Read More >>"> Again (Again 11) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Again
MENU
About Us  

Again 11

            Suasana rumah Maria menjadi sangat ramai karena kedatangan anak dan cucunya. Pagi hari, setelah sarapan, mereka akan menonton bersama atau duduk-duduk sambil bercerita di meja makan. Lalu siangnya mereka akan ke kebun membantu Rudi mengurus kebun sayurannya. Semuanya baik-baik saja, kecuali bagi Anastasia. Setiap kali berkumpul bersama ia tidak banyak bicara. Hanya sesekali menanggapi candaan dari Arbian. Lelaki itu juga sesekali terlihat kaku jika mendengar nama Amelia disebut-sebut atau ketika semua orang menyapa Tiara.

            Anastasia mengendap-endap ke dapur mengikuti Amelia yang sedang ke kamar mandi. Ia menunggu sebentar sambil mengetukkan kaki di atas lantai dan memandang pintu kamar mandi. Saat pintu terbuka Anastasia terperanjat kaget. Ia tersenyum canggung ke arah Amelia dan gadis itu juga membalas senyumnya.

            Saat Amelia akan melangkah kembali ke ruang tamu, Anastasia menahannya. “Kak, tunggu!” Ia mendekati Amelia dan meraih tangan gadis itu.

            Amelia mengangkat alis bingung. “Iya?”

            “Aku laper,” gumam Anastasia ragu, “Kakak bisa bikin martabak, nggak? Ajarin aku.”

            Amelia masih menatap Anastasia heran. Tidak merasa curiga sama sekali. Ia berpikir, beberapa detik kemudian ia mengangguk. “Boleh,” katanya. “Kakak suka yang dikasih nangka atau pisang.”

            Anastasia mengangguk gembira. “Iya, iya, iya. Aku juga suka, Kak. Suka banget. Ayo kita bikin,” katanya tidak sabaran.

            Amelia tertawa kecil. “Kakak mau lihat Tiara dulu, ya.”

            “Eh, nggak usah, Kak. Biar sama Nenek aja,” desak Anastasia tidak sabaran.

            “Iya, deh,” sahut Amelia setelah berpikir-pikir. Tidak ada salahnya, karena Tiara sudah sangat dekat dengan Maria. Pasti anaknya akan baik-baik saja.

            Anastasia mengangguk senang. Ia menarik Amelia ke dapur untuk segera membuatkannya martabak.

            Amelia mulai mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari mencampur tepung dan mengaduknya. Sementara Anastasia memotong-motong nangka menjadi bagian kecil-kecil.

            “Kakak tinggal sama Nenek udah berapa lama?” tanya Anastasia tiba-tiba.

            “Kurang satu tahun, Dek,” jawab Amelia tenang.

            “Oh,” gumam Anastasia datar. “Aku pernah lihat Kakak, lho,” tambahnya.

            Amelia mengerjap, lalu menoleh pada gadis itu. “Oh, ya?”

            Gadis itu menganguk. “Iya. Di hp Kak Bian,” sahutnya blak-blakan.

            Amelia terdiam. Tiba-tiba jantungnya berdetak sangat keras. Ia mengerjap, lalu menyalakan kompor dan memanaskan wajan. “Masa, sih? Kamu salah lihat kali,” kilah Amelia dengan suara serak.

            “Tapi mirip banget sama Kakak, kok.”

            Anastasia bahkan tidak membaca perubahan raut wajah Amelia. Tubuh gadis itu menengang setiap kali Anastasia berbicara.

            “Di dunia ini ada tujuh orang yang mirip dengan kita. Jadi mungkin saja itu mirip sama Kakak,” sahut Amelia sambil menuang adonan ke dalam loyang.

            Anastasia mengangkat bahu. “Mungkin karena itu juga Kak Bian selalu nolak kalau dijodohin sama Mama,” cerocosnya tidak peduli pada perasaan Amelia. Yang penting ia sudah mengungkapkan semua yang ia pendam sejak melihat Amelia di rumah neneknya.

            Sebenarnya Anastasia sudah sangat yakin dengan prasangkanya. Selama dua hari ini juga ia mengamati sikap Arbian dan Amelia beberapa kali di meja makan. Kakaknya yang kaku dan Amelia yang pendiam.

            “Lagian ....”

            Kata-kata Anastasia dipotong oleh Hanny yang baru saja datang. “Lagi masak apa?” tanyanya sambil menggendong Tiara di pangkuannya.

            “Ma ... ma ...,” panggil Tiara saat melihat Amelia.

            Amelia dan Anastasia menoleh serempak.

            Amelia tersenyum sopan pada wanita itu, lalu ia mengambil Tiara dari Hanny. “Ini, Tante. Ana minta bikin martabak,” sahutnya.

            “Ana bantu, kok.” Anastasia mengangat pisau di tangannya yang ia gunakan untuk memotong nangka tadi.

            Hanny mengangkat bahu. “Oh, kirain mau nyusahin Kak Amel,” decaknya.

            “Ih, Mama. Aku minta diajarin, kok. Iya kan, Kak?” Anastasia meminta pembelaan dari Amelia agar Hanny tidak mengejeknya lagi karena tidak pandai memasak di usia delapan belas tahun.

            Amelia tersenyum lebar, lalu mengangguk. “Iya.”

            Anastasia melipat kedua tangan di depan dada dengan bangga. Melihat itu Hanny hanya geleng-geleng kepala.

            “Tiara udah umur berapa?” tanyanya sambil menatap gadis itu.

***

            “Pokoknya Mama tidak mau tahu! Kamu ngga boleh ngomong apa-apa lagi sama Kak Amelia!”

            Hanny bersitegang dengan anaknya di dalam kamar. Sedari awal ia sudah memperingati anaknya agar tidak ikut campur masalah Arbian dan Amelia, terlepas dari dugaan itu benar ataupun salah. Sejujurnya ia sudah lama tahu tentang foto Amelia di ponsel Arbian. Namun, ia tidak berniat untuk menanyakan lebih lanjut kepada Arbian. Lalu, ketika mereka dipertemukan di rumah ibunya gadis itu sudah memiliki seorang anak.

            “Amelia adalah gadis putus asa yang Ibu temukan ingin bunuh diri waktu itu,” kata Maria memulai bercerita. “Waktu itu Ibu baru aja balik dari pasar. Dan ngga sengaja dengar seseorang menangis di dekat jalan. Pas dilihat, ditangannya sudah ada pisau.”

            Saat ini mereka sedang berada di kamar Maria. Hanny ingin meminta penjelasan tentang gadis yang tinggal bersama dengan Ibunya. Pasalnya Maria memang sudah memberitahu tentang seorang gadis yang tinggal bersamanya, tetapi tidak menjelaskan tentang asal-usul Amelia.

            “Kasihan,” ucap Maria sedih. Ingatan saat pertama kali ia melihat Amelia yang sedang putus asa dengan hidupnya. “Ibu ngga tega dan bawa dia pulang. Saat itu usia kandungannya sudah yang ketujuh bulan. Ayah juga mau menerima Amelia.”

            “Dia bercerita. Kalau dia diperkosa saat masih kuliah. Waktu itu Amelia akan bersiap-siap berangkat KKN ke sebuah kampung. Karena dia terlambat jadi diantar oleh kakak seniornya. Dan ternyata di perjalanan, sesuatu yang buruk terjadi. Iya ... kamu bisa nebak sendiri kan , Hanny?” Maria mendesah pelan, “Amelia diusir dari rumahnya, dia putus kuliah, dan katanya ... kekasihnya, meninggalkannya.”

            Hanny terpana. Cerita yang sudah sering terjadi pada anak gadis tak bersalah seperti Amelia. Terkadang takdir tidak adil. Namun, apa yang bisa kita perbuat jika sudah Tuhan yang menetapkan. Ia bersyukur masih bisa diberikan kehidupan yang baik-baik saja dengan keluarga kecil yang bahagia.

            “Hanny?” panggil Maria pelan.

            “Iya, Bu?”

            “Pertama kali Arbian ke rumah. Malamnya, Ibu dengar suara gelas pecah dari dapur. Saat Ibu lihat Arbian dan Amelia saling pandang. Ibu ingat sekali kalau malam itu, Amelia menangis dan pergi ke kamarnya.”

            Hanny berjalan mondar-mandir di depan Anastasia. Ia memijit kepalanya pusing.

            “Kalau bukan sekarang kapan lagi, Ma,” protes Anastasia.

            “Diam, Ana!” teriak Hanny marah. Saat sadar suaranya meninggi, ia mengembuskan napas berat. “Kamu jangan ikut campur lagi urusan mereka! Ini urusan orang dewasa, Nak,” tambahnya melembut.

            Anastasia memberengut. Ia bangkit dari kursi dan melangkah keluar kamar sambil berucap, “Terserah, Mama.”

            Hanny menjambak rambutnya sendiri. Kepalanya sakit. Apa yang harus dilakukannya. Ia juga tidak menyangka foto gadis di ponsel anaknya itu adalah Amelia. Ia mengembuskan napas berat berkali-kali. Bagaimana caranya menanyakan kepada Arbian? Atau mungkin pada Amelia?

            “Bahkan besoknya Arbian minta pengen pulang. Hanny ... Ibu kepikiran kalau mereka berdua saling kenal.”

***

            Arbian tidak tenang ketika ia berbaring di atas ranjang. Setiap beberapa menit ia menghadap ke kanan, lalu berpindah posisi ke kiri, telentang dan menelungkup. Tubuhnya benar-benar tidak nyaman dengan posisi apa pun. Ia sudah mencoba duduk, lalu berjalan mondar-mandir untuk membuat tubuhnya lelah. Namun ketika dicoba lagi, tetap saja matanya tidak bisa tidur. Kepalanya terasa pusing sejak selesai mandi jam delapan tadi.

            Tiba-tiba ia mendengar suara seseorang terbatuk-batuk dari luar kamar. Dahinya mengernyit. Karena penasaran, ia bangit dan berderap menuju pintu kamar. Matanya menyapu setiap sudut ruangan. Tidak ada siapa pun, tetapi suara itu masih terdengar samar-samar.

            Saat sampai di ruang keluarga, ia melihat Amelia sedang membereskan mainan Tiara yang berserakan. Ah, gadis itu sudah membuat berantakan seluruh rumah setelah mengajak semua orang bermain dengannya.

            Bibirnya tersenyum kecil. Lalu ia melangkah pelan mendekati Amelia.

            “Amelia?”

            Gadis itu menoleh dan menatap Arbian, tapi tidak menjawab.

            Arbian berjongkok di depan Amelia. “Sini aku bantu.” Lalu ia memungut mainan Tiara dan memasukkannya ke dalam keranjang.

            Amelia mengangguk pelan, tanpa menyahut.

            “Hari ini Tiara seneng banget, ya. Kayaknya dia suka suasana rame, deh,” kata Arbian mengingat-ngingat betapa bahagianya gadis kecil itu berada di tengah-tengah keluarganya. Bahkan papa dan mamanya juga menyukai Tiara. Mereka tidak berhenti meributkan soal menggendong Tiara, memeluk dan mencium gadis itu berulang kali. Suara melengking Tiara selalu sukses mengukir senyum lebar di setiap bibir mereka.

            “Iya,” sahut Amelia datar. Ia tersenyum senang, mengingat Tiara sangat gembira tidak seperti biasanya.

            Setelah semuanya terkumpul Arbian mengangkat keranjang tersebut dan memasukkannya ke dalam lemari. Kemudian ia kembali duduk ke tempatnya semula, di depan Amelia. Gadis itu juga tidak segera beranjak ke kamar meski jam sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.

Untuk beberapa detik mereka hanya saling pandang. Arbian tersenyum kecil, lalu bergumam lirih, “Maaf.”

            Amelia mengerjap. “Untuk apa?” tanyanya bingung.

            Arbian mengembuskan napas berat. Rumah sudah sunyi, hanya ada mereka berdua dan Arbian akan lebih leluasa. Namun, perasaannya tiba-tiba berat. Ia menelan ludah dengan susah payah.

            Setelah mengumpulkan segenap keberaniannya dan membuat gadis itu menunggu lama. “Gimana kabar kamu?” Ia balik bertanya.

            “Seperti yang kamu lihat,” jawab Amelia tenang. Ia menatap Arbian dengan kening berkerut. Tiba-tiba lelaki itu menjadi aneh. Amelia melihat mata lelaki itu menatap sayu. Seperti tidak ada semangat di dalam dirinya.

            Arbian menganggukkan kepala beberapa kali. Kemudian mendongak dan menatap mata Amelia. Aneh sekali, gadis itu tidak menghindari tatapannya kali ini. Ia akan mengatakannya sekarang, hanya ini satu-satunya kesempatan untuk Arbian.

            “Kamu kenapa?” tanya Amelia cemas. Ia melihat Arbian beberapa kali mengerjap dan pandangannya tidak fokus.

            Lelaki itu menggelengkan kepala. “Aku cuma pusing,” sahutnya pelan. Lalu ia menghirup napas dan mengembuskannya dengan ritme yang cepat. Arbian merasa sekujur tubuhnya kehilangan daya.

            Tiba-tiba Amelia merasa khawatir. Ia mendekat dan memandangi wajah lelaki itu dengan saksama. Tangannya terulur untuk menyentuh wajah lelaki itu.

            Tepat saat tangan Amelia menempel di pipi Arbian, lelaki itu membuka matanya. Amelia terpaku pada tatapan lelaki itu. Lemah dan tak berdaya. Ia hendak menarik tangannya ketika Arbian malah menahannya. Menggenggam tangannya dan meremasnya dengan lembut, pelan, dan terasa begitu lemah.

            “Biarin aku ngelihat kamu sebentar,” bisiknya lirih sambil menatap Amelia dengan pandangan nanar.

            Amelia menelan saliva. Bisa ia rasakan jantungnya berdetak melebihi ritmenya, sangat cepat hingga ia takut jantungnya akan melompat keluar.

            “Kamu sakit,” gumam Amelia gusar, “Badan kamu panas.”

            Arbian tidak menyahut. Ia menjatuhkan kepalanya di bahu Amelia dengan posisi tangannya yang masih menggenggam tangan gadis itu. Rasa sakit menyerang kepalanya. Dunia seperti berputar-putar. Arbian menutup matanya kuat-kuat, berharap agar rasa sakit di kepalanya berkurang.

            Jika ada yang lebih sakit dari saat ia kehilangan segalanya dan hidup sebatang kara, mungkin adalah berada di samping lelaki ini tanpa jarak sedikit pun. Amelia bisa mencium bau tubuh Arbian. Sesak. Itulah yang dirasakannya saat ini. Bibirnya terkatup rapat. Tidak tahu mau mengatakan apa. Amelia merasa dadanya sedang dihantam benda keras hingga membuat hatinya terasa nyeri. Sangat sakit.

            Tangan Arbian terkulai lemas ke lantai dan genggamannya telepas. Apa yang sudah terjadi padanya? Rasa sakit ini menyerang seluruh bagian tubuhnya membuat Arbian tidak berdaya walau sekedar membuka mata. Arbian merasa tubuhnya kedinginan. Tangannya gemetaran.

            Tubuh Amelia menegang saat Arbian melingkarkan sebelah tangan ke belakang punggungnya. Kini Amelia bisa merasakan jantung Arbian berdetak sangat cepat di dadanya. Keadaan seperti apa ini? Kenapa tubuhnya tiba-tiba membeku? Biasanya Amelia punya sisa kekuatan untuk berlari dan menghindari lelaki itu, tapi kali ini ia hanya mematung sambil mendengarkan desah napas Arbian yang teratur.

            Ia menoleh, melihat keringat membutir di dahi lelaki itu. Sangat banyak. Ia mengusap keringat itu dengan tangannya. Melihat hal itu membuat Amelia tidak tega untuk meninggalkan lelaki itu sendirian di sini.

            “Amelia?” bisik Arbian lirih, terdengar sangat jauh di telinganya sendiri.

            “Iya?” sahut Amelia cemas.

            “Sakit,” ucapnya dengan suara bergetar.

            Amelia semakin dilanda perasaan resah. Ia menggeser duduknya agar ia bisa lebih leluasa menatap wajah lelaki itu. Untuk memastikan keadaannya. “Apa yang sakit, Bian?” tanyanya cemas sambil mengusap kepala Arbian beberapa kali.

            “Aku ....”

            “Iya, apa yang sakit, Bian?” tanya Amelia lagi, merasa tidak puas.

            “Ternyata bisa sesakit ini ketika merindukan kamu ....”

            Tangan Amelia berhenti mengusap kepala Arbian. Ia mengulum bibir. Matanya mengerjap gusar. Ia tidak tahu bagaimana menggungkapkan perasaannya saat ini. Sakit, lelah, hancur ... luluhlantak. Perkataan Arbian barusan mengundang air matanya jatuh di pipi. Ia mengusapnya dengan punggung tangan. Dengan segenap tenaga yang ada, ia kembali mengusap kepala Arbian untuk membuat lelaki itu merasa lebih baik.

            Tanpa sadar, kepalanya mengangguk-angguk. Membenarkan ucapan laki-laki itu.

            Ternyata bisa sesakit ini ketika merindukan kamu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rasa Cinta dan Sakit
4      4     0     
Short Story
Shely Arian Xanzani adalah siswa SMA yang sering menjadi sasaran bully. Meski dia bisa melawan, Shely memilih untuk diam saja karena tak mau menciptakan masalah baru. Suatu hari ketika Shely di bully dan ditinggalkan begitu saja di halaman belakan sekolah, tanpa di duga ada seorang lelaki yang datang tiba-tiba menemani Shely yang sedang berisitirahat. Sang gadis sangat terkejut dan merasa aneh...
Nope!!!
19      8     0     
Science Fiction
Apa yang akan kau temukan? Dunia yang hancur dengan banyak kebohongan di depan matamu. Kalau kau mau menolongku, datanglah dan bantu aku menyelesaikan semuanya. -Ra-
G E V A N C I A
19      8     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Salju di Kampung Bulan
8      6     0     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Accidentally in Love!
3      3     0     
Romance
Lelaki itu benar-benar gila! Bagaimana dia bisa mengumumkan pernikahan kami? Berpacaran dengannya pun aku tak pernah. Terkutuklah kau Andreas! - Christina Adriani Gadis bodoh! Berpura-pura tegar menyaksikan pertunangan mantan kekasihmu yang berselingkuh, lalu menangis di belakangnya? Kenapa semua wanita tak pernah mengandalkan akal sehatnya? Akan kutunjukkan pada gadis ini bagaimana cara...
Senja di Sela Wisteria
3      3     0     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
The Diary : You Are My Activist
131      28     0     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
When I\'m With You (I Have Fun)
3      3     0     
Short Story
They said first impression is the key of a success relationship, but maybe sometimes it\'s not. That\'s what Miles felt upon discovering a hidden cafe far from her city, along with a grumpy man she met there.
KATAK : The Legend of Frog
2      2     0     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.
L.o.L : Lab of Love
18      7     0     
Fan Fiction
Kim Ji Yeon, seorang mahasiswi semester empat jurusan film dan animasi, disibukan dengan tugas perkuliahan yang tak ada habisnya. Terlebih dengan statusnya sebagai penerima beasiswa, Ji Yeon harus berusaha mempertahankan prestasi akademisnya. Hingga suatu hari, sebuah coretan iseng yang dibuatnya saat jenuh ketika mengerjakan tugas di lab film, menjadi awal dari sebuah kisah baru yang tidak pe...