Again 12
Rudi sudah siap dengan pakaian lengkapnya untuk memanen jagung di kebun seperti usulan Arbian. Menantu dan cucu perempuannya pun sudah membawa ember besar sebagai wadah menyimpan jagung. Hari ini sudah tanggal tiga puluh satu desember, dan malam nanti adalah malam pergantian tahun.
“Kak Bian mana ya, Pa? Dia yang ngajak malah dia yang ngga nongol,” decak Anastasia sambil mengikat rambutnya ke belakang. Ia berpakaian lengkap, menggunakan sarung tangan dan sepatu bot. Tidak lupa, ia sudah memakai sunscreen untuk kulitnya.
Rudi tertawa kecil. “Lebih baik dia nggak ikut daripada gangguin kita.”
Deni ikut tertawa. “Iya. Lebih baik dia menyiapkan tempat pembakaran,” timpalnya membenarkan perkataan Rudi.
“Bener juga kata Kakek. Lagian Ana males kalau digangguin Kak Bian terus.”
Deni hanya menggeleng-gelengkan kepala. Setelah itu mereka sama-sama pergi ke kebun di belakang rumah.
***
Sementara Amelia sedang menyiapkan segala sesuatunya di atas nampan untuk ia bawa ke kamar Arbian. Ya, lelaki itu harus sarapan pagi ini. Ia ingat betul, bila lelaki itu sangat jarang sakit. Bila sekalinya sakit, Arbian tidak dapat melakukan apa pun, bahkan untuk berdiri saja dia susah. Lelaki itu juga benci pada obat.
Amelia menggenggam nampan itu erat-erat. Ia mengembuskan napas perlahan. Entahlah, sejak tadi malam hatinya tidak mau berhenti berdebar-debar. Sejak Arbian tertidur di bahunya sampai pagi. Ia tidak bisa membawa laki-laki itu ke kamarnya karena Arbian sama sekali tidak mendengarkan kata-katanya untuk pindah ke kamar. Akhirnya, Amelia menyerah dan memutuskan untuk mengambil selimut dan bantal dari kamar Arbian, dan membiarkan lelaki itu tidur di ruang keluarga.
Ia mengirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. Setelah mengumpulkan segenap keberanian yang ia punya, barulah Amelia melangkah pelan ke dalam kamar Arbian.
“Jangan pergi,” bisik Arbian sambil menggenggam tangan Amelia untuk menahan gadis itu agar tidak pergi.
Amelia menoleh dan menatap Arbian yang masih menutup mata.
“Tolong,” pintanya lirih.
Akhirnya, Amelia tidak punya pilihan lain. Ia duduk di samping Arbian dan lelaki itu langsung merebahkan kepalanya di bahu Amelia. Posisi paling nyaman yang sangat disuakinya. Di dekat Amelia, membuat semuanya terasa benar.
“Sebentar aja,” kata Arbian pelan.
Amelia menggelengkan kepala untuk menyadarkan dirinya saat sampai di depan pintu kamar Arbian. Percakapan singkat semalam selalu terngiang-ngiang di kepalanya. Ia mengembuskan napas berat, lalu memutar kenop pintu dan mendorongnya. Saat melihat Arbian tertidur lelap, ia menelan ludah dengan susah payah.
Ia menutup pintu kamar, lalu berjalan hati-hati agar tidak menimbulkan suara dan membangunkan lelaki itu. Kemudian, ia meletakkan nampan di atas nakas.
Amelia duduk tepi ranjang, lalu menatap Arbian sebentar. Ia menyentuh lengan Arbian untuk membangunkan lelaki itu. “Bian?” panggilnya.
Arbian menggumam pelan, tetapi tidak membuka matanya.
“Sarapan.”
Arbian mengernyitkan dahi, lalu memutar tubuh sehingga membelakangi Amelia.
“Bian, kamu harus sarapan,” ulang Amelia sekali lagi.
Arbian tetap tidak menjawab, lelaki itu bahkan tidak bergerak sedikit pun membuat Amelia tidak tega. Ia mengembuskan napas berat, lalu bangkit dan melangkah pelan keluar kamar. Sebelum menutup pintu ia melirik Arbian sebentar. Lelaki itu mengernyitkan dahi, seperti sedang menahan rasa sakit.
Amelia tersenyum kecil. Laki-laki butuh banyak istirahat. Ia menutup pintu rapat-rapat, perlahan-lahan agar tidak menimbulkan bunyi.
“Amel?”
Amelia terlonjak kaget ketika seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ia berbalik sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
Hanny mengerutkan dahi melihat reaksi Amelia. “Kamu ngapain dari kamar Arbian?” tanyanya curiga.
“Nganterin sarapan buat Arbian, Tante,” sahut Amelia pelan, juga merasa malu.
“Nganterin sarapan?” ulang Hanny.
Amelia mengangguk. “Iya, Tante. Arbian sakit,” ungkapnya jujur, “Aku mau ke kamar dulu Tante,” tambahnya, lalu melangkah dengan cepat menuju kamarnya.
Sementara Hanny memandang kepergian Amelia dengan tatapan bingung. Sarapan? Sakit? Benar juga. Arbian tidak ikut sarapan tadi pagi. Tanpa pikir panjang lagi ia membuka pintu dan masuk ke dalam.
Arbian masih tertidur di ranjangnya. Kedua alisnya bertaut samar. Melihat itu Hanny menghela napas panjang. Ia berjalan ke samping rajang dan duduk di tepinya. Arbian tidur telentang dengan satu tangan diletakkan di atas perut dan tangan yang lain di samping tubuhnya.
“Arbian? Bangun, Nak. Ayo makan,” panggil Hanny sambil menepuk pelan pipi Arbian.
“Arbian. Katanya kamu sakit. Mama ngga mau panggil berkali-kali cuma buat bangunin kamu,” katanya lagi, sambil mengambil dari nampan.
Arbian menggumam kesal. Ia mengusap wajahnya. “Nanti, Ma,” sahutnya setengah hati.
“Nanti? Nanti tunggu kamu tambah sakit?” tanya Hanny.
“Ih, Mama. Selalu aja gitu,” decak Arbian kesal. Ia membuka mata dan menatap Hanny. “Anak Mama lagi sakit, tapi malah galak,” tambahnya.
Hanny menggelengkan kepala. “Kalau Mama manjain, kamu bakal lama sembuhnya. Maksud Mama, lama karena pura-pura sakit. Mama ngga mau kena tipu lagi.”
“Ih, tapi ini benaran, Ma,” erang Arbian sambil menendang-nendang selimutnya seperti anak kecil.
Hanny mendengus. “Mau Mama suapin atau makan sendiri?” tanyanya tegas.
Arbian berdecak. Ia bangkit dan menyandarkan punggung di dinding. Ia memberengut merapikan selimutnya kembali.
Wanita itu tersenyum di sudut bibirnya. Jika tidak begini, Arbian akan selalu bermanja-manja padanya. Pernah beberapa kali ia dibohongi Arbian hanya karena lelaki itu ingin disuapi makan oleh Hanny. Ia selalu iri jika melihat Hanny lebih memanjakan Anastasia. Namun sesungguhnya, sama sekali Hanny tidak pernah membedakan kedua anaknya. Baik Arbian yang sudah dewasa ataupun Anastasia yang masih sekolah.
“Kamu kenapa bisa sakit?” tanya Hanny sambil mendaratkan suapan pertama ke mulut Arbian.
Arbian memberengut lagi. “Ini lagi makan, Ma. Masa di suruh jawab, sih.”
Hanny mengembuskan napas panjang. Baiklah, ia tidak akan berbicara jika Arbian sudah begini.
Beberapa suapan sudah tertelan oleh Arbian. Sunyi. Benar-benar tidak ada yang berbicara sama sekali.
“Ma?” panggil Arbian, menatap mamanya bingung.
“Hmm?”
Arbian meneguk air putih, lalu berkata, “Kok Mama diam aja, sih?”
“Tadi Mama disuruh diam,” jawab Hanny datar.
“Kapan?” tanya Arbian pura-pura tidak tahu.
Hanny berdecak, lalu melirik Arbian sinis. Tetapi lelaki itu malah menyengir salah tingkah.
“Mama yang bikin, ya? Ih, Mama perhatian. Makasih,” ucap Arbian lembut, untuk mengembalikan suasana hati mamanya.
“Bukan,” sahut Hanny ringkas. Ia mengumpulkan sisa-sisa nasi yang masih ada di piring, lalu menyendoknya dan menyuapi Arbian.
“Terus siapa, dong?”
“Amelia.”
Arbian mengerjap. Mulutnya berhenti mengunyah. Saat Hanny menatapnya, ia bergumam, “Oh.” Kemudian mengunyah makanannya cepat-cepat.
Amelia? Apa?
Hanny mengulurkan tangan dan menempelkan di kening anaknya. “Ngga terlalu panas,” gumamnya.
Arbian tidak menjawab, ia hanya menatap Hanny.
“Ana mana, Ma?” tanyanya kemudian.
“Di kebun.”
“Loh? Bian ikut!” serunya sambil mengenyahkan selimut dari kakinya.
“Tuh, lihat!” kata Hanny sambil menunjuk keluar jendela dengan dagunya.
Matahari bersinar begitu terik pagi ini. “Pergilah kalau mau sakit,” tambahnya, sambil bangkit dan mengangkat nampan untuk membawanya ke dapur.
Arbian berdecak keras. Ia menarik selimut dengan kesal sambil merebahkan tubuh.
Hanny tertawa keras. “Kasihan,” ucapnya dengan nada mengejek. Setelah itu ia keluar dari kamar Arbian dan menutupnya.
Arbian menatap keluar jendela. Ia memberengut kesal. Pasti Anastasia sedang bersenang-senang bersama kakek dan ayahnya. Ah, kenapa juga Arbian cemburu pada gadis kecil itu. Toh, mereka berdua selalu diperlakukan sama.
Arbian memutar tubuh ke kanan dan ke kiri. Memandang langit-langit kamar, bermain ponsel, melihat langit biru lewat jendela sehingga ia menghabiskan satu jam yang membosankan.
Amelia.
Apa yang terjadi semalam? Arbian tidak bisa mengingat dengan jelas. Terakhir kali yang ia tahu, kepalanya pusing dan Amelia menyentuh pipinya. Setelah itu, Arbian merasa ia sudah di luar kendali. Apa ia merepotkan gadis itu? Apa Amelia pula yang membawanya semalam ke dalam kamar?
Apa yang sebenarnya terjadi?
Ia bangkit dari kasur dan berjalan perlahan-lahan menuju pintu. Ini di luar dugaannya. Arbian merasa cukup sehat untuk berjalan sendiri. Ia harus menemui Amelia, menanyakan kepada gadis itu apakah ia tertidur di ruang keluarga? Apa ia sudah menyusahkan gadis itu?
Saat Arbian membuka pintu, ia terkesiap. Tubuhnya mundur selangkah ketika melihat Amelia ada di depan pintu kamarnya dengan segelas jus wortel di tangannya.
“Bian?” panggilnya dengan kening bekerut. “Harusnya kamu istirahat,” tambahnya.
Amelia mengerjap melihat lelaki itu bukannya menjawab pertanyaannya, tetapi malah memandangi gelas di tangannya. “Ini jus wortel,” katanya pelan.
“Apa?” Arbian menggelengkan kepala kuat-kuat. Sampai kapan pun ia tidak akan meminum jus mengerikan itu.
“Kenapa?”
“Nggak! Nggak mau! Nggak enak!” teriak Arbian sambil menutup telinganya. Ia masuk kembali, naik ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut seperti anak kecil.
Amelia semakin dibuat bingung dengan sikap laki-laki itu. Tiba-tiba Arbian bersikap aneh dan ... manja. Ia melihat segelas jus wortel di tangannya, lalu menatap Arbian di balik selimut. Ia melangkah ragu dan berdiri di tepi ranjang.
“Bian?” panggil Amelia.
“Aku ngga mau!” seru Arbian keras kepala.
“Tapi ini minuman sehat. Kamu butuh vitamin A. Hmm, nggak ada yang lain juga,” gumam Amelia ragu.
Lelaki itu duduk, membuka selimutnya dan menjulurkan kepala. Ia memberengut menatap ke arah Amelia, lalu menggeleng.
“Seingat aku, kamu ngga suka minum obat,” kata Amelia mengingat-ingat.
Arbian mengangguk setuju.
“Jadi, aku buatkan ini.”
Arbian menggeleng lagi.
Amelia mengembuskan napas panjang. Ia meletakkan gelas itu di atas nakas, lalu duduk di samping Arbian. Menempelkan tangan di dahi, pipi, dan leher lelaki itu. Ia tersenyum senang. “Sudah mendingan,” katanya.
Arbian tertegun. Ini pertama kalinya ia melihat Amelia tersenyum padanya. Pertama kalinya sejak satu tahu silam. Arbian yakin, senyuman itu untuknya. Sampai-sampai bibirnya tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun karena ia sangat gugup. Hatinya berdebar keras, tidak dapat ia cegah.
“Makasih,” gumam Amelia, “Aku belum sempat bilang makasih waktu itu. Makasih, sudah mau mengantar aku dan Tiara ke rumah sakit. Makasih sudah menghibur Tiara pagi itu.”
Arbian mengerjap. Menghibur Tiara pagi itu?
Namaku Arbian Fahrez. Aku pacar Mama Tiara dulu.
Apa? Amelia mendengar itu semua? Seketika Arbian merasa pipinya memanas.
“Aku ngga mau kamu sakit. Aku ngga tahu mau mengadu ke siapa ...,” ucap Amelia dengan suara bergetar. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya, tanpa ia duga dan sempat dicerna otaknya.
Amelia tidak bisa membohongi perasaannya. Sejak Arbian mengantarnya ke rumah sakit, menggenggam tangannya, membantunya memasak dan membersihkan rumah, bahkan setiap kali mereka sangat dekat seperti semalam, Amelia merasa jantungnya disiksa tanpa ampun oleh rindu. Oleh rasa yang sudah ia kubur dengan susah payah selama ini. Amelia tidak ingin menghindar, tetapi kenyataan mematahkan perasaannya. Menyadarkannya bila Arbian sangat jauh dari genggamannya. Kadang ia berpikir, bila Arbian menyukai Tiara. Namun kenyataannya, Tiara bukanlah anak Arbian. Lelaki itu tidak akan bisa menerima Tiara seutuhnya. Berulangkali ia menyadarkan diri, inilah kenyataannya. Tentangnya dan Arbian hanyalah tinggal kenangan.
Amelia juga merasa ia tidak punya kesempatan sama sekali.
Tiba-tiba Amelia terkesiap. Arbian baru saja mencium keningnya, membuat tubuhnya menegang. Ia mendongak dan menatap laki-laki itu tidak percaya.
Arbian tersenyum. Tulus.