Padahal Abi ingin sekali bertanya pada Bunda soal foto yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Wajah seorang pria yang menurut Kasih bisa saja merupakan ayah kandungnya. Jika dilihat-lihat pria itu sangat tampan, Abi tidak akan salah jika menganggapnya sebagai ayah. Tapi, ia lupa membawa foto itu.
"Abi cepet banget makannya" ujar Marisha yang masih harus menghabiskan beberapa nasi dan lauk dipiringnya. Tidak seperti piring milik Abi yang sudah habis tidak tersisa.
"Bunda tunggu dulu disini, ada yang mau Abi tanyakan. Sebentar Bunda" teriak Abi menjauhi meja makan dan berlarian menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Bi Ida yang juga sedang membereskan piring bekas makan Abi menatap heran anak itu yang hilang dibalik tangga.
"Kenapa ya anak itu?"
Bi Ida tersenyum kearah Marisha. "Pasti lagi ada yang dimau, nyonya"
Selang beberapa menit berlalu Abi datang kembali dan mengulurkan sehelai foto pada bundanya.
Sontak hal itu membuat dahi Marisha berkerut. "Foto siapa dia Abi?"
Kenapa bundanya tidak mengenal siapa pria di foto itu? Bukannya kata gurunya pagi itu bundanya pasti mengenalinya, jadi Abi yakin mungkin pria itu bukan ayahnya.
"Bunda tidak tau?"
"Tidak tau. Memangnya Abi dapet darimana foto itu?"
"Tadi pagi di sekolah ada ibu guru yang ngasih foto itu sama Abi. Dia bilang bunda tau siapa orang itu. Kasih juga bilang, mungkin saja itu ayah Abi" kalimat terakhir Abi kontan memukul Marisha telak.
"Nama guru itu siapa? Perasaan Bunda tidak kenal guru satupun di sekolah kamu"
Abi menggeleng ragu, dia saja yang sekolah disana sudah satu semester tidak mengenali wajah guru itu. Abi juga yakin bundanya lebih tidak tahu apa-apa.
"Kalo dia bukan wajah ayah Abi, lalu wajah ayah seperti apa, Bunda?"
Marisha menghempas sendok yang ia pegang dan diam mematung memperhatikan wajah Abi yang sarat akan banyak pertanyaan. Marisha tidak bisa menjawab apa-apa karena ia juga tidak tahu siapa pria monster itu.
"Selama ini kenapa Abi tidak pernah tau wajah ayah, Bunda?"
Tangan Marisha bergetar begitupun dengan hatinya. Matanya berubah memerah dan berkaca-kaca siap luruh saat ini juga.
Abi menelan susah payah salivanya untuk menyuarakan semua pertanyaan yang sudah lama bersarang diotaknya. Mungkin selama ini ia akan diam saja, tapi tidak untuk sekarang. Abi sudah cukup besar untuk mengetahui apa yang Bunda sembunyikan darinya.
"Kenapa Bunda selalu diam saja kalo Abi nanya soal ayah? Dimana ayah sebenarnya, Bunda?" nada suara anak itu naik satu oktaf. Menandakan kesabarannya menunggu tiga belas tahun sudah habis.
Tangan Abi menggenggam erat foto pemberian gurunya pagi itu. Meskipun Marisha masih enggan bersuara tapi Abi akan tetap mencari tahu siapa ayahnya. Mungkin ia akan mencari guru itu dan mencari sendiri rahasia orangtuanya.
"Abi tidak pernah melarang Bunda bersama om Kashaf bukan berarti Abi tidak pernah mengharapkan pertemuan dengan ayah. Abi ingin tau siapa ayah Abi, Bunda?"
Marisha berdiri dengan mendorong kuat kursi yang didudukinya kebelakang hingga menimbulkan bunyi keras. Bi Ida yang sedang di dapur saja kontan berlari melihat apa yang terjadi dimeja makan.
"Cukup Abi! Jangan lagi bertanya hal yang tidak perlu kamu tau. Mengerti apa yang Bunda rasakan Abi!" bentak Marisha dengan derai air mata membasahi pipinya.
"Bunda memang tidak sesayang itu sama Abi" lirih anak itu kemudian berlalu meninggalkan Marisha dengan langkah cepatnya menaiki anak tangga.
Bi Ida yang akan menghampiri Marisha terhenti karena majikannya sudah berlari meninggalkan meja makan. Marisha bahkan meraih kunci mobilnya.
"Gusti Allah... Wenehono dalan keluar dingge masalah Den Abi karo bundane" (Gusti Allah... Berikan jalan keluar untuk masalah Den Abi dan bundanya)
***
Akibat pertengkaran semalam Marisha tidak melihat Abi berpamitan padanya pagi ini. Anak itu berangkat sangat pagi setelah meminta Bi Ida membuatkan segelas susu. Karena hal itu Marisha jadi sangat kepikiran soal Abi dan keberadaan ayahnya.
Saat tengah membereskan beberapa dokumen diatas meja kerjanya Marisha tersentak dengan sebuah pesan yang baru saja masuk ke ponsel nya. Pasalnya nama mbak Diah lah yang terpampang saat ini.
Begitu tangannya akan menyentuh benda pipih itu, Rina datang menepuk bahunya.
"Mar buruan ke ruang rapat sekarang, Pak Ridwan udah nungguin tuh"
"Ayo buruan Mar"
Mau tidak mau Marisha mengurungkan niatnya membuka pesan itu karena Rina langsung menarik lengannya menjauhi meja kerja dengan pandangan yang masih sesekali memperhatikan ponselnya.
Selama rapat berlangsung Marisha cukup serius menjelaskan perihal rencana yang diajukan oleh atasannya. Pak Ridwan selaku direktur utama di perusahaan tempat Marisha bekerja memang sangat suka dengan kinerja gadis itu. Marisha sangat cerdas dan bersemangat, karena itulah meskipun pikirannya tadi teracuni oleh sebuah pesan dari kakaknya yang sudah tiga belas tahun menghilang entah kemana tapi Marisha melupakannya hanya karena sebuah meeting.
***
Andai saja bolos bukan kelakuan buruk dan dapat mencoreng citra baiknya mungkin Abi sudah memutuskan untuk meratapi kesedihannya di suatu tempat. Daripada ia tidak fokus belajar karena kepikiran soal pertengkaran dengan Bunda semalam.
Soal foto pria itu? Abi merasa ia perlu mempertanyakannya pada guru yang memberinya kemarin. Tepat begitu bel istirahat menjerit nyaring Abi segera beranjak dari kursinya.
"Lo mau kemana Bi?" tanya Haikal teman sebangku sekaligus sahabat satu-satunya di sekolah.
"Nyari guru yang kemarin"
"Gak ke kantin?"
"Kantin, tapi habis dari ruang guru. Lo duluan aja deh"
Haikal menggaruk telinganya nampak tengah berfikir.
"Ikut lo aja deh. Nanti ke kantin kan pasti? Barengan aja sama gue"
Abi memgangguk-angguk dan mulai berjalan keluar kelas bersama Haikal disebelahnya.
Ruang guru terletak dilantai dua tepat disebelah ruang konseling atau tempat guru BK menginterogasi siswa-siswi bermasalah. Selama perjalanan menuju ke ruang guru Haikal sempat bertanya apa tujuan Abi mendatangi tempat itu. Tapi cowok itu hanya mengatakan Haikal pasti tahu jika mereka sudah sampai disana.
Awalnya Abi bingung akan bertanya pada siapa. Begitu pandangannya tertuju pada Ibu Gina, wali kelasnya saat ini--Abi segera menghampiri perempuan berumur sekitar tiga puluh tahunan itu. Haikal langsung mengekori Abi dari belakang.
Keduanya mencium punggung tangan Bu Gina bergantian.
"Ada perlu apa Abi, Haikal?" tanya Bu Gina.
"Abi mau mencari Bu guru yang kemarin menemui Abi di kelas, Bu. Tapi Abi tidak tau siapa nama ibu itu"
Haikal melirik Abi dan memicingkan matanya heran. Untuk apa Abi mencari nama guru segala.
"Itu disana ada nama-nama guru yang mengajar, pengurus tata usaha dan para pegawai di sekolah juga. Kamu bisa cek disana" tunjuk Ibu Gina pada sebuah papan besar yang tidak jauh dari meja-meja guru.
"Terima kasih bu" ujar Abi dan Haikal bersamaan.
Banyak sekali foto-foto guru pengajar di sekolah Abi. Cowok itu terus mencari wajah yang kemarin menemuinya didepan kelas. Perempuan dengan wajah yang cantik mengaku sebagai gurunya. Tapi Abi dengan konyolnya tidak sempat menanyakan namanya.
"Lo buat apasih nyari nama guru segala, Bi?"
"Ini penting tau Kal. Mending lo bantuin daripada nanya mulu"
Haikal berdecak, "Gimana mau bantuin kalo lo aja gak tau namanya. Apalagi gue yang mukanya aja gak tau, Bi"
Abi melirik Haikal sambil menunjukkan gigi-giginya yang putih bersih.
"Oh... Iya ya, sorry sorry. Ya udah lo bantu doa aja"
Haikal membalas kalimat Abi dengan menepuk bahu sahabatnya itu gemas. Terkadang Abi memang sangat cerdas dalam hal-hal konyol seperti sekarang.
Butuh waktu selama sepuluh menit Abi memindai wajah-wajah guru perempuan di sekolahnya dari papan yang ditunjukan Bu Gina ini. Tapi, Abi merasa tidak ada wajah guru kemarin. Aneh, mana mungkin tidak ada profil guru itu dipapan itu. Atau perempuan kemarin menipunya?
Tapi untuk apa?
Haikal memegangi perutnya yang sudah berseru nyaring minta diperhatikan.
"Bi udah belom nyarinya? Ketemu gak? Laper nih gue"
"Aneh Kal, masa gak ada coba"
"Ya mungkin aja dia guru baru yang profilnya belum ada disini. Tanyain aja sama Bu Gina lagi"
Abi setuju saran Haikal. Mereka berdua kembali menghampiri meja Bu Gina.
"Bu, Abi udah nyari guru yang Abi maksud tapi tidak ada dipapan itu Bu, mungkin saja guru itu masih baru disini. Apa mungkin ibu mengenalnya?"
Bu Gina tersenyum menanggapi kalimat Abi. Meskipun ia tidak mengerti maksud anak muridnya itu mencari seorang guru.
"Tidak ada guru baru Abi. Kalaupun ada profilnya sudah pasti langsung diletakkan disana"
Mata Abi melebar tidak percaya. Kalau kemarin itu bukan seorang guru lalu siapa? Kenapa tiba-tiba datang dan memberikan sebuah foto?
"Ya sudah Bu kami permisi"
Bu Gina mengangguk dan kembali memainkan ponselnya.
Haikal berjalan sambil memperhatikan perubahan raut wajah Abi. Cowok itu terdiam tanpa kata mengabaikan Haikal disebelahnya yang memikirkan banyak pertanyaan.
***
Abi sama sekali tidak tertarik memperhatikan penjelasan guru didepan papan tulis yang tengah menerangkan cara-cara menemukan gagasan utama dalam sebuah kalimat. Iya, siang itu pelajaran terakhir di kelas Abi adalah pelajaran bahasa Indonesia. Cowok itu heran kenapa pelajaran bahasa harus diletakkan di jam terakhir begini, membuat matanya mengantuk saja.
Untuk menghilangkan rasa kantuknya Abi menoleh ke kanan dan kiri memandangi objek lain yang semoga saja bisa membuat kantuknya hilang. Tepat saat ia menoleh lagi kedepan ia menemukan Kasih tengah memegang perutnya dengan wajah yang sesekali meringis karena gadis itu menumpukkan wajahnya diatas meja jadi Abi dapat melihatnya.
"Karena kalian sepertinya sudah tidak sanggup menerima penjelasan ibu lagi, dan sepertinya bel pulang akan segera berbunyi. Jadi ibu sudahi saja"
Terdengar sorakan kemenangan dari beberapa orang dengan keributan-keributan yang ditimbulkan dari kegiatan beres-beres buku yang dilakukan semua penghuni kelas kecuali Kasih dan Abi.
"Jangan lupa baca lagi materinya di rumah, minggu depan Insya Allah ibu kasih latihan. Assalammualaikum"
"Waalaikumsalam" koor semuanya.
Sedetik setelah guru bahasa mereka keluar semua muridpun berlomba mencapai pintu. Tapi Abi masih setia memandangi Kasih yang sedang kesakitan. Ada apa dengan gadis itu?
"Bi, pulang duluan ya" seru Haikal disebelahnya. Abi mengangguk dengan melirik Haikal sekilas lalu kembali fokus pada Kasih. Ia berniat menunggu gadis itu hingga pergi dari tempat duduknya. Tapi, hingga kelas mereka sepi Kasih belum juga beranjak dari sana.
Abi yang mulai curigapun akhirnya berdiri dengan menenteng tasnya disalah satu punggungnya kemudian berdiri menghampiri Kasih.
Begitu sampai pada jarak dua langkah dari gadis itu mata Abi membola.
"Hei cewek kunti, lo berdarah tuh" tunjuk Abi dengan rasa paniknya.
Kasih segera menoleh kesumber telunjuk Abi. Gadis itu menggigit bibir bawahnya seperti sedang ketakutan.
"Lo... Lo sakit? Sampe berdarah-darah gitu. Lo pendarahan?"
Kasih mengambil posisi menghadap Abi dan menjauhkan fokus cowok itu dari rok sekolahnya.
"Jangan diliatin malu tau. Ini itu urusan cewek" Kasih sempat menduga sakit perutnya adalah pertanda ia mendapat tamu bulanan untuk pertama kalinya. Tapi ia sungguh merutuki nasibnya yang malah diketahui oleh Abi.
Kasih menunduk dalam diam setelah beberapa detik membalas ucapan Abi.
"Aduh... Pulangnya gimana?"
"Nih"
Kasih tersentak saat menemukan tangan Abi melingkar dipinggangnya untuk mengikat jaket jeans yang cowok itu kenakan demi menutupi rok Kasih yang penuh darah.
Abi tidak mengerti urusan cewek yang disebutkan Kasih, tapi Abi sangat mengerti Kasih butuh bantuannya kali ini. Meskipun cewek itu sering mengganggu hidupnya.
"Abi... Nanti jaket Abi kena darah gimana?"
"Ya lo cucilah, bego!"
Bibir Kasih mengerucut kesal mendengar penuturan Abi. Baru saja tadi cowok itu lembut padanya, ternyata sifat ketusnya tidak bisa hilang dalam waktu singkat.
"Ayo pulang" ajak Abi mengangkat tas Kasih dan mengulurkannya didepan gadis itu. Kasih segera menerima tasnya dan memposisikan benda itu dipunggungnya.
Mereka keluar dari kelas dengan beriringan, lalu berjalan menuju parkiran. Kasih menunggu Abi mengambil sepedanya dengan memperhatikan cowok itu dari kejauhan. Hari ini Kasih senang sekali bisa pulang bersama Abi yang jika dalam keadaan normal maka Abi pasti langsung meninggalkannya begitu saja. Haruskah saat ini Kasih lompat-lompat sambil berteriak 'berhasil'?
Selang beberapa detik Abi sudah didepan Kasih dan meminta gadis itu naik dibelakang sepedanya. Meskipun berdiri, tapi Kasih rela berlama-lama jika bersama Abi.
"Nggak papa kan kalo lo harus berdiri gini sampe rumah?" tanya Abi sebelum melajukan sepedanya.
Dengan senyuman yang tidak pernah pudar Kasih mengangguk, senang. "Kasih rela ko. Makasih ya Abi"
***
Kasih sebenarnya ingin sekali bisa memindahkan rumahnya keluar pulau atau kalau perlu sampai keluar planet agar perjalanan dan lama waktu berduaan dengan Abi bisa sangat panjang.
Dengan berat hati gadis itu turun dari sepeda Abi.
"Makasih Abi udah nganterin sampai rumah. Abi mau masuk dulu gak ketemu sama dedeknya Kasih?"
"Gak usah. Lo istirahat aja, jangan lupa perban bagian tubuh lo yang berdarah itu"
"Hah?" Kasih kaget mendengar maksud Abi. Mana ada orang memasang perban disaat sedang datang bulan? Tapi Kasih tidak bisa menjelaskan apa-apa lagi pada Abi.
"Gue mau pulang. Jangan lupa dicuci sampai wangi ya jaket gue"
"Abi bawel deh. Iya nanti Kasih cuci ko sampai bersih, wangi dan kinclong tenang aja"
Abi sedikit tersentak mendengar suara ketus Kasih. Baru kali ini gadis itu menjuteki dirinya. Biasanya Kasih hanya akan membalas dengan suara centil.
"Ya udah, Bye!"
Dan Abi memang tidak paham kalau Kasih sedang dalam masa pubernya.