Mendongaklah, supaya kautahu ada yang melampauimu tanpa berusaha tinggi
Tentu saja Ruby punya alasan kuat untuk tidak datang ke pesta ulang tahun Cleopatra. Selain karena ia tidak menyukai perayaan yang berlebihan, hari ini ia akan menjalani ujian kenaikan tingkat Aikido.
Teman sekolahnya tidak ada yang tahu kalau Ruby bisa bela diri. Dan hal itu bukan sesuatu yang perlu diumbar, menurutnya.
Saat masih kecil, Ruby tidak mengerti kenapa Papa memilihkan Aikido sebagai bekalnya mempertahankan diri. Namun, setelah mengenal Aikido dari dekat, Ruby menangkap maksud tersirat dia dimasukkan ke sini.
Seni bela diri Jepang yang dipelajarinya menekankan prinsip kelembutan, bagaimana untuk mengasihi serta membimbing lawan. Prinsip tersebut diterapkan pada gerakan yang tidak menangkis serangan atau melawan kekuatan dengan kekuatan tetapi mengarahkan serangan untuk kemudian menaklukkan lawan.
Aikido memang menekankan harmonisasi dan keselarasan antara energi seseorang dengan alam semesta. Bela diri ini juga yang mengajarkan Ruby berani jatuhkan diri ke bumi, membanting diri, berguling, melompati rintangan.
Sekilas, orang berpikir Aikido mengandalkan kuncian dan bantingan. Padahal sebenarnya tidak juga, Aikido yang Ruby tahu mengajarkan mengelak dan mengunci penyerang sampai tak berkutik sehingga mau tidak mau orang tersebut hanya bisa melepaskan diri dengan cara yang terlihat menyeramkan yaitu terbanting.
Tidak banyak yang tahu bedanya Aikido dengan jenis bela diri yang lain. Bela diri ini bukanlah olahraga kompetisi. Tidak ada pertandingan siapa lawan siapa untuk kenaikan sabuk. Tidak akan pernah masuk pesta olahraga mana pun. Untuk itulah Papa memasukkannya ke sini, Ruby paham Papa ingin ia kuat tanpa merasa hebat.
Hari ini, semenjak pukul sepuluh, Ruby telah tiba di Dojo mengikuti ujian kenaikan tingkat. Ia dan peserta lain memeragakan berbagai teknik yang diminta pengujinya. Ujian berjalan padat sampai siang hari karena selain ada kelas dewasa juga ada kelas anak-anak.
"Yame." Sensei meminta peserta berhenti dan menyelesaikan gerakan. Lalu memberi titah lagi, "Seiza... Mokuso..."
Ruby dan semua rekannya duduk berlutut, diam sesaat sambil memejamkan mata, menyelaraskan pernapasan juga berterima kasih kepada Maha Pencipta.
"Rei." Sensei menitahkan agar saling memberi hormat.
"Arigato Gozaimashita," ujar Ruby dan peserta lain. Mereka berterima kasih kepada semua pengujinya sambil sedikit membungkukkan badan. Jika ujian ini dinilai lancar, maka sabuk biru Ruby akan berubah menjadi coklat.
Di Dojo ini memiliki kebiasaan sehabis ujian, para peserta tidak langsung pulang setelah ujian berakhir. Sensei selalu menyiapkan penganan dan mereka terbiasa menikmati makanan yang ada bersama-sama, bercerita tentang banyak hal.
"By. Selamat bertambah umur. Udah tujuh belas tahun saja," ujar Sensei sambil menyorongkan piring berisi kue buatan istrinya. Dojo ini sudah seperti rumah kedua buat Ruby. Sensei juga dianggap seperti orang tua sendiri, mengingat Papa jarang pulang karena bertugas. "Rencana mau kuliah di mana? Di Jepang aja gih."
Ruby tersenyum singkat dan meraih kue talam yang tersusun. Sembari berterimakasih atas ucapan yang ada, ia juga memikirkan pertanyaan Sensei. Itu mengganggunya, membuatnya hanya kedikkan bahu. "Jepang? Susah ngerti kanjinya. Padahal Ruby udah pelajari bahasa Jepang."
Sensei tertawa sambil menilik murid yang dikenalnya sejak umur empat tahun. "Di sini kita kan sering pakai bahasa Jepang?"
"Coba huruf kanjinya diganti aksara Jawa." Ruby mulai berandai. Ia sebenarnya suka Jepang apalagi dengan kebudayaannya.
Kepala Sensei kembali terangguk, pria tua itu tertawa. "Jangan nyerah. Ada pepatah bilang, Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China. Kenapa?"
Murid-murid Sensei yang terdiri dari belasan orang dewasa itu menunggu kelanjutannya.
"Jaman Nabi Muhammad dahulu, menuju ke China sangat jauh dan susah. Harus melewati jalur sutra dulu, menghadapi perompak di gurun. Belum lagi lelah, haus dan kehabisan perbekalan. Jadi, Nabi meminta kita untuk terus belajar meski banyak sekali tantangannya."
"Jangan takut jatuh, jangan takut belajar. Jatuh sekali membuat kita jadi belajar, jatuh berkali-kali membuat kita semakin pintar. Tapi, jangan lupa bangkit. Keenakan jatuh terus malah bikin ketiduran," gurau Sensei kepada yang lain.
"Matrasnya enak sih, Sei. Makanya tidur," ujar yang lain diselingi tawa.
"Ah, lo aja itu yang males! Baru jatuh dua puluh kali langsung lemah," balas Sensei.
Peserta lainnya masih sibuk bercerita hal lain kepada Sensei. Ruby yang mengusap handuk di muka, mulai memeriksa ponselnya. Tumben, notifikasi WA grup kelas membanjir dari semalam. Biasanya hanya puluhan, tetapi hari ini sampai ribuan. Mau tak mau, Ruby membuka grup yang pemberitahuannya sudah dimatikan untuk satu tahun ke depan.
SEPATU *11 IPA 1* (1025 messages)
Agusta : Ada Apa dengan Rimba-Ruby? Semua status lo begini, Rim. #Eaaaaakkk
Sesuatu terasa mengentak dada Ruby. Seperti baru saja terbanting jatuh oleh musuh di luar kondisi siaganya. Memang Ruby tidak pernah membuka status WhatsApp orang lain sehingga ia tidak tahu apa-apa.
Jika saja teman sekelas tidak membagikan tangkapan layar atas Snapgram Rimba, tentu saja Ruby tidak akan tahu. Sejak kapan Rimba punya fotonya? Dan status ini? Astaga! Belum selesai juga Rimba mem-bully-nya?
Jempolnya bergerak. Dalam diam, Ruby membaca grup percakapan yang biasanya ramai karena membahas PR.
Mira Z: Jadi, ada apa dengan rimba-ruby?
Untung: 3in!
Zikra: 4in deh!
Nanda: heeeey! Rimba ternyata yaaaa..
Cleopatra: memangnya ada apa rimba-ruby?
Untung: kepo deh Dek Cleo, sini tanya sm Abg.
Cleopatra: πͺ
Nanda: Rim, baca aja ya Rim. Kebiasaan cuma nge-read chat, saat mati jenazah nggak dikubur, cuma dilihat saja.
Belantara Rimba: Bgst!
Untung: cie rimba cie.
Zikra: cie rimba cie.
Nanda: pantes suka ejekin ruby ya?
Belantara Rimba: awas lo @untung @zikra @nanda π½
Ruby menggeser percakapan di layar hingga ke pembicaraan terbawah. Ia lewati ratusan balas-balasan yang ternyata ada semenjak kemarin sore.
Matanya terpaku pada pembicaraan yang barusan dikirim ke grup.
Belantara Rimba: Akhirnya!!! 24 jam jg! Kerjaan @untung itu woy! DoD! Setan lo, Tung.
Untung: π»π»π» Uwuwuwuwu~~~
Zikra: biasanya kalo ada setan lebih erwl gt π₯π₯
Nanda: nah iya ππ
Nanda: eh, @ruby baca. Hai, Ruby. Ini nih @rimba nackal, diem-diem simpen foto ruby.
Belantara Rimba: @ruby becandaan kok, lip βοΈ
Belantara Rimba: @nanda mingkem lo! berisik bgt grup ini dr smlm.
Zikra: woy @rimba jangan kyk orang ogeb sih. Masa gak ngerti cara matiin notif? π€―
Untung: maklumin @zikra si Mbek mah taunya modusin Ruby.
Belantara Rimba: BCT!
Nanda: Rim, gak dibales sm Ruby. Cian! Wkwkwkwk.
Cleopatra: guys, jangan lupa ya dateng!
Cleopatra π location
Tanpa tergerak mengomentari, Ruby pilih menutup percakapan grup. Ia nimbrung pembicaraan dengan Sensei sebentar lalu beranjak ke toilet, mengganti baju.
***
Dengan selesainya urusan mikroskop beberapa waktu yang lalu, Ruby pikir kejailan Rimba akan selesai. Toh, mereka sudah membicarakan kesalahpahaman yang terjadi. Tapi rupanya tidak, cowok itu masih saja menjadikannya objek bercanda.
Ruby bangkit dari tiduran dan membuka laptop. Ia ingin mencari tahu keterangan tentang pengumuman olimpiade sains yang dibacanya di Mading tempo hari.
Bukannya lanjut mencari di mesin pencarian, Ruby malah akhirnya berkutat dengan blognya sendiri.
Kredo
Asing
Dan terasing dalam hening
Kataku, sendiri itu pilihan
Kata mereka, sepi adalah kenyataan
Tak apa-
Setidaknya aku percaya,
Definisi bahagia tidak harus bersama
-Mirah Delima-
Ruby kemudian mengunggah puisi itu ke blognya juga mengirimkan surel ke majalah sekolah. Sebagai salah satu kontributor lepas di buletin yang cetak setiap bulan, nama Mirah Delima sering dinanti-nanti penghuni sekolah. Beberapa teman sekelas juga pernah membicarakan nama penanya tersebut, reaksi Ruby seperti biasa, hanya diam sambil menajamkan pendengaran.
Lampu di langit-langit berkedip dua kali. Tak lama, mati total. Dengan bantuan cahaya laptop, ia meraba letak ponsel. Ruby lalu mencari lilin untuk dihidupkan.
Sial, lilinnya habis. Ruby berjalan ke luar rumah berbekal lampu penerang yang terpasang di kepalanya. Hari sudah malam, sekitar rumah juga gelap. Mati lampu terlihat menyeluruh, membuat suasana seperti kota mati.
Saat Ruby melewati lapangan rumput, terdengar bunyi keributan. Ia tahu, sering kali lapangan itu dipakai sebagai tempat berkumpulnya geng-geng pemuda. Ruby sudah membuat perisai dengan menggelung dan sembunyikan rambutnya di balik topi, juga memakai jaket kebesaran sehingga tidak terlihat sebagai objek menarik untuk mereka.
Lantas, siapa yang sedang terjebak di sana?
Bukan saatnya untuk menjadi pahlawan kesiangan. Bisa saja itu hanya perkelahian biasa antar teman, bukan? Ruby memilih untuk tidak mau tahu seperti biasa.
Sekembalinya dari warung dengan sebungkus lilin, suara pukulan itu masih ada. Terdengar seperti dua arah, penyerang dan diserang sama-sama mengadu kekuatan. Ruby melirik dari bawah topinya, satu lawan lima.
Pertarungan yang menarik, batin Ruby. Terbersit keinginan ajaib dimana ia ingin menonton kompetisi itu dari tempat yang aman. Menganalisis kemungkinan adalah hal yang menggoda bagi Ruby tetapi PR biologi mengingatkannya kalau ia harus pulang.
Ia pun melewatkan tontonan itu. Ruby berjalan menjauhi lapangan, kakinya menendang sesuatu. Kain berbentuk segitiga, berwarna merah. Seperti kain biasa. Namun, logo yang terlihat tampak familier di mata Ruby.
Logo mata angin putih di atas kain merah dengan empat huruf kapital; PSPL. Itu slayer Pasuspala!
Ruby bergegas memungut benda itu. Apa ada tetangga anak Pasupala? pikir Ruby. Sayang, setahunya tidak ada. Rumahnya hanyalah kawasan biasa, bukan perumahan elit atau kawasan mewah lain.
Teriakan dari sudut lapangan membuat Ruby berjengkit. Sambil menunduk, sejajarkan diri setinggi ilalang, ia coba mengintip peristiwa itu.
Mata Ruby membulat sempurna ketika ia melihat motor yang pernah ditolaknya untuk naik. Rimba?
Ruby berusaha menipiskan jarak. Iya, betul itu Rimba? Lah, terus ngapain Rimba sparring sama geng itu?
Tadinya Ruby hanya mau memantau saja. Namun, badannya berangsur tegak kala mendengar erangan Rimba.
"Hoi! Ngapain lo liatin kami? Mau ikutan?!" bentak seorang anggota geng.
Demi pluto yang hilang! Beraninya kok keroyokan!
Anggota itu mendekati Ruby, membuatnya bergeser ke samping. Terlihat tiga orang lain sedang mengepung Rimba.
"Mau sok jagoan lo?" bentak lelaki brewok itu lagi.
Tanpa suara, Ruby berusaha membaca gerakannya. Seorang lain menghampiri Ruby dan hendak memukul, Ruby mengelak ke samping. Karena gagal, orang itu mengayunkan pukulan lagi, Ruby kembali mengelak ke arah yang lain.
"Licin juga lo kayak belut!" desis lelaki kedua yang berperawakan gempal. Dengan geram ia mengarahkan pukulan membabi-buta ke arah Ruby. Dan kali ini, Ruby tidak hanya mengelak. Ia juga mengangkap pergelangan tangan kanan penyerang, memutar telapak tangan dan siku lelaki itu hingga terkunci rapat.
Penyerang terjepit, kuncian di tangannya terasa sakit. Seharusnya sang penyerang jatuhkan saja dirinya, namun lelaki itu malah melawan lagi sehingga ...
Krak!
Lelaki itu berteriak karena tangan kanannya terpelintir dan tulangnya bergeser dari tempurung. Ia jatuh menggelepar di tanah.
Orang yang pertama menegur Ruby lantas naik pitam, ia mencengkram bahu Ruby dari belakang dengan kedua tangannya.
Ruby balas memegang dua tangan yang ada di bahunya. Melangkah ke depan sambil memastikan badan lawan mengikutinya lantas menunduk berlutut. Topi Ruby terlepas, rambutnya terurai.
Bam!
Lelaki kedua itu terbanting ke arah depan, menabrak motor Rimba yang berdiri di sana. Lelaki itu dan motor kesayangan Rimba itu bergelimpang. Korban mengerang keras ketika kakinya robek terkena logam pipih bulat dan bergerigi di roda motor.
Tiga lelaki lain yang sedang berjibaku dengan Rimba lantas berhenti melihat dua temannya kalah oleh seorang perempuan kecil. Sedangkan Ruby sudah berdiri tegak ke arah mereka dengan memasang kuda-kuda.
Mereka bergegas membantu dua rekannya yang terdampar di tanah. Lari tertatih meninggalkannya dan Rimba yang tertelungkup. Ruby menghampiri Rimba yang terlihat kesakitan.
"Elo?" tanya Rimba lirih.
Matanya terbelalak tidak percaya. Ia menelisik gadis berambut ikal yang berdiri di sampingnya.
Gadis itu menjulurkan tangan. "Iya, gue. Lo nggak papa?"
Rimba masih tercengang, bantuan datang tanpa prediksi. Tangan kurus dengan jari lentik itu dihiraukannya. Ia mencoba berdiri sendiri. Namun, nahas. Badannya limbung, ia terjatuh lagi.
Ruby tersenyum tipis dan berjongkok. Ia tahu pemuda berbadan tegap yang terduduk sedang merasakan malu luar biasa. Dengan cepat, ia memapah Rimba menuju motor yang ada. Cowok itu memegangi perutnya, menahan sakit.
Sadar jika Rimba tidak mampu kendarai kuda besi seorang diri, Ruby lebih dahulu menghidupkan motor Rimba. "Biar gue yang bawa," sahutnya pelan.
***
"Pelan-pelan." Rimba meringis. Luka-lukanya sedang dibersihkan oleh Ruby memakai kasa steril. Cewek di depannya itu hanya memutar bola mata. "Pedih," tambahnya lagi.
Cowok yang biasa jemawa di sekolah, terlihat lemah. Syukurlah, ketika tiba di rumah Ruby, aliran listrik hidup kembali. Rimba berkeras tidak mau dibawa memeriksakan diri di rumah sakit. Dasar keras kepala. "Ini cuma pake air hangat. Belum gue kasih alkohol," jawab Ruby seolah mengancam.
Rimba melirik kotak P3K yang ada di atas meja, matanya menatap awas kepada botol putih bertuliskan 'Alkohol 70%'.
Muka dan sekujur badan Rimba lebam kebiruan, sudut bibirnya pecah dan darah terlihat mengering di sana. "Ngapain sih lo tadi di sana? Mau pertunjukan sirkus?" tanya Ruby sarkas. Ia memegang pinset panjang yang menjepit kasa di ujung, kemudian menempelkan kain putih itu ke pinggir bibir Rimba. Membersihkan bercak darah yang ada.
Bukannya menjawab, Rimba malah bertanya, "Lo ... Judoka?"
"Bukan." Darah yang mengerak itu sedikit susah dibersihkan, Ruby menekan pinset.
"Tapi tadi lo banting orang." Syok Rimba masih tersisa. Tidak menyangka seseorang yang dipandang lemah, malah menjadi orang yang menyelamatkannya.
Ruby mengendus aroma yang beda dari badan Rimba, bau etanol. "Lo mabok?"
"Enggak." Rimba menjawab lirih sambil menjauhkan mukanya saat terasa pedih.
"Tapi minum, kan?" Muka yang tadi menjauhi pinset, sekarang malah mendekat. Rasa heran menyeruak di dalam Rimba. Bagaimana bisa anak cupu seperti Ruby mengetahui bau khas minuman beralkohol? Rimba yakin untuk datang ke tempat seperti itu saja Ruby tidak pernah.
Senyum tipis tergaris di muka Ruby. "Gue tahu baunya. Nggak usah kaget gitu muka lo. Biasa aja."
Kasa masih menekan-nekan luka Rimba. Rasanya nyeri saat luka itu dibersihkan. Rimba menangkap tangan Ruby agar cewek itu berhenti sebentar. Ia perlu jeda untuk lukanya.
Mata mereka bertatapan. Bola mata hazel itu membuat Rimba acap kali berpikir kalau Tuhan menuang madu sebagai komposisi saat membuat mata Ruby. Kontras dengan wajah pucatnya. Namun, serasi. Memesona.
"Waktu di tempat Cleo, anak-anak ngajakin."
"Gue pikir, lo orang yang berprinsip." Rimba, Peringkat Satu Pararel yang oh-ternyata-ikutan-minum-juga.
"Gue cuma ngehargain temen," balasnya membela diri.
"Dengan mengorbankan diri sendiri?" Ruby melepas pegangan Rimba dan mulai membereskan peralatan. Ia membawa kembali baskom dan kotak P3K ke dalam rumah.
Saat Ruby meninggalkannya, Rimba mulai meneliti. Rumah dengan batu bata ekspos di bagian luar dan dalam. Ruang tamunya kecil dan simpel, tidak banyak barang. Pembatas ruang tamu dengan ruang di sebelahnya hanya rak yang penuh dengan buku.
Netra Rimba menangkap beberapa buku kesukaannya, dan deretan buku nonfiksi lain. Buku tentang alam, ensiklopedia, sampai buku-buku politik beraliran kiri.
Ada sederet bingkai foto di atas lemari kayu. Matanya berhenti di sebuah foto dan melotot tidak percaya.