Papa adalah cinta pertama setiap anak perempuannya
Ruby menapaki teras dengan hal asing yang membuatnya pusing. Mukanya semerah tomat dan bibirnya tertarik terus sedari tadi. Sampai-sampai ia perlu menggigitnya agar bibir tersebut berhenti bereaksi.
Ia mencium buketnya. Mawar peach yang wangi dan cantik. Duh, Ruby ingin tersenyum lagi.
Gila, gila, dia bisa gila kalau begini terus.
Setelah membuka pintu, ia langsung mengisi vas bunga dengan air dan meletakkan mawar tersebut di kamarnya. Dibukanya jendela lebar, membiarkan angin menerpa masuk, yah Ruby perlu menenangkan diri dari sesuatu yang panas dari tadi.
Matanya memandang buku pemberian Rimba. Buku yang mendapat penghargaan sastra di tahun ini. Kemarin, Ruby pernah mencari buku ini tetapi sedang kehabisan. Rupanya, rezeki tetap tidak akan tertukar. Mungkin, Pluto dengan segala rahasianya memberi bisikan kepada Rimba tentang hal-hal yang diketahuinya.
Dengan cepat, jalinan pita di sampul dibukanya. Hidungnya mengendus bau kertas dari buku baru. Khas dan melenakan.
Bagaimana bisa manusia menyukai hal-hal aneh yang susah dijelaskan? Bau buku baru, harum rumput setelah dipotong, aroma hujan yang susah dideskripsi dan sejumput riak asing mengganggu juga menyenangkan.
Masih dengan memegang buku, Ruby memandang halaman rumah. Ia ingin membaca tetapi tidak bisa konsentrasi. Padahal sekitar sepi. Benaknya kosong melompong dan ia hanya ingin melamun, mengingat kembali kejutan yang dibuat oleh Rimba. Kok bisa ya di luar prediksinya?
Buku diletakkannya di meja, ia bergerak membuka laci, meraih kain berwarna merah. Slayer Pasuspala yang ditemukan sebelum melihat Rimba dipukuli geng yang beraninya keroyokan. Apa slayer ini punya Rimba?
Suara pintu dibuka membuat Ruby segera menaruh slayer tersebut dan menutup laci. Badannya berputar hendak menoleh keluar. Namun, Papa lebih dahulu masuk ke dalam kamarnya.
"Loh, baru pulang?" Papa mengamati Ruby yang masih mengenakan seragam. Ruby bergeming. Ia tidak memberitahu Papa kalau pulang sore, hari ini.
"Nggak masak dong? Padahal Papa kangen sambel terasi Ruby." Papa memasang muka merajuk. Lelaki itu menaruh ransel besarnya di pinggir tempat tidur, berjalan perlahan menuju sesuatu yang menarik matanya.
"Bunga dari siapa?" Mata Papa memicing dan bibirnya menyeringai geli. Muka Ruby memerah, dan ia kesulitan untuk menjelaskan ke Papa. "Oh, jadi ini yang bikin anak Papa pulang sore," cetus Papa sambil mengamati mawar peach pemberian Rimba.
"Apa sih, Pa?" Ruby berusaha melawan rasa hangat yang melumuri wajahnya. "Itu dari temen, kok."
Papa terkekeh. Lelaki berambut gondrong dengan jambang liar ini jelas tahu, teman mana sih yang akan kasih mawar seistimewa ini? "Iya, temen. Temen jadi demen," kelakar Papa sambil mencolek hidung bangir Ruby.
"Bilang sama temen Ruby, besok-besok jangan bunga segar lagi. Bunga bank, deposito, emas gitu." Ruby membelalak sedangkan Papa tertawa sampai batuk.
"Saking temen sampe nggak masak buat Papa lagi," tambah Papa makin memanasi. Lelaki itu bersandar pada kusen jendela yang dibuka Ruby.
"Kirain Papa nggak pulang tadi. Kan, Papa bilang pulangnya lusa." Bibir Ruby mulai mencuat, sifat manja yang hanya keluar jika bersama orang tua.
"Digidaw! Tapi ternyata Papa dateng lebih cepat, we... Papa kan mau kasih surprise. Eh, ternyata Papa yang dapet surprise." Jalinan bibir Ruby tersimpul senyum mendengar kalimat Papa. Dasar Papa! Sudah tua tapi masih sok berjiwa muda. Papa sering bilang kalau orang lapangan sepertinya tentu lebih berjiwa muda. Bertemu dengan banyak orang dan banyak karakter membuat Papa tetap awet muda.
Lihatlah. Papa masih memakai celana jins dengan kaus raglan sesiku ditutup kemeja lapangan berkantung. Jangan lupakan rambut ikal yang tidak dipotong-potong bersama uban yang menghiasi warnanya. Papa biasa menguncir rambut menjadi bulatan tinggi, benar-benar Rastafarian.
"Cie, anak Papa punya pacar." Papa dan Ruby mulai keluar kamar, menuju dapur yang letaknya tidak jauh dari sana.
Ruby mulai menurunkan lauk beku dari freezer. "Ayam atau ikan, Pa?"
"Cinta aja," jawab Papa mengerling.
"Papa!" sungut Ruby sambil mencebik.
Mendapati putri satu-satunya beraksi begitu, Papa makin memperuncing olokan. "Ejiye. Yang mana sih anaknya? Kenalin dong sama Papa. Sebagai calon mertua yang baik, Papa ini bisa menilai kriteria calon menantu. Tenang, nggak akan Papa tes apa-apa. Nggak harus ngalahin Papa main catur dulu sebelum ajak Ruby nge-date."
"Pa..." Ruby mendesah pasrah. "Mau makan ikan atau ayam?"
"Siapa nama cowoknya?" Papa masih saja mengabaikan pertanyaan Ruby. "Biar Papa tebak. Anton? Budi? Atau Iwan?" Tawa Papa lalu memecah suasana dapur.
Muka Ruby yang sudah sewarna dengan buah plum itu membuat Papa geli. Badan Ruby tidak akan bereaksi seperti itu jika tidak merasa. Anaknya itu meski kecil tetaplah batu. Jadi, Papa tahu kalau Ruby pasti ada sesuatu dengan si pemberi bunga.
"Etdah, mancung bat bibir! Sama Papanya aja ngambek, gimana sama cowok coba?" Kalimat Papa lalu berlogat Melayu seperti Kak Ros menceramahi Upin dan Ipin. "Nasiblah jadi cowoknya Ruby. Nasib badan..."
"Ruby males masak nih, ya," ancam Ruby agar Papa berhenti meledek. Ia memasukkan ayam dan ikan ke dalam kulkas kembali.
"Selow. Jangan kayak orang ribet. Ayo kita makan di luar!" ajak Papa santai. "Sekalian ngerayain Ruby ulang tahun juga. Mandi dulu, gih."
Ruby mengangguk. Ia dan Papa menuju kamar masing-masing untuk mandi dan bersiap. Meski terasa kurang dengan tidak hadirnya Mama, hari ini Ruby cukup bahagia. Ada Papa dan Rimba yang datang dengan ketiba-tibaan yang menyenangkan.
***
Malam ini, ruang tengah rumah Ruby kembali berwarna. Sepulang dari makan malam, Papa dan dia duduk bersama, berbagi cerita. Ruby ada menceritakan Rimba sedikit, sedikit saja tanpa menyebutkan nama. Ia juga menceritakan Papa bahwa akan mengikuti penyisihan olimpiade fisika juga tentang ujian kenaikan tingkat aikido.
Ada rasa senang terselip dalam hati Ruby melihat gurat bangga Papa. Dan Ruby berjanji akan membuat Papa lebih bangga. Karena hanya Papa yang tersisa, hanya Papa yang dipunyainya. Seseorang yang menjadi payung peneduhnya selama ini. Walaupun Papa sering bertugas jauh, Ruby tetap merasa dekat. Jarak bukan masalah untuk komunikasi ayah-anak tersebut.
Papa memandangi bingkai foto dimana ia, Ruby juga istrinya berfoto bersama. Sepertinya masih kemarin, berpetualang dengan dua orang yang disayang. Jujur saja, ia merindukan istrinya. Seseorang yang hilang tanpa kabar berita hingga maskapai mengumumkan nama wanita itu sebagai korban.
Papa menuju ke pojok ruangan, mengambil sebuah piringan hitam dan memasang ke pemutarnya. Sudah dapat Ruby duga apa yang diputar Papa. Musik yang secara tidak langsung mengkontaminasinya, musik reggae. Kali ini yang diputar Papa, lagu dari musisi reggae Indonesia, Ras Muhamad.
"By, tau nggak?" Papa membuka percakapan lagi. Tangannya menuang teh ke dalam cangkir. Mereka memang terbiasa duduk dan ngeteh bersama seperti kebiasaan para bangsawan.
"Enggak," pungkas Ruby terkikik. Kali ini ia merasa akhirnya bisa membalas Papa.
"Ye... Nih anak, dengerin dulu. Musik reggae ini, yang mempertemukan Papa sama Mama." Papa tersenyum-senyum seperti sedang mengingat kisah romantis ala film India. "Tau nggak, Papa dan Mama ketemu di mana?"
"Konser musik?"
"Bukan."
"Padang gurun?"
"Bukan."
"Alcatraz?"
Papa berdecak keki. "Bukan. Nebaknya nggak banget sih?! Papa sama Mama ketemu di pinggir pantai, di Jamaika."
Ruby ber-huwo ria.
"Jadi, pas banget Papa lagi duduk di bawah pohon kelapa, lagi nyanyi-nyanyi kecil pakai ukulele..."
"Terus ketimpa kelapa?" sahut Ruby iseng.
Papa berdesis cuek. "Motong aja kayak angkot. Ceritanya, Mama samperin Papa. Terus bilang kalau Mama suka permainan musik Papa."
Ruby bergeleng sangsi. "Nggak mungkin, terlalu frontal."
"Orang Rusia gitu emang, By. Kayak Ruby nggak gitu aja, sekali ngomong dalam."
"Masa sih, Pa?"
Papa menggoyangkan kepala pelan mengikuti alunan lagu Ras Muhamad. "Masak mah pake kompor," balas Papa kalem.
"Nggak ilmiah. Masa mah gaya dibagi percepatan, Pa." Ruby menjawab penuh dedikasi.
"Percaya yang fisika banget, mah. Tapi ilmu juga relatif. Kalau kata Einsten, nggak ada yang mutlak di alam semesta ini."
Ruby menyisir rambutnya yang berlekuk seperti milik papa, mencepol dengan tinggi. Ia masih menyunggingkan sukacita melihat Papa bergoyang reggae. Ketukan musik yang santai, wangi teh, obrolan hangat dan Papa yang selalu menenangkan. Kolaborasi nikmat apalagi yang Ruby akan dustakan?
"By, hidup ini bukan masalah pintar atau enggak saja melainkan bagaimana kita berguna buat orang lain. Ruby lihat Mama, kan? Kalau Mama mau kaya, bisa banget, By. Tapi bukan itu tujuan Mama."
Lelaki berumur lima puluh tiga tahun itu masih terlihat segar, hanya saja sedikit tidak tertata. Mata dan senyumnya selalu bersemangat. Kata-katanya membuat Ruby tunduk, patuh juga merasa aman.
"Padahal kalau kita kaya enak ya, By? Naik limousine gitu." Papa berkelakar lagi. Tangan itu mengelus janggutnya. "Tapi bukan Mama ah kalau gitu. Kalau Mama matre mah, mana mau sama Papa."
"Tuh, sadar." Ruby menyengir. Ia tahu Mama pintar. Jika saja Mama mendedikasikan waktunya khusus untuk penemuan-penemuan, mungkin sudah memiliki lisensi khusus yang membuat keluarganya kaya tujuh turunan seperti Sultan.
"Tapi..." lanjut Ruby, "apa yang bisa dibikin sama anak SMA kayak Ruby? Palingan sekedar baksos atau donor darah?"
"Hal-hal kecil yang kita lakukan kadang berdampak besar untuk orang lain," jelas Papa.
"Lebih konkrit, Pa," tuntut Ruby.
Baru saja Papa akan menyahut, pintu depan digedor keras, membuat Papa dan Ruby berpandangan. Papa menuju depan, akan membuka pintu. Ruby membuntut di belakang Papa, ingin mengetahui siapa yang berlaku tidak sopan barusan.
"Kalau Papa pergi, ada tamu yang kayak gini?" tanya Papa sebelum membuka pintu. Ruby menggeleng cepat. Papa mengintip dari jendela, tetapi si pengetuk tidak terlihat.
Gedoran keras berbunyi lagi, Papa menyahut. Dengan ringan, Papa membuka pintu, hendak menegur tamu tanpa adab tersebut. Namun, belum sempat Papa membuka suara. Sebuah tembakan meletus dan bersarang di dada Papa.
Pekikan Ruby tertahan di tenggorokan. Mukanya sudah seputih salju. Seorang berbaju serba hitam dengan penutup muka berwarna sama, menodongkan pistol ke arah Papa.
Papa yang terjungkal, memegangi dadanya. Ia membelalak melihat penembaknya. Tamu tidak dikenal itu kembali menembakkan satu peluru lagi ke arah Papa dan berlari keluar, melompat ke motor yang masih hidup dikendarai komplotannya.
Gerungan motor itu meninggalkan Ruby yang jatuh terduduk. Ia merangkak menuju Papa. Kakinya terasa lumpuh seketika.
Darah menggenang di ruang tamu. Papa megap-megap seperti kehabisan oksigen. Otak Ruby mendadak tumpul, untuk berpikir saja ia tidak mampu. Inginnya membopong Papa pergi secepatnya, tetapi ia tidak bisa menopang Papa dengan kelemahannya ini.
"Pa... Papa." Ruby memeluk Papa. Ayahnya itu masih bernapas. Ruby panik harus berbuat apa lebih dahulu. Sial! Kenapa dia tidak ambil ekskul PMR saja?! Ia tidak tahu tindakan pertama pada kecelakaan seperti ini.
Tangan Papa naik ke arah pintu, menunjuk ke arah luar. Ruby menoleh, tetangga yang tadi mengintip sekarang sudah ada yang berani mendekat.
"Toloooong," pekik Ruby semampunya. Ia berlari ke luar, berteriak sebisa kekuatannya. "Toloooong."