"Katakan siapa dia, mba?"
"Bukan siapa-siapa. Mba cuma mau kamu rawat bayi mba, jangan banyak bertanya!"
"Apa dia salah satu pengunjung ditempat kerja mbak? Monster dari club malam juga?"
"Dia bukan monster. Dia orang baik, dia bukan monster... Dia... Hiks--"
Marisha, menangis saat percakapan dulu terngiang kembali. Sempat terlintas bahwa perasaannya hancur, penuh dendam dan ingin mengutuk siapa monster kejam itu. Orang yang dengan berani pergi setelah membuat luka besar.
Andai saja setiap nasihat yang ia lontarkan diterima, diresapi bukan hanya sekedar didengar telinga kanan lalu keluar begitu saja dari telinga kiri. Mungkin kehidupannya sekarang lebih baik. Jauh sangat baik. Tidak akan ada dendam mendalam yang membuat bahunya berat jika ia berjalan. Serta memberikan trauma yang dalam pada dirinya.
Suara hujan menjadi backsound dari perasaan yang ia rasakan sore ini. Setelah pulang dari kantor Marisha menyempatkan diri membeli beberapa keperluan Abiyasa. Mengisi beberapa kebutuhan dapur dengan beberapa bahan makanan. Dan disinilah ia akan berakhir, duduk di kursi balkon dengan secangkir coklat panas sembari menikmati rintik hujan yang membasahi jalanan didepan kompleks rumahnya. Begitu damai dan tenang.
"Abi udah sembuh, gak batuk lagi. Boleh makan es krim?" suara imut itu menginterupsi suasana melankolis yang Marisha ciptakan. Ia menoleh dan terlihat bocah berumur lima tahun itu tengah berdiri diambang pintu sembari membawa benda persegi yang berisi ice cream. Marisha ingat dia yang meminta Bi Ida untuk menyimpan ice cream yang dibawa oleh orangtua Kashaf di lemari pendingin. Kini senyumnya mengembang, kemudian berjalan menghampiri Abi dan berjongkok menyamakan tingginya.
"Abi udah sembuh? Udah gak batuk lagi?"
Anak itu mengangguk, "Iya. Abi hitung ya, satu... Dua... Tiga... tuh kan udah nggak batuk lagi. Bolehkan bunda?"
"Tapi jangan banyak-banyak ya"
"Yeay... Makasih bunda" pekiknya kegirangan.
Abiyasa langsung berjalan kembali menuruni tangga meninggalkan kamar Marisha. Baru saja Marisha akan kembali menuju balkon tiba-tiba suara seperti benda terjatuh membuat ia panik. Marisha segera menuju sumber suara, Abi terjatuh saat akan menginjak dua anak tangga terakhir. Bocah kecil itu menangis dengan posisi tengkurap. Marisha kalap dan segera berlari menghampiri Abi.
"Es krim Abi tumpah bunda... Huwaa.."
Bukannya menangisi memar dilututnya yang terlihat jelas karena hanya memakai celana jeans sepaha Abi justru menyayangkan ice cream yang tumpah dilantai.
"Nanti kita beli lagi ya. Abi jangan nangis, inget mana ada jagoan yang nangis hanya karena es krim. Abi jagoan bukan?" bujuk Marisha dengan mengandalkan jagoan seperti kesukaan Abiyasa sejak masih bayi.
Abi mengusap matanya dan menatap Marisha dengan sesekali masih sesenggukan. "Jagoan! Abi kan sama kerennya seperti Arjuna!"
Berhasil. Abi sudah lupa dengan tangisannya. Marisha mengangkat tubuh Abi yang mulai berat, berbeda dengan dua tahun lalu.
"Arjuna kenopo?" tanya Bi Ida yang sepertinya mendengar keributan dari arah tangga. (Arjuna kenapa?)
"Bi, itu bekas es krimnya tolong dibersihin ya, saya mau mengobati lutut Abi" titah Marisha.
"Nggeh nyonya" (Baik nyonya)
Tangan sebelah kiri Marisha menyanggah tubuh Abi sedangkan tangan kanannya kini memutar kenop pintu kamar Abi. Aroma strawberry langsung memenuhi indera penciumannya ketika pertama kali memasuki kamar Abi. Dindingnya dicat dengan perpaduan warna abu dan hitam dengan beberapa gambar tokoh pewayangan yang bocah itu sukai--Arjuna. Disana juga terdapat lemari khusus, tinggi yang setara dengan Abi memudahkan bocah itu untuk mengambil atau menyimpan robot-robot mainan nya.
Abi dibaringkan ke tempat tidur kemudian Marisha beranjak mencari kotak P3K yang memang ia sediakan di semua kamar. Benda itu tersimpan di lemari bawah nakas yang diatasnya terdapat lampu tidur dengan gambar pewayangan pula. Sedari kecil Abi sudah menyukai hal-hal yang berhubungan dengan pahlawan dari tokoh pewayangan. Alih-alih menyukai pahlawan atau tokoh superhero dari luar negeri Abi lebih suka yang lokal-lokal saja. Marisha berharap hal itu dapat terus berlanjut hingga Abi dewasa, ia berharap Abi akan menjadi anak yang berguna untuk dirinya sendiri maupun sekitarnya.
Marisha perlahan-lahan mengusap lutut Abi dengan kapas yang sudah ia baluti dengan antiseptik.
"Bunda menangis?"
Buru-buru Marisha menghapus jejak air mata yang mengaliri pipinya. Ia kemudian menatap Abi dengan senyum manis yang selalu ia tunjukan. Abi tidak boleh tahu apapun hal yang buruk tentang masa lalunya.
"Bunda sedih kalo Abi sakit"
"Abi gak sakit ko bunda. Tadi Abi nangis soalnya es krim Abi jatuh. Bunda jangan sedih ya, Abi kan jagoan jadi memar sedikit gak masalah bunda" anak itu sangat ceria sekali. Meskipun tumbuh dengan Marisha dan Bi Ida saja tapi Abi tidak pernah kekurangan kasih sayang. Walaupun Marisha merasa takut setiap Abi menanyakan soal ayahnya.
"Bunda gak sedih lagi. Nah, sekarang Abi tidur ya. Biar lukanya sembuh. Nanti bunda siapin makan malamnya biar dibawa ke kamar Abi aja. Ya..."
"Oke bunda"
Marisha menarik selimut hingga menyentuh leher Abi. Tidak lupa ia juga mencium kening anak itu sangat lama kemudian berlalu dari kamarnya.
Marisha menghampiri Bi Ida yang tengah menyiapkan sesuatu di dapur. Ia mengambil botol air dingin dan meneguk isinya hingga tinggal setengah saja.
"Den Abi sudah tidur, nyonya?"
"Sudah Bi" jawab Marisha.
"Nyonya masih mencari keberadaan Ibu Diah?"
"Masih, bagaimanapun mba Diah harus tau kalau Abi baik-baik saja. Dia juga harus bisa menemukan lelaki itu. Saya takut Bi, saya takut kalau nanti tidak bisa menjawab pertanyaan jika Abi bertanya soal ayahnya" ketakutan Marisha masih sama. Ia khawatir bagaimana jika nanti Abi memberontak padanya soal siapa ayahnya, siapa ibunya.
"Sabar ya Nyonya" Bi Ida mengusap-usap punggung Marisha menenangkan. Karena perempuan itu bisa kapan saja menangis hanya karena membicarakan masa lalu kakaknya.
***
Marisha memijat bahunya dan sesekali memutarnya kedepan atau kebelakang demi menghilangkan rasa lelahnya. Ditambah seharian ini pekerjaannya menjadi lebih banyak dari biasanya. Dalam waktu kurang dari satu jam saja dia sudah bolak-balik dari ruangan atasannya untuk mengantar beberapa dokumen penting yang harus ditandatangani.
"Mar, ada Kashaf nyariin kamu didepan" seru Rina-- rekan kerjanya yang kebetulan baru datang dari ruang produksi yang letaknya paling dekat dengan pintu utama.
"Kashaf ?" tentu saja gadis itu kaget jika Kashaf harus mendatangi kantornya. Bukan apa-apa, Kashaf kan bisa saja menelfon untuk bertemu diluar. Lagipula Marisha sangat tahu kalau kekasihnya itu pasti sangat sibuk.
"Iya. Buru temuin dia gih, kayanya penting deh sampe nyamperin segala cie..." goda Rina.
"Ih apaan sih Rin. Ya udah duluan ya, maaf gak bisa makan siang bareng"
"Yo santai aja"
Saat sampai didepan gedung kantornya, Marisha menemukan Kashaf tengah menyilangkan lengannya didepan dada. Pria itu sedang memperhatikan ponselnya hingga tidak menyadari kedatangan Marisha.
"Kamu disini?" tanya Marisha pertama kali. Padahal ia tahu Kashaf disana, Rina yang memberitahunya.
Kashaf mendongak lalu melepas kaca mata hitamnya. Tersenyum hangat kepada Marisha.
"Aku kangen jadi kesini. Sudah makan ?"
Marisha menggeleng.
"Makan diluar bareng aku ya?"
"Iya" kali ini Marisha mengangguk lalu memasuki mobil Kashaf.
Marisha yakin ada yang ingin Kashaf katakan padanya. Bukan sekedar mengajak makan siang. Ia tahu persis sifat pria itu sejak lama. Maka dari itu, meskipun Kashaf bilang dia merindukan Marisha tapi gadis itu tetap selalu waspada akan kata-kata apa yang akan Kashaf sampaikan.
Keduanya duduk berhadapan disebuah meja yang letaknya sangat dekat dengan meja tempat penyimpanan miniatur-miniatur khusus yang menjadi bagian dari arsitektur restauran tersebut.
Sesekali Marisha menatap Kashaf, makanannya dan juga miniatur. Matanya entah kenapa tidak bisa fokus saja pada satu titik. Kentara sekali kalau gadis itu sedang gelisah. Kashaf yang mengetahuinya meletakkan tangannya pada punggung tangan Marisha.
"Kamu kenapa sayang?" tanya Kashaf lembut. Suaranya mampu membuat perasaan Marisha menghangat.
"Kamu pasti ingin mengatakan sesuatu makanya ngajak aku kesini. Mau ngomong apa? kamu mau pergi buat shooting diluar negeri lagi?" tebak Marisha.
Gadis itu berharap Kashaf menggelengkan kepalanya. Tapi nyatanya pria itu mengangguk. Terdengarlah hembusan napas gusar dari Kashaf. Marisha bukannya tidak mengerti dengan pekerjaan Kashaf sebagai seorang sutradara film. Tapi, bagaimana mungkin ia akan menahan rindu lagi setelah baru saja mereka bertemu.
"Maafkan aku. Ini pekerjaan Marisha. Tapi, kamu mau kan kali ini ikut denganku?"
"Tidak bisa Kashaf. Aku harus menjaga Abi"
Mendengar nama Abi disebut spontan tangan Kashaf yang masih mengusap punggung tangan Marisha tertarik lagi.
"Selalu saja Abi. Apa kau tidak mau sekali saja ikut denganku? Aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu lebih banyak Marisha"
"Kalau begitu jangan pergi jauh-jauh. Kenapa tidak membuat film mu disini saja, di Jakarta"
"Tidak bisa Marisha, aku tidak biasa menulis skrip dengan latar lokal. Mengertilah aku Marisha"
"Kamu yang harusnya mengerti aku, Kashaf" Marisha tidak mau kalah argumen dengan Kashaf. Baginya semua perdebatan ini salah Kashaf. Dia tidak rela jika Abi menjadi yang bersalah.
"Baiklah sudah cukup. Kita disini bukan untuk bertengkar. Maaf Marisha aku belum bisa menjadi yang terbaik sebagai pacar. Tapi mau kah kau bersabar jika aku selalu berpergian jauh?"
Mau bagaimana lagi, Kashaf tetap akan pergi meskipun Marisha menahannya.
"Aku akan selalu bersabar. Semoga film mu sukses ya"
"Iya terima kasih sayang"
***
Akhir-akhir ini Marisha jadi sering pulang malam. Ia akan sampai di rumah malam hari. Otomatis tidak ada suara imut Abi yang menyambutnya. Ia juga merasa bersalah karena tidak bisa memperhatikan anak itu. Pasti Abi kesepian karena harus terus bersama Bi Ida.
Marisha juga jadi memikirkan Kashaf yang jarang menghubunginya. Bukannya ia tidak percaya pada kekasihnya itu, hanya saja ia merasa khawatir akan keadaan Kashaf diluar sana. Apa pria itu sudah makan? Istirahat dengan cukupkah?
Hati perempuan memang seperti itu.
Malam itu lain. Marisha pulang dan mendapati Bi Ida yang tengah mengetuk-ngetuk pintu Abi dengan membawa segelas susu dan roti bakar kesukaan anak itu. Padahal sudah jam sembilan malam tapi kenapa Bi Ida malah mengganggu Abi di kamarnya.
Marisha mendekati Bi Ida dan menepuk bahu perempuan setengah baya itu pelan.
"Eh, nyonya udah pulang"
"Iya Bi. Bibi ko masih disini emang Abi belum tidur sampe bawain roti sama susu?"
Kerutan di kening Bi Ida membuat Marisha sedikit cemas.
"Den Abi ngambek dari tadi sore nyonya. Katanya dia gak mau makan sebelum ketemu sama ayahnya"
"Apa?" akhirnya yang Marisha takuti terjadi juga. Ayah Abi, Marisha saja tidak tahu siapa dan dimana pria monster itu.
"Abiyasa sayang buka nak. Jagoan ko ngambek sih, gak boleh gitu ah. Bukain pintunya nih bunda mau masuk. Bunda kangen sama Abi ayo buka"
Ceklek!
Marisha tersenyum Abi membuka pintu kamarnya. Ia meraih nampan dari Bi Ida dan membawanya masuk kekamar Abi.
"Bibi istirahat saja biar saya yang bujuk Abi. Makasih ya Bi"
"Sama-sama nyonya. Baiklah saya ke kamar ya nyonya, kalau ada apa-apa nyonya panggil saya saja. Saya siap membantu"
Marisha tersenyum hangat. Bi Ida memang orang paling baik sedunia menurut Marisha. Perempuan paruh baya itu tinggal dirumahnya dan hanya akan pulang ke kampung halamannya di Solo jika memang mengambil cuti atau ada hari istimewa seperti hari raya misalnya.
"Iyaa Bi"
Setelah Bi Ida dipastikan sudah pergi Marisha menatap Abi yang malah duduk ditempat tidur sambil membelakanginya.
Marisha meletakkan nampannya diatas nakas. Ia pun duduk disisi tempat tidur Abi.
"Abi kenapa ko ngambek? Udah gede ko ngambek? Abi kan umurnya tiga tahun---"
"Lima Bunda" protes Abi langsung memotong kalimat Marisha. Gadis itu sampai tertawa karena sikap lucu Abi yang masih mau memprotes Marisha meskipun dalam misi ngambeknya. Marisha memang sengaja menyalahkan kalimatnya barusan.
"Iya Abi udah gede, udah lima tahun masa masih suka ngambek aja. Cerita sini sama Bunda, ada apa sayang?"
Abi akhirnya mau menoleh dan menatap Marisha dengan raut wajahnya yang menyiratkan kesedihan.
"Abi mau diantar ayah juga ke sekolah. Masa temen-temen Abi bilang kalo Abi gak punya ayah. Kan semua anak pasti punya orangtua kan Bunda? Tapi kenapa Bi Ida gak bisa jawab pas Abi nanya siapa Ayah Abi, Bunda juga. Abi kesel... Siapa ayah Abi, Bunda?"
Dada Marisha sesak sekali mendengar cerita Abi. Pasti anak itu sangat tersiksa harus menjadi hinaan teman-teman di sekolahnya. Dikira tidak punya seorang ayah. Siapa di dunia ini yang tidak memiliki ayah? Tidak ada.
"Abi tau Arjuna tumbuh besar hanya dengan ibunya saja kan? Sama kaya Abi dong, tapi Arjuna gak pernah tuh ngambek kaya Abi"
"Arjuna kan punya ayah"
Marisha mengambil gelas susu diatas nampan dan mengulurkannya kepada Abi.
"Minum dulu. Bunda ceritain ayah Abi pelan-pelan ya"
Abi meraih gelasnya dan meneguk hingga isinya habis lalu kembali menyodorkannya pada Marisha.
"Pinter ya Abiyasa"
"Jadi Arjuna juga jauh dari ayahnya sama kaya Abi?"
"Iya. Ayah abi itu orang yang sibuk, kerjanya jauuuuh... Sekali. Pasti ayah Abi pulang nanti juga"
"Beneran Bunda? Kapan ayah pulang?"
"Kalau Abi sudah besar nanti pasti Abi tau"
Marisha tidak sanggup berbohong seperti ini. Ia sakit melihat Abi mempercayai ceritanya. Baginya Abi adalah sebuah titipan berharga yang Tuhan berikan padanya. Bukan sekedar untuk menutupi aib kakaknya tapi juga menjaga amanahnya.
"Abi tidur ya udah malam nanti telat loh sekolahnya. Mau Bunda dongengin?"
"Mauuuu. Arjuna ya Bunda"
"Arjuna lagi?" alis Marisha terangkat. Abi suka sekali mendengar kisah Arjuna. Sekarang Marisha menghampiri rak buku disamping meja belajar Abi dan mencari buku dongeng tentang Arjuna disana.
*********
Holla... siapapun yg pernah mampir cerita ini aku minta maaf ya. Aku dulu pernah delete cerita ini soalnya mau aku ikutin lomba. Then, karena sudah tidak lolos--uhhhh sedih. So, aku publish lagi disini. Disini ya, bukan di wattpad ko.
selamat membaca dan jan lupa like ya 😘