Again 10
Acap kali, ketika menonton Arbian sering mencuri-curi pandang ke arah dapur. Setiap beberapa menit ia melihat ke sekeliling, lalu melihat Amelia. Setelah dirasa aman, ia bangkit perlahan, mengumpulkan keberanian, dan selangkah demi selangkah ia sampai di dapur dengan jantung yang berdebar keras.
Tiba-tiba saja, di luar rencananya, Amelia berbalik dan terkejut melihatnya. Ah, Arbian ingin segera kabur tetapi sudah terlanjur. Ia mengerjap, lalu pura-pura melihat hal lain asal tidak bertemu mata Amelia. Saat mendengar bunyi sendok di wajan, Arbian tersentak. Ia memejamkan mata dan mengembuskan napas pelan.
Ia melihat Amelia memunggunginya. Mau tidak mau Arbian melangkah maju, menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Berkali-kali Arbian menghela napas karena gugup. Belum sempat ia berpikir lebih jauh tentang rencana-rencana yang ia susun di dalam kepala, ia mendengar Amelia berteriak karena minyak panas yang mengenai tangannya. Arbian segera bangkit dan menghampiri gadis itu.
“Jangan dicuci!” katanya sambil menarik tangan Amelia dari wastafel.
Amelia menatap Arbian dan tangannya bingung. “Panas,” desisnya.
“Iya. Kalau lagi panas-panas gini kamu cuci, maka di dalamnya akan mengandung air,” kata Arbian. Lalu ia meniup jari Amelia.
Amelia terkesiap. Astaga, Arbian menggenggam tangannya lagi. Ia mendongak dan melihat laki-laki itu masih meniup tangannya. “Bian,” gumamnya.
Arbian mengangkat kepala. “Ya? Masih panas, nggak?” tanyanya.
“Kentangnya.”
Arbian melotot. Ia menoleh ke dalam wajan dan melihat kentang yang digoreng Amelia warnanya sudah berubah kecoklatan. Ia melihat ke kanan dan ke kiri mencari sendok dan piring, lalu meniriskan kentang dan meletakkannya pada piring.
“Duh,” gumamnya panik. Lalu ia berbalik menatap Amelia yang juga balas menatapnya. Ia menyeringai salah tingkah. “Mau aku bantu?” tawarnya tidak yakin.
Amelia mengerjap. Ia masih menggenggam tangannya sendiri di depan dada. Entah apa maksudnya, tetapi Amelia merasa nyaman dengan posisi itu. Lalu ia mengangguk. “Boleh.”
Selama Arbian menggoreng semua bahan yang perlu digoreng, Amelia menyiapkan hal lain yang diperlukan. Sesekali mereka saling melirik atau diam-diam menatap satu sama lain, lalu memutuskan kontak mata dan menyibukkan diri.
“Aku baru tahu kamu bisa masak,” gumam Amelia kemudian.
“Oh, itu. Sejak mulai kerja ‘kan aku tinggal sendiri di apartemen. Jadi aku udah biasa masak sendiri dan bersih-bersih,” sahut Arbian tenang.
“Kamu tinggal sendiri? Emang jauh ya, tempat kamu kerja dengan rumah?”
“Ya, lumayan. Kalau pulang malam ‘kan capek balik ke rumah.”
“Oh,” gumam Amelia datar.
Arbian menelan saliva. Baru saja mereka berbicara lumayan panjang dari sebelumnya. Terkadang, sesekali Arbian merasa mereka dekat, di sisi lain ia merasa mereka sangat jauh. Bagai orang asing.
“Tiara tidur, ya?” tanya Arbian tiba-tiba.
Amelia mengangguk. “Iya,” sahutnya ringkas.
“Dia udah baikan, ‘kan?”
Amelia mengangguk lagi. “Udah.”
“Syukurlah,” gumam Arbian.
Amelia tidak menjawab, ia hanya berbalik dan mengambil mangkuk untuk menyalin saus tomat yang sudah ia buat, lalu meletakanya di atas meja. Amelia sibuk melakukan ini dan itu, berusaha menghindari obrolan dengan Arbian. Diam-diam ia mengeluh di dalam hati karena telah menerima tawaran Arbian untuk membantunya memasak. Namun mendengar Arbian tinggal sendirian dan bisa memasak membuatnya merasa lega. Karena ia ingat betul bahwa lelaki itu tidak suka membeli makanan instan. Ah, Arbian juga bilang kalau ia bisa bersih-bersih, itu membuat Amelia tenang.
“Hmm, makasih,” gumam Amelia.
Arbian yang sedang mencuci tangan di wastafel menoleh. “Buat apa?” tanyanya.
“Kemaren, kamu yang cuci piring dan membersihkan rumah, ‘kan? Makasih. Maaf ngerepotin kamu,” ujar Amelia sedikit malu.
Lelaki itu tersenyum senang. “Sama-sama,” sahutnya, “Ngga masalah, kok. Aku cuma bantu-bantu, seenggaknya kamu ngga terlalu capek karena harus mengurus Tiara dan bersih-bersih rumah juga,” tambahnya. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya, tanpa diduga dan sempat dicerna otaknya.
Tiba-tiba saja kedua pipi Amelia berubah merah jambu. Ia cepat-cepat memalingkan wajah dari Arbian dengan berpura-pura mengelap kompor yang nyaris bersih. “Makasih,” bisiknya lirih.
Namun bisa didengar oleh Arbian. “Sama-sama,” sahutnya.
Setelah mengucapkan itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Tidak beberapa lama kemudian, terdengar suara seorang perempuan berteriak bahagia diikuti percakapan-percakapan singkat.
“Nenek ....” Suara itu melengking di tengah rumah.
Arbian menoleh dan tersenyum lebar. “Dasar. Akhirnya datang juga anak kecil itu,” gumamnya pada diri sendiri.
Amelia yang mendengar itu bertanya-tanya di dalam hati. Siapa yang Arbian maksud, tapi tidak berniat menanyakan langsung pada lelaki itu. Ia mengambil gelas, sendok, dan piring lalu meletakkan di atas meja. Ia melirik jam dinding menunjukkan pukul setengah dua belas yang artinya makan siang sebentar lagi.
“Eh, anak Mama masak,” seru seorang wanita tiba-tiba.
Arbian tidak menjawab, ia tersenyum lebar sambil mengangkat bahu.
“Siapa ini?” tanya Hanny penasaran melihat Amelia yang berdiri di dekat meja makan. Suaranya terdengar ramah dan akrab.
Mendengar itu Arbian maju dan memperkenalkan Amelia. “Ini Amelia, Ma. Dia tinggal sama Kakek dan Nenek.”
Amelia terdiam menatap Arbian yang tersenyum ceria mengenalkanya pada mamanya.
Mama?
“Hai, Amelia,” sapa Hanny sambil mengulurkan tangan.
Amelia terkesiap, lalu menyambut jabatan tangan Hanny. “Halo, Tante. Saya Amelia,” sahutnya gugup. Ia tersenyum kikuk menatap wanita berkacamata di depannya.
Wanita itu tersenyum lembut. Ia menatap Amelia sedikit lebih lama. “Kok wajah kamu ngga asing, ya,” gumamnya tidak yakin.
“Ah, Ma. Mama pasti laper, ‘kan? Kita makan aja yuk. Mama harus nyobain masakan Bian. Si Bocah Vanilele itu mana? Dia harus makan, biar ngga kurus habis perjalanan jauh.” Arbian menarik mamanya ke ruang tamu dan memanggil semuanya untuk makan siang.
“Vanilele?” tanya Hanny heran.
Amelia tertegun melihat kedua orang itu pergi. Ia berbalik dan menyalin nasi ke dalam mangkuk besar lalu meletakkannya di atas meja. Kemudian mengambil teko, mengisinya dengan air dari dispenser, dan mengisi setiap gelas.
Tidak lama kemudian Arbian bersama keluarganya datang. Deni dan Anastasia terkejut melihat Amelia yang saat ini masih berdiri di dekat meja. Jika Deni tersenyum ramah pada Amelia, lain halnya dengan Anastasia yang menatap bingung ke arah Amelia sampai ia duduk di kursi.
Makan siang berlangsung biasa-biasa saja, tetapi tidak bagi Amelia. Ia melihat ke arah jam dinding dengan gusar. Tiara masih belum bangun juga. Amelia takut buburnya dingin.
Beberapa kali Arbian melihat Hanny melirik Amelia. Saat Hanny akan membuka mulut, Arbian langsung berbicara hal tidak penting.
“Tahun baru kali ini kita ke mana, Ma?” tanya Arbian dengan suara meninggi membuat semua mata melihat ke arahnya. Menyadari pertanyaannya bodoh ia menggeleng, lalu berkata, “Gimana kalau kita bakar-bakar ikan atau ayam? Atau jangung juga bagus tuh, Pa.”
“Iya ‘kan, Nek? Kakek suka banget tuh bakar-bakar jangung dulu. Besok Bian bantu panen jangung di kebun deh, Kek. Iya kan, Vale?”
“Vale, vale. Putri Vanila,” decak Anastasia kesal.
“Vale itu singkatan dari Vanile. Vanile ‘kan artinya Vanila,” tegas Arbian.
“Asal aja kalau ngomong.” Anastasia melirik sinis pada Arbian, lalu mengetuk-etuk piring dengan sendok.
Arbian tertawa keras. Jika sudah begitu tidak akan ada yang bisa melarang keduanya ketika bertengkar kecil. Pemandangan Arbian mengejek adiknya dan Anastasia akan marah-marah pada kakaknya sudah biasa.
Amelia terdiam mendengar suara tawa Arbian. Ternyata masih belum berubah. Suara tawa Arbian yang selalu ceria dan membuat orang yang mendengarnya tersalurkan hal yang sama. Amelia tersenyum di dalam hati. Hal-hal kecil seperti itu membuatnya senang tanpa alasan.
Ketika makan siang masih berlangsung terdengar suara Tiara yang memanggil-manggil mamanya dengan suara yang melengking, membuat percakapan ringan di meja makan berhenti. Sedetik kemudian mereka lihat Amelia berdiri dan melangkah dengan senang hati ke kamarnya.
Tiba-tiba suasana di meja makan menjadi dingin. Deni, Hanny, dan Anastasia saling bertatapan.
“Amelia itu siapa, Bu?” tanya Hanny pada Maria.
Maria yang sedang makan dengan tenang mendongak dan menatap Hanny sambil tersenyum manis.