Saya tidak mengizinkan kamu masuk lebih dalam, tapi kamu selalu berusaha dan saya tak sanggup menolaknya
"Gue nggak ada izinin lo masuk lebih dalam." Ruby mengingatkan tamunya yang sudah berada di ruang tengah. Tangan cowok itu memegang foto Mama. Foto yang tidak pernah digeser sesenti pun posisinya.
"Ini siapa lo?"
"Nyokap gue." Ruby melipat tangan dan kembali defensif. Tatapannya meruncing, bisa untuk memotong tomat sekali pun.
"Hah?!"
Rimba memandangi foto wanita yang tersenyum ramah berbingkai kayu kekuningan khas jati belanda. Sosok berkebangsaan Rusia yang diketahuinya pindah kewarganegaraan ke Indonesia, kemudian mengganti nama menjadi Mentari Mahameru dan lebih dikenal dengan singkatan Mema.
Ia termasuk pengagum wanita itu. Seorang mantan reporter berita, penulis, penjelajah juga aktivis yang konsen dalam isu global. Masih segar di ingatannya saat sekolah menengah dahulu, berita tentang seorang ibu yang membawa anaknya mendaki seven summits. Deretan gunung tertinggi di tujuh benua yang ada di dunia. Yang Rimba baca, Mentari Mahameru diantara kesibukannya sebagai penulis dan aktivis, tetap ingin menuntaskan pendakian tujuh gunung tersebut bersama anak perempuannya.
Dan, ternyata anak perempuan itu adalah Ruby. Jantung Rimba terasa tersetrum. Cewek yang dikiranya hanya anak rumahan dengan hobi mendekam di dalam kamar, berselimut dan berpendingin ruangan. Tidak ada tampang pendaki atau penjelajah sama sekali!
Kalau saja tidak ada deretan foto Ruby kecil dengan wanita itu, tentu Rimba tidak percaya. Tetapi jejeran gambar di hadapannya ini bukti nyata. Macam-macam pose, mulai dari Ruby digendong di dalam tas saat ekspedisi.
Sampai dengan mereka berdua sama-sama berjalan dan menggendong carrier masing-masing. Foto terakhir bertuliskan tahun 2015.
Buang Rimba ke Digul saja, Tuhan! Di tahun itu, Belantara Rimba bahkan belum mendaki gunung.
Rimba merasa kalah. Betapa tidak, Ruby pernah menapaki gunung yang sampai sekarang hanya berani dimimpikannya saja. Ia belum mendapat restu berangkat ke sana, apalagi mental dan fisiknya juga belum cukup tangguh untuk ekspedisi ke puncak berselimutkan es abadi. Sedang Maneken Hidup ini pernah berdiri menjulang pada titik tertinggi di benua tersebut.
Sebuah tangan menahan lengannya. "Gue izinin lihat, tapi jangan dipegang, jangan tergeser satu milimeter pun."
Dengan tenggorokan yang mendadak seret, Rimba memastikan kembali penglihatannya. Berjalan menelusuri foto-foto yang ada. Siapa tahu semua ini hanyalah foto editan? Kan sekarang lagi zaman.
Kakinya berhenti pada foto bertiga dan Ruby terlihat makin remaja. Benar! Ruby adalah anaknya Mema.
"Lo? Anak Mema?" Kali ini Rimba benar-benar memindai inci demi inci sosok Ruby. Setitik freckles pun tidak ingin ia lewatkan.
Maneken Hidup itu masih bersedekap. "Kenapa?" balasnya datar.
Oh, dia tanya kenapa? Rimba ingin mengumpat keras. Mema adalah sejarah dalam dunia pecinta alam Indonesia. Seseorang yang selalu membagikan api semangat kepada sesama kaum wanita, dan mengajak anak-anak muda untuk mengenal dunia. Semua buku Mema juga menjadi koleksi Rimba. Tulisannya tajam, pedas dan menyentil. Namun, gamblang apa adanya.
Setahun yang lalu, kabar tentang Mema yang Rimba tahu adalah kematiannya dalam insiden hilang sebuah pesawat di Laut Tengah.
Rimba mengernyit heran pada Ruby, kok tidak bilang kalau ibunya meninggal kepada pihak sekolah? Bukankah setahun yang lalu, saat kelas sepuluh, mereka juga sekelas?
"Kenapa lo nggak kasih tau nyokap lo meninggal sama sekolah? Kan kejadiannya waktu kita kelas sepuluh."
Ruby duduk di kursi kayu yang ada. Kursi sederhana dengan sedikit lengkungan gaya lawas. "Supaya?" tanya cewek itu kepadanya.
Supaya pancen oye! Astaga! Rimba sudah ingin mengutuk. Bukan hanya rumah bertegel kunci ini saja yang unik, pemiliknya juga sama ajaib.
Hanya tarikan napas Rimba yang menjawab pertanyaan paling aneh sedunia. Ada ya cewek yang tanya apa maksudnya ketika teman peduli tentang berita keluarga dia?
Rimba membalikkan badan, menipiskan jarak. "Supaya tahu, gue pengagum Mema soalnya," bisiknya tipis di samping Ruby. Ikut duduk di samping cewek itu. "Kalau tahu Mema nyokap lo kan bisa minta tanda tangan di buku gue."
Mereka menghadap ke pintu yang terbuka. Angin yang datang membawa gerimis sebagai pertanda. Tak lama, hujan turun dengan lebat, menghalangi Rimba untuk pulang. Semesta seperti memberi kesempatan baginya untuk duduk, menikmati sepoci teh mint bersama. Bertukar cerita yang dahulu tidak pernah ada.
"BTW, Liv bukannya lo nggak mau bawa kendaraan kalau belum tujuh belas tahun? Kenapa tadi mau?" tanya Rimba sembari meneguk isi cangkir.
Ruby mengisi kembali cangkir Rimba yang sudah kosong. Ia tidak berminat menjawab tetapi Rimba masih menanamkan pandangan kepadanya, menunggu jawaban. "Ada deh."
"Nggak konsisten juga lo," sindir Rimba sambil mengulum senyum.
"Atas dasar apa nuduh gue begitu?" Ruby meneguk tehnya dengan air muka keki.
"Ya bener, 'kan? Belum tujuh belas tahun tapi ..." Picingan mata Rimba menyudutkan Ruby.
"I'm officially seventeen," potong Ruby cepat. Tidak enak sekali rasanya dituduh tanpa tahu fakta yang benar. Toh, ia memegang teguh prinsipnya.
Dengan tiba-tiba, Rimba menggeser badan, menghadapnya. "Really?"
Rambut kecoklatan itu bergerak karena kepala Ruby terangguk.
"Today?" Rimba memastikan ulang dengan membuka ponsel dan mencari sesuatu. "Oh, lo nggak main FB, ya? Pantes nggak ada di notifikasi."
Facebook? Rasanya Ruby ingin meledakkan tawa, tidak pernah dan tidak akan pernah dibuatnya akun itu. Tidak hanya itu, Ruby juga tidak memiliki Instagram. Bukan karena Facebook dan Instagram satu perusahaan, bukan! Ia sama sekali tidak ada tendensi dengan Mark Zuckerberg. Kenal saja tidak, boro-boro mau diangkat jadi anak.
Tidak suka menampilkan diri itulah Ruby. Lebih nyaman berada di balik tulisan di Twitter, berselancar dari blog ke blog, sesekali membaca pendapat orang di Quora atau ulasan buku di Goodreads.
"Liv, selamat ulang tahun!" Rimba menghidupkan lilin kembali dan menyodorkan ke arahnya. "Make a wish!"
Beberapa saat, Ruby mematung. Ada gelombang yang beriak di hatinya. Tidak tahu apa.
"Tiup, woy. Lo bukan Limbad yang dilihatin aja bisa mati apinya." Rimba menyenggol pelan bahu di sebelahnya.
Tangan Ruby terangkat dan bertepuk di atas lilin tersebut sehingga apinya mati. Meski tidak ditiupnya, rasa itu membuncah, bergerak memenuhi dada. Kali ini, selain Papa dan penghuni Dojo, ada orang lain yang mengucapkan selamat atas ulang tahunnya.
Netra Rimba sesekali menyipit, juga melebar. Mereka bicara apa saja dan larut dalam keseruan. Bibir cewek itu bergerak-gerak lucu ketika bercerita. Antusias sekali saat membahas buku milik Mema. Ruby bercerita saat ikut ke hutan Kalimantan kala Mema menulis tentang pembalakan liar dan pembantaian orang utan.
Hujan masih deras dan mengurung Rimba di sini. Seperti disengaja Sutradara Kehidupan, membuatnya tidak mampu beranjak. Ia sudah menumpang makan dan membaca buku juga.
Berapa banyak lagi tentang Ruby yang tidak diketahuinya? Sepertinya banyak. Seperti senjata, fakta datang membombardir Rimba.
Beberapa kali Rimba melontarkan candaan konyol dan sudut itu juga tertawa, menampakkan keindahan yang tidak pernah Rimba lihat sebelumnya.
Sesuatu yang terus melekat dalam ingatan Rimba sesampainya di rumah. Hal aneh yang membuka lebamnya tidak terasa berdenyut. Bahkan Rimba tidak dapat menahan senyumnya sendiri. Yakinlah Rimba bukan gila hanya menjadi sedikit tidak waras saja.
***
"Liv, Olive." Rimba mengejar Ruby dan bersisian dengan cewek itu. Panggilannya membuat Ruby menoleh dan berhenti. "Mikroskopnya udah bener, ntar siang kita ambil, yuk!" ajaknya sambil menarik lengan Ruby agar tidak berada di tengah koridor.
Ruby menatap tangan yang menggenggam lengannya akrab. Beberapa mata yang lewat memperhatikan mereka. "Kenapa nggak lo ambil sendiri aja?" sahut Ruby sambil melepas tangan Rimba dengan santai.
"Ya kali, Liv. Kan musti dipegangin kotaknya. Lagian kan lo yang bikin rusak gitu."
Manik cokelat yang membulat itu menyerang ke arah Rimba, membuatnya tersenyum karena Ruby terlihat sangat cantik.
"Asal kalo ngomong," ujar Ruby sambil melirik jam tangan dan mulai berjalan ke arah kelas, meninggalkannya.
Rimba menyusul kembali dengan langkah besar. "Maen tinggal-tinggal aja sih, Liv. Belom selesai ngomong juga. Dasar Olive."
Rimba menarik pelan rambut ikal nan halus yang belakangan sering ditatapnya dari belakang.
"Kalo gue ini Olive, berarti lo Brutus." Ruby mencebik. Brutus cocok untuk Rimba yang selalu mengganggu ketentramannya.
Rimba tertawa, giginya berbaris rapih. "Terus siapa Popeye-nya?" tanyanya ingin tahu.
"Ada deh," sahut Ruby sambil memasuki kelas. Ia mengekori Ruby dengan senang hati.
Beberapa ledekan datang dari penghuni belakang, melihat mereka berdua datang bersama. Ruby sudah duduk di bangku dan bersiap untuk pelajaran pertama. Rimba juga sudah duduk di belakang Ruby, masih menilik rambut yang menggemaskan itu.
"Liatin terus, Rim. Liatin terus, sampe gosong!" Ledekan Zikra dari pojok belakang mulai mematik.
"Lagaknya aja dia nyumpahin Untung yang nantangin DoD, padahal seneng gitu. Bisa modus sama Olive," tambah Nanda yang duduk di sebelah Zikra.
Rimba sudah membeliak kepada orang yang berbicara. Ia duduk di meja agar bisa melihat yang lainnya. "Bangsul! Terusin, terusin. Gue tontonin."
"Seneng diledekin, seneng."
Penghuni belakang tertawa. "Jadi? Sudah sampe mana sama keindahan surga yang terperangkap dalam dunia fana?"
Beberapa dari mereka melihat interaksi Rimba dengan Ruby saat di koridor. Hal aneh yang tidak pernah tampak di sekolah.
Rimba ikut terkekeh sambil mengumpat. Harga dirinya dipertaruhkan karena Dare or Dare terkutuk. Syukurlah, Ruby tidak membahas itu ketika bersamanya Sabtu kemarin.
Guru pelajaran pertama belum datang. Ejek-ejekan masih menggaung. Untung bahkan duduk di samping Ruby dan mengajak cewek itu mengobrol. "Liv. Gimana Rimba, Liv?" tanyanya sambil melepas penutup telinga Ruby.
Sebelum Ruby menjawab, Rimba langsung menepis tangan Untung dengan kasar dan menarik Untung untuk kembali ke tempat duduknya. "Jangan diganggu!"
Kor 'cieeeee' lalu membulat. Makin menyoraki Rimba dengan menghubungkan unggahannya beberapa hari lalu.
"Dia boleh ngeganggu Olive, kita nggak boleh. Sa ae lo ya, Rim." Nanda meledek tak henti.
"Mampuslah si Rimba. Dulu musuhan sekarang demenan. Mampus! Mamam tuh pupus." Zikra masih saja memanas-manasi dan memanggil Ruby, "Olive, oh Olive.."
Saat Ruby menoleh, mereka masih cengar-cengir termasuk Rimba. Ia palingkan muka dan kembali memasang earphones. Ruby lanjutkan mengetik di ponselnya dan tidak peduli dengan sekitar. Ledekan seperti itu ia hindari, jika tidak mukanya akan seperti tomat busuk, dan hanya akan menambah intensitas sindiran saja.
"Cian deh Kakak Rimba. Sekalinya suka cewek dikacangin. Orang apa martabak, Rim? Kok pake kacang?"
Seekor nama hewan terlontar luwes dari mulut Rimba. Menyulut ledekan-ledekan yang lebih dahsyat lagi.
"Mulut apa kotak sampah, Rim? Kotor amat!"
Rimba membalas tidak terima. "Lagian lo mancing perkara."
"Ya kalo lo bukan ikan, harusnya nggak kepancing dong," sahut yang lainnya.
"Bangke!" hardik Rimba sambil melempar bola kertas.
Tak lama, sahut-sahutan itu mereda tanda guru fisika sudah masuk. Ruby mematikan pemutar musiknya dan mulai mendengar Pak Iksun menjelaskan.
***
Belantara Rimba: Posisi?
Ruby Andalusia: 06º 10' LS 106º 49' BT
Belantara Rimba: 😪😪😪
Belantara Rimba: Serius gw
Ruby Andalusia: duarius!
Belantara Rimba: Bodo, lip. Bodo!
Ruby Andalusia: iya deh yang pinter.
Belantara Rimba: kalah mulu ngomong sama lo. Lama gak?
Ruby Andalusia: lama kyknya. Lo ambil mikroskopnya sendirian aja ya. Gw masih disuruh ngehadep Pak Iksun.
Belantara Rimba: Ngapain?
Pesan terakhir Rimba bahkan tidak dibaca kembali oleh Ruby. Centang dua biru belum terlihat di sana, Rimba berdecak kesal. Perutnya sudah lapar dan tadinya, ia ingin mengajak Ruby makan bersama.
Belantara Rimba: Gw tunggu aja
Rimba menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi. Sebagai orang yang selalu merencanakan dan mengeksekusi sesuatu dengan target sempurna, hal-hal mendadak yang merusak rencana sangat mengesalkan bagi Rimba. Ada urusan apa Pak Iksun dengan Ruby? Apa olimpiade? Oh, iya bulan-bulan ini memang waktunya penyaringan siswa olimpiade. Ia sendiri didaulat Bu Hartini untuk mengikuti olimpiade biologi.
Jadi, apa Ruby ikut olimpiade fisika? Jika iya, rasa kagum Rimba akan naik satu tingkat lagi kepada cewek itu.
Bahunya terasa ditepuk pelan dari belakang. Sebelum Rimba menoleh, Ruby sudah di samping. "Lo nunggu?"
"Terus kalo bukan nunggu lo, ngapain gue di sini?" tanyanya retoris. Ruby hanya mengedikkan bahu.
Mereka berjalan menuju parkiran, kendaraan sudah lengang di sana. Leher Ruby berputar mencari sesuatu tetapi parkiran motor sudah kosong.
"Cari apa?" Rimba kembali bertanya sambil mengeluarkan kunci. Membuka pintu penumpang dan mempersilakan Ruby masuk.
Ruby menatap Rimba heran. Rimba bawa mobil? Kalau dia bawa mobil, mengapa masih memerlukannya? Bukannya kotak mikroskop bisa ditaruh di jok saja?
Rimba mulai menjalankan mobilnya menuju Pasar Pramuka. Ruby memasang sabuk pengaman lalu melirik Rimba. "Seat belt-nya dipake," ujarnya mengingatkan.
Rimba menarik sabuk pengaman miliknya. "Pasangin," pintanya membuat Ruby melirik malas. "Pasangin atau gue nggak pake nih?"
Ruby berdengkus kesal. Tangannya meraih lempengan besi di sebelah lalu memasangkan ke sarangnya. Beberapa kali, ia hanya mengomentari singkat omongan Rimba. Rasanya, makin lama, Alas Roban ini makin tidak jelas saja.
Coba dipikir, Rimba mengajaknya untuk memegang mikroskop tapi ternyata bawa mobil. Cowok itu bisa pasang sabuk pengaman sendiri tapi minta dipasangkan. Lalu memaksa makan siang karena lapar tapi tempatnya cukup jauh. Kesambet apa sih dia?
Ruby memandang ikan-ikan yang berenang bebas di bawahnya. Mereka duduk di sebuah pondok yang ada di atas kolam. Sembari menunggu pesanan, Ruby menabur makan ikan dan tak berkedip melihat bagaimana hewan berinsang itu berebut makanan.
"Nenangin, ya?" Rimba ikut duduk di sampingnya, meraih makanan ikan dan melemparkan ke kolam. "Ngelihat ikan gini bisa jadi terapi buat alzheimer, hiperaktif atau autis."
Meski tidak dijawab Ruby, sosok itu terus bercerita. "Gue sering ke sini kalau suntuk dan nggak bisa kabur ke gunung," aku Rimba. "Lumayanlah hilangin stres."
"Lagak lo udah kayak yang paling banyak pikiran aja," komentar Ruby tanpa memalingkan mata dari ikan mas koi yang berwarna-warni.
"Banyak pikiran karena punya otak." Rimba memberi alasan konkrit.
"Jadi, yang nggak banyak pikiran bisa dibilang nggak punya otak?" Ruby menyimpulkan kalimat Rimba. Cowok itu lantas terbahak-bahak dan menutupi mulutnya yang tak mampu diam dengan telapak tangan.
"Di KIR kalau ngerjain makalah dari bab satu langsung ke kesimpulan ya? Mudah bener nyimpulin." Kekeh Rimba masih bersisa. Ia menarik pelan surai ikal Ruby yang menggantung di atas bahu. "Lo tuh sekalinya ngomong, pengen gue bungkus bawa pulang."
"Karet satu atau karet dua?" Ruby masih memasang muka datar, kontras dengan Rimba yang sedari tadi bereaksi.
"Karet dua lah. Pedas soalnya, kadang-kadang malah beracun," jawab Rimba.
Makanan sudah datang, Ruby bangkit dan kembali ke meja. "Itu cuma cara untuk melindungi diri," sahutnya pelan.
"Hmm.. Sejenis autotomi, mimikri atau kamuflase?" Rimba menyusul Ruby ke meja dengan tertawa lagi. "Hewan dong lo?"
"Bukannya kita semua hewan? Spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi." Ruby menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Rimba menuangkan lauk lagi ke piring Ruby. "Homo sapiens," gumamnya.
"Homo economicus, homo mensura, zoonpoliticon."
"Homo faber, homo ludens," tambah Rimba sambil mengunyah.
"Dan ... Homo homini lupus." Ruby tersenyum kecil. Berdiskusi dengan Rimba ternyata sangat enak. Seacak apa pembicaraan tetap nyambung. Pantaslah jika cowok ini banyak teman dan perlu Ruby akui diam-diam kalau Rimba memang pintar.
Hari menjelang sore, mikroskop yang direparasi sudah diambil. Mobil Rimba sampai di depan rumah bergaya klasik Jawa tepat pukul lima sore.
"Makasih ya, Rim." Tadi, Rimba kekeuh mentraktirnya sebagai perayaan ulang tahun ke-17. Kotak mikroskop yang Ruby pegang lalu diletaknya di bangku penumpang.
"Liv, boleh nggak kotaknya taruh di bagasi aja?" Rimba lalu menarik tuas di bawah jok dan bagasi mobilnya terbuka.
Ruby mengangguk, berjalan ke belakang untuk menaruh barang yang pernah membuat mereka bermasalah. Namun, alangkah terkejutnya dia saat melihat isi bagasi.
Ada sebuah buku berwarna hijau dengan pita membelitnya. Buku tersebut bergambar manusia, ikan dan juga bus merah. Tinta putih menghiasi judulnya, Semua Ikan di Langit. Tidak hanya itu, yang membuat tangannya berkeringat cukup banyak adalah buket bunga yang sangat cantik.
Berulangkali Ruby coba abaikan penglihatan, menaruh mikroskop di tempat yang tingginya pas sehingga tidak akan berguncang. Ia lalu bergerak hendak menutup bagasi mobil Rimba, seolah tidak melihat apa-apa tetapi tangannya ditahan. Tangan kokoh dengan pembuluh vena yang terlihat itu meraih buket bunga dan buku, mengangsurkan ke Ruby.
"Happy belated birthday. Enjoy your sweet seventeen," ujar Rimba manis.
Tanpa aba-aba muka Ruby kebas, jantungnya terasa mencuat keluar. Sore terasa makin panas dan keringat makin banjir di pelipisnya. Senyum Rimba barusan menariknya jatuh ke tempat aneh yang selama ini tidak pernah dikunjungi.
"Kaku bener kayak disuntik formalin," canda Rimba. Ia menarik tangan Ruby agar menerima bunga dan buku yang sudah disiapkannya. Setelah diterima Ruby, lantas bagasi ditutup dan Rimba pamit pulang.
"Popeye pulang dulu, ya." Rimba kembali menarik pelan ikalnya lalu membunyikan klakson pendek, tanda permisi.
Meninggalkan Ruby yang masih membeku atas kejadian tak terduga. Ia melirik buku dan bunga yang tergenggam. Detak jantungnya masih tidak bersahabat, mengetuk sangat keras.
Ruby bahkan tidak sadar Rimba sudah pergi dari tadi. Terakhir cowok itu bilang apa?
Popeye?! Asdfghjkl!
Pluto, bawa Ruby pergi saja! Ruby malu!