaya. Sekarang air mata lolos dari matanya. Suasana menjadi hening seketika mendengar isaknya.

            “Kamu sudah makan, Amel?” tanya Rudi lembut.

            Amelia menggeleng.

            Rudi menghela napas. Lalu ia berbalik menatap Arbian. Lelaki itu memelototkan mata, seperti bertanya apa maksud Rudi.

            “Arbian, kamu bawa Amelia makan dulu,” katanya, lalu menatap Amelia, “biar Bapak sama Ibu yang jagain Tiara.”

            Amelia mengerjap kaget. Begitu pula dengan Arbian.

            “Ngga usah, Pak. Biar aku aja,” kata Amelia cepat.

            Arbian mengangguk membenarkan. “Iya, Kek,” sahutnya. Lalu ia menepuk dahi, merasa bodoh.

            “Amelia ...,” panggil Maria tidak suka.

            Amelia mendesah pelan. “Iya, Bu,” sahutnya. Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Lalu mencuci mukanya dengan malas. Kenapa harus dengan Arbian lagi? Padahal ia sendiri ‘kan bisa. Dengan gerakan pelan ia membuka pintu kamar mandi. Amelia terkejut melihat Arbian sudah menunggunya di depan.

            Laki-laki itu tersenyum canggung. “Ayo,” katanya pelan.

            Amelia menunduk, lalu mengangguk. Ia mengikuti Arbian keluar kamar dan berjalan bersisian dengan lelaki itu. Tidak ada yang bersuara, selain debar-debar di dada.

            “Mau makan apa?” tanya Arbian saat sampai di depan rumah sakit.

            Amelia terkesiap. “Oh, itu. Apa, ya,” gumamnya bingung.

            Arbian menoleh menatap Amelia. Gadis itu sedang menggaruk tengkuknya. Ia sedang melihat ke sana dan kemari, berpikir. “Makan yang ada sayurannya gitu mau, nggak? Aku denger, wanita kayak kamu harus banyak-banyak makan sayuran atau vitamin. Hmm, maksudnya ... iya gitu,” kata Arbian tidak yakin.

            Amelia menatap Arbian yang juga balas menatapnya. Ia mengulum bibir, masih berpikir. Beberapa detik kemudian ia mengangguk pelan. “Boleh, deh,” sahutnya malu. Amelia tahu lelaki itu ragu-ragu mengucapkannya. Tapi ia merasa senang, karena Arbian cukup perhatian.

            “Mau beli di mana?” tanya Arbian.

            Amelia menggeleng. “Ngga tahu. Aku ngga terlalu hapal tempat-tempat di sini.”

            “Hmm, oke. Kita coba cari aja,” katanya kemudian, “Kalau ngga banyak yang berubah, aku masih ingat tempat makan yang enak di sini,” tambahnya.

            Amelia hanya mengangguk saja.

            Sebelum menyeberang, Arbian melihat ke kenan dan ke kiri. Ia menoleh dan melihat Amelia yang mengernyit menatap kendaraan yang lewat. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Amelia. Gadis itu terkejut, tetapi Arbian hanya membalas tersenyum. “Ayo,” ajaknya.

            Amelia terkesiap. Saat Arbian sudah berjalan menyeberangi jalan dengan merentangkan tangan ke depan untuk menahan setiap mobil yang akan lewat, Amelia hanya mengerjap memandang lelaki itu. Mendadak tangan Amelia berkeringat, darahnya berdesir cepat dan napasnya memburu.

            Saat sudah sampai di seberang, Arbian masih belum melepaskan genggaman tangannya. Ia berjalan santai sambil melihat-lihat deretan toko. “Seingat aku, belok kanan dari persimpangan ada rumah makan. Dulu aku sering makan di sana. Masakannya enak-enak,” ujar Arbian.

            “Bian,” panggil Amelia pelan. Lalu menatap tangannya.

            Arbian mengerjap. Amelia baru saja memanggilnya dengan panggilan kecilnya. Ia tidak salah dengar, ‘kan? Arbian menelan ludah, lalu menoleh pada Amelia. Gadis itu sedang menatap ke bawah, melihat tangan mereka dengan tatapan sendu. Saat tersadar, cepat-cepat Arbian melepaskan genggaman tangan mereka.

            “Maaf,” gumam Arbian salah tingkah. Kemudian ia berjalan lebih dulu dengan perasaan gusar.

            Kenapa juga ia menggenggam tangan gadis itu? Bagaimana bisa ia lupa melepaskannya? Ia menatap telapak tangannya sendiri. Ah, rasanya seperti tidak terjadi apa-apa. Rasanya seperti menggenggam tangan Amelia adalah hal paling benar di dunia ini sampai membuat Arbian lupa jika mereka tidak lagi sama. Ia menunduk menatap trotoar. Tiba-tiba kenyataan menghampiri, dirinya bukan siapa-siapa lagi bagi Amelia.

            Amelia berhenti di tempatnya berdiri. Ia mengulum bibir, menahan rasa nyeri yang baru saja menyayat hatinya saat Arbian melepaskan genggamannya.  Ketika Arbian melangkah lebih dulu ia merasa kehilangan. Padahal Amelia nyaman dengan genggaman itu. Padahal Amelia senang laki-laki itu melakukannya. Namun, bagian lain dari dalam dirinya menolak. Ia mendongak menatap punggung Arbian yang sudah menjauh.

            Gadis itu mengembuskan napas berat. Lalu berjalan mengikuti Arbian sambil menggenggam tangannya dan meletakkan di depan dadanya. Diam-diam ia ingin menyimpan hangat dari tangan Arbian di tangannya. Diam-diam ia menyesali keputusannya tadi. Seandainya saja ia membiarkan Arbian melakukannya, mungkin wajah lelaki itu tidak akan berubah pucat, dan saat ini mereka masih berjalan berdampingan, sambil berpegangan tangan.

***

            Amelia menatap kosong ke dinding. Sendoknya hanya ia ketuk-ketukkan di piring tak berminat. Tadi, setelah Arbian berjalan lebih dulu darinya, lelaki itu tidak pernah lagi mengucapkan sepatah kata pun padanya, kecuali “mau beli apa?” dan setelah itu Arbian memesan, menunggu, dan membayar, lalu memberikan bungkus nasi lengkap dengan ikan bakar dan sayur bayam sesuai pesanan Amelia. Bahkan saat menyeberang lagi, laki-laki itu juga tidak mengucapkan apa-apa. Arbian hanya mengulurkan tangan ke depan untuk menahan kendaraan yang lewat dan Amelia berjalan di sampingnya. Arbian juga tidak mengenggam tangannya seperti sebelumnya. Benar-benar sangat canggung, sampai di dalam kamar ini.

            “Kenapa kamu nggak makan, Amel?” tanya Maria, lalu duduk di depan Amelia.

            Gadis itu menoleh lesu pada Maria, lalu menunduk menatap nasi yang sudah berantakan di atas piring. Amelia tidak menjawab, ia hanya mengembuskan napas perlahan.

            Maria mengulurkan tangan dan mengusap bahu Amelia. “Kamu pasti kepikiran Tiara. Nggak apa-apa, Tiara baik-baik aja, kok. Kamu lihat ‘kan cucu Ibu udah ceria lagi. Nggak usah khawatir, dokter juga bilang sore ini Tiara akan pulang,” hiburnya.

            Amelia menelan ludah dengan susah payah. Ya, ia turut senang mendengar kabar bahwa anaknya sudah baik-baik saja dan akan segera pulang. Amelia juga senang Rudi dan Maria sangat perhatian pada Tiara. Akan tetapi ... bagaimana cara mengatakannya, bahwa bukan itu yang sedang ia pikirkan. Bahwa cucu mereka yang sedang Amelia pikirkan. Laki-laki itu yang sudah membuat pusing kepalanya. Memporak-porandakan hatinya dengan kehadirannya ke dalam hidup Amelia.

            Arbian menekuk kepala ketika tidak mendengar jawaban dari Amelia atas pertanyaan neneknya. Ia duduk di lantai dan bersandar pada tempok di balik dinding kamar yang mengarah ke taman rumah sakit. Ia tahu Amelia tidak akan mengatakan kejadian tadi pada neneknya. Arbian tahu, ia tak cukup berani mengatakan pada neneknya kalau mereka pernah punya masa lalu. Namun, apakah pilihan untuk berpura-pura adalah pilihan yang terbaik?

            Ia tidak bisa seperti lebih lama lagi. Ia sudah menemukan gadis itu, juga sudah menjalani beberapa hari yang terasa sangat panjang dan berat. Apa yang ia tunggu? Ia hanya perlu berbicara pada Amelia, mengungkapkan perasaannya selama ini dan setelah itu terserah gadis itu.

            Ya, ia harus melakukannya.

            Arbian menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia bangkit dan mengumpulkan segenap keberanian. Setelah ia yakin betul, Arbian berbalik.

            Saat ia hendak masuk, langkahnya terhenti ketika suara tangis Tiara pecah mengisi seluruh ruangan.

            Arbian tertegun di tempatnya berdiri, melihat Amelia bergegas menghampiri anaknya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tokoh Dalam Diary (Diary Jompi)
347      279     3     
Short Story
You have a Daily Note called Diary. This is my story of that thing
Just a Cosmological Things
7      2     0     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
My Sweety Girl
48      5     0     
Romance
Kenarya Alby Bimantara adalah sosok yang akan selalu ada untuk Maisha Biantari. Begitupun sebaliknya. Namun seiring berjalannya waktu salah satu dari keduanya perlahan terlepas. Cinta yang datang pada cowok berparas manis itu membuat Maisha ketakutan. Tentang sepi dan dingin yang sejak beberapa tahun pergi seolah kembali menghampiri. Jika ada jalan untuk mempertahankan Ken di sisinya, maka...
Rindumu Terbalas, Aisha
315      240     0     
Short Story
Bulan menggantung pada malam yang tak pernah sama. Dihiasi tempelan gemerlap bintang. Harusnya Aisha terus melukis rindu untuk yang dirindunya. Tapi kenapa Aisha terdiam, menutup gerbang kelopak matanya. Air mata Aisha mengerahkan pasukan untuk mendobrak gerbang kelopak mata.
Once Upon A Time
5      5     0     
Short Story
Jessa menemukan benda cantik sore itu, tetapi ia tak pernah berpikir panjang tentang apa yang dipungutnya.
Love You, Om Ganteng
69      23     0     
Romance
"Mau dua bulan atau dua tahun, saya tidak akan suka sama kamu." "Kalau suka, gimana?" "Ya berarti saya sudah gila." "Deal. Siap-siap gila berarti."
Bersyukurlah
4      4     0     
Short Story
"Bersyukurlah, karena Tuhan pasti akan mengirimkan orang-orang yang tulus mengasihimu."
RANIA
18      7     0     
Romance
"Aku hanya membiarkan hati ini jatuh, tapi kenapa semua terasa salah?" Rania Laila jatuh cinta kepada William Herodes. Sebanarnya hal yang lumrah seorang wanita menjatuhkan hati kepada seorang pria. Namun perihal perasaan itu menjadi rumit karena kenyataan Liam adalah kekasih kakaknya, Kana. Saat Rania mati-matian membunuh perasaan cinta telarangnya, tiba-tiba Liam seakan membukak...
ATHALEA
15      8     0     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Asrama dan Asmara
4      4     0     
Short Story
kau bahkan membuatku tak sanggup berkata disaat kau meninggalkanku.