Raden menolak dengan menunjukkan telapak tangan kanannya pada bartender tersebut. Lalu netranya berkeliaran mencari sosok yang harusnya ada disana. Raden masih sangat merasa berdosa jika belum mengetahui dengan pasti jawaban itu.
"Maaf.. Saya sedang mencari seseorang perempuan bernama Diah, apa kau tau?"
Bartender yang sedang duduk sembari menikmati alunan musik keras itu menaikkan alisnya tanda kurang paham. Bukannya kurang paham, hanya saja suara musik ditempat itu lebih dominan dibandingkan suara Raden.
"Apa?"
"Kau mengenal Diah? Namanya Diah, salah satu pekerja disini"
Pekerja? Apakah Raden sudah benar mengucapkan kalimatnya? Ah, itu tidak penting saat ini. Karena baginya Diah tidak bisa disamakan dengan perempuan-perempuan lainnya. Diah adalah satu nama yang melukiskan tentang cinta yang sesungguhnya dari seorang Raden Kalingga.
Bartender itu tampak sedang memikirkan nama yang disebutkan Raden. Kemudian setelah beberapa detik bahunya terangkat.
"Tidak ada nama itu disini. Adanya Dina, orangnya cantik dan..... hmm lumayan. Cari yang ada saja"
Spontan dengusan kecil keluar berbarengan dengan tawa ringan dari mulut Raden. Bartender itu pikir pasti Raden datang mencari kesenangan. Padahal sudah jelas dengan menolak meminum sesuatu berarti maksud Raden lain.
Karena tidak mau berlama-lama ditempat maksiat itu Raden keluar menghampiri mobilnya yang terparkir asal didepan club itu.
Drrt...drrt...
Dering ponselnya menginterupsi pria yang wajahnya dipenuhi beberapa kerutan itu untuk melajukan mesin mobilnya.
"Iya mah" sapa Raden pertama kali.
"Dimana kamu? Sejak awal sudah mamah peringatkan untuk datang menemui Kayla. Kenapa malah keluar malam-malam begini?"
Raden memijat pelipisnya dengan berdecak lelah. Kenapa ibunya selalu memaksa ini-itu kepadanya. Tidak cukupkah semua kekayaan mereka kini? Harus seberapa banyak lagi hingga Raden bisa bebas.
"Inilah alasan kenapa ka Bayu memilih kabur dari rumah. Mamah hanya memikirkan kesenangan mamah semata tanpa mendengar penjelasan anaknya terlebih dahulu---"
"Stop membicarakan Bayu anak pembangkang itu. Tidak bisa melirik Safira kakak kamu? Dia hidup bahagia dengan aturan mamah"
"Aku sudah menikah dan punya istri mah" lirih Raden menghabiskan semua stok kesabaran yang dimilikinya.
"Istrimu sudah mati. Nawang sudah tidak bernyawa lagi. Kau butuh pendamping baru"
"Dan itu adalah perempuan pilihan mamah lagi? Cukup mah, aku sudah lelah"
Raden sudah akan menekan tombol merah diponsel yang masih menampilkan ID caller mamah disana tapi kembali dibuat marah dan kecewa dengan kalimat ibunya.
"Seenaknya kamu bilang lelah. Tidak sadar siapa yang membuatnu sukses seperti saat ini? Ingat Raden! Mamah tidak suka dibantah. Temui Kayla dan susun acara pernikahan kalian"
Raden sangat berharap Tuhan mendengar doanya untuk dipertemukan dengan Diah. Meskipun ia harus menikah lagi, itu harus dengan Diah. Perempuan yang bisa saja hidup dengan buah hatinya. Buah cinta mereka malam tiga belas tahun silam.
***
"Jadi Marisha masih akan menggantung Kashaf sampai bisa mempertemukan Yasa dengan orangtuanya, begitu nak?"
Marisha merasakan lidahnya kelu dan kaku. Sementara disebelahnya Kashaf terus memberinya tatapan tajam seolah pertengkaran mereka kemarin masih diperpanjang hingga saat ini.
"Kalian sudah dewasa. Lebih baik segera melangsungkan pernikahan. Toh, setelah kalian menjadi suami-istri pun Abi tidak akan sendirian kan?" nasihat yang Oma Kirana berikan memang seratus persen benar adanya. Kenapa Marisha sangat takut mendengar pernikahan?
Sungguh Kashaf merasa sangat gerah saat ini. Tapi ia akan menahan kekesalannya jangan sampai keluar didepan ibunya tercintah. Dengan tangan mengepal ia menumpuhkan segala kekesalannya disana.
Dan makan siang bersama ibu Kashaf berakhir dengan keheningan. Setelah menghabiskan waktu berbincang sebentar Marisha izin pamit pulang. Dengan setianya Kashaf mengantar sampai rumah.
Puncak dari perdebatan kembali dimulai. Pasalnya sudah dua hari ini mereka perang argumen. Marisha yang tidak bisa dibantah dan Kashaf yang terus berusaha meyakinkannya.
"Marisha" Kashaf menahan lengan Marisha yang sudah akan masuk kedalam rumahnya.
"Apa lagi? Kau juga akan mengatakan hal yang sama seperti ibumu?---"
"Dengar Mar, kita sudah lebih dari cukup menahan ini semua. Abi juga prioritas ku, bukan hanya kamu. Aku akan membantunya bertemu dengan kedua orangtuanya. Tapi tolong jangan jadikan alasan dirimu mengulur-ulur pernikahan kita"
"Kashaf kamu tidak pernah mengerti diriku---"
Lagi-lagi Kashaf memotong ucapan Marisha.
"Tidak ada pria yang lebih mengerti daripada aku didunia ini. Mar, aku mohon buka pikiranmu. Abi itu keponakanmu"
Marisha mengusap kasar wajahnya.
"Iya, Abi adalah keponakanku. Dia bukan anakku, bukan darah dagingku, tapi dia sudah terlanjur menganggap aku sebagai bundanya. Tugasku adalah membantu mbak Diah menuntaskan dendamnya pada pria monster itu. Pada Raden Kalingga, Kashaf"
"Lalu hubungannya dengan pernikahan kita apa?" tantang Kashaf.
"Abi---"
Marisha melebarkan matanya saat netranya melihat Abi tengah menuntun sepedanya dihalaman rumah mereka, tepat disebelah mobil milik Kashaf.
"Apa ini Bunda?" tanya Abi.
"Oh, Abi sudah pulang"
Abi menstandar sepedanya lalu berjalan mendekati Marisha dan Kashaf yang membeku ditempat.
"Apa Bunda membohongi Abi selama ini?"
"Abi bukan begitu maksud---"
"Bunda katakan yang sebenarnya? Abi ini anak siapa, Bunda?" raut wajah Abi berubah merah. Anak itu tengah marah dan tangisan langsung meluap disana.
"Abi dengar semuanya?" tanya Kashaf memastikan.
"Abi bahkan tau apa alasan Bunda menggantung om Kashaf"
Hembusan napas berat mengalir dari dada Kashaf. Ia tidak pernah bermaksud membuat rahasia Marisha terbongkar. Sungguh ia tidak tahu pembicaraan mereka diketahui oleh Abi.
"Jika Abi bukan anak Bunda, siapa ibu kandung Abi? Apa Abi anak yang terbuang, Bunda?"
"Abi bukan begitu... Abi!"
Abi tidak kuat melihat bundanya menangis. Ia sungguh tidak tega. Dengan ditemani tetes hujan yang masih samar, Abi berlarian keluar rumah sambil menghapus jalan mana yang bisa membawanya kepada orang yang tepat.
***
Raden benar-benar pusing menghadapi sikap ibunya. Berulang kali ia meminta untuk membatalkan soal pernikahannya dengan Kayla. Tapi wanita yang berjasa dalam hidupnya itu malah mengatakan pernikahan akan berlangsung kurang lebih dua minggu dari sekarang. Raden jadi berfikir akan memeriksakan kesehatan telinga ibunya ke rumah sakit.
Dan saat ini gadis muda yang masih berumur 27 tahun itu tengah duduk manis diruangannya dengan menyibukkan pandangan pada ponsel.
Raden mendengus geli, apa yang diinginkan Kayla sampai sabar menunggunya dari selesai meeting.
"Aku memang sedikit kasar, ah mungkin bukan hanya sedikit. Aku memang kasar. Langsung saja kutanya, apa sebenarnya tujuanmu menerima pernikahan dengan seorang duda tua berumur 40 tahun?"
Kayla mengangkat tubuh jenjangnya dan berdiri mendekati Raden dengan senyum mungil menghiasi bibir merahnya.
"Hanya selisih 13 tahun saja tidak masalah. Aku suka seorang pria mapan dan tampan sepertimu"
Jawaban macam apa itu? Dunia sudah benar-benar terbalik, jika semua gadis muda seperti Kayla menyukai duda tua sepertinya maka populasi para jejaka muda pasti akan menurun.
"Jika aku mengatakan kalau aku bukan pria baik apa keputusanmu akan berubah?"
"Mas Raden, lihat dirimu lebih jauh. Seorang pewaris dari 60 persen kekayaan yang dimiliki oleh Bunda Sari yang dermawan dan murah senyum, Raden Kalingga" ujar Kayla meniru headline dari majalah yang beberapa waktu lalu sempat berkunjung dimeja kerjanya.
"Tidak semua tau tentang seorang Raden Kalingga. Pergilah... Aku harus pergi ke Bandung hari ini jadi tidak bisa meladeni omonganmu"
"Kau mengacuhkan seorang dokter spesialis kanker seperti ku? Hinalah dirimu itu, Mas"
Raden merapihkan map-map dari atas mejanya dan berjalan mencapai pintu meninggalkan Kayla sendirian. Tapi ia salah, Raden pikir Kayla akan menyerah tapi gadis itu terus mengekor dibelakangnya.
Raden menoleh sekilas setelah keluar dari lift.
"Kupikir pekerjaan seorang dokter itu banyak. Khususnya untuk dokter spesialis kanker seperti dirimu" ada penekanan disetiap kata yang terlontar dari mulut Raden.
"Aku memang sibuk, tapi untuk calon suami ideal sepertimu semua waktu bisa ditunda. Meskipun sedikit egois, aku lebih memilih menolak pasien kanker paru-paru hari ini demi mendatangimu. Aku rendahan? Murah? Begitukan yang ada didalam hatimu?"
"Kau lebih dari itu. Tapi kau gigih"
"Katakan saja kau menerima lamaran ku, Mas?"
Kayla dan Raden saling pandang begitu berada di pelataran depan kantor Raden. Tiba-tiba hujan turun dengan deras tanpa diprediksi. Mau tidak mau Raden melambai kearah supir pribadinya untuk membawakan payung.
"Antarkan aku kerumah sakit, Mas"
"Aku sibuk, Kayla"
Kayla memutar bola matanya asal. Gadis itu menghentakkan kaki jenjangnya ketanah dengan melipat lengan didepan dadanya.
"AYAH!!"
Raden dan Kayla menoleh bersamaan. Beberapa meter didepan mereka kini ada seorang anak memakai seragam putih-biru yang menandakan usia anak SMP berdiri membiarkan tubuhnya basah oleh hujan.
Terdapat isakan kecil mengiringi kedua bahunya yang naik turun tidak beraturan. Anak itu menangis tapi air matanya tersamarkan oleh air hujan. Sehingga siapapun tidak menyadari luka hati seperti apa yang sedang melandanya.
Raden menoleh kesekitarnya mencari sosok yang anak itu panggil ayah. Tapi, disana hanya ada dirinya dan Kayla. Tidak mungkinkan jika anak itu bermaksud memanggil dirinya?
"Kau punya anak?" pertanyaan itu terlontar dari bibir Kayla.
Raden menatap sinis Kayla dengan kerutan didahinya yang menandakan kebingungan.
Anak itu melangkah hingga berdiri satu langkah dari tempat Raden saat ini. Tangannya terangkat menarik lengan Raden tapi pria itu menepisnya dengan kasar.
"Ayah... Ini Abi anak ayah"
"Anak...ku?"
Abi menangis kencang setelah Raden berkata begitu. Ia seperti seorang anak yang tidak diinginkan kelahirannya. Terlantar tanpa diketahui siapa orangtua kandung yang sebenarnya. Abi terus berfikir kenapa ia dilahirkan jika harus dibuang seperti ini.
"Akh... Siapa Abi? Kenapa tidak ada yang mengenal Abi ya Allah... Kenapa Abi harus hidup jika orangtua saja tidak mengharapkan" teriakan Abi membuat sebagian hati Raden tergores. Mungkinkah? Mungkinkah anak ini?
"Apa anda yang bernama Raden Kalingga? Anda pria yang bunda sebut sebagai pria monster itu? Kenapa anda membuat Abi terlahir?? KENAPA??!!"
Suara gemuruh yang berasal dari langit tidak lagi menakutkan. Tapi suara Abi yang terus menjerit sambil menangis sangat memekakkan telinga Raden hingga mengalir sampai kehatinya. Sakit, siapa anak ini pun Raden tidak tahu tapi ia merasakan kesakitan melihatnya menangis.
"Diah adalah ibumu?"
Kayla spontan menoleh karena Raden menggumamkan sebuah nama. Kemungkinan benar atau tidaknya perkataan Abi akan Kayla terima setelah Raden mengetahuinya.
"Kenapa bertanya pada Abi? Tanyakan pada diri anda sendiri!" bentak Abi dengan suara paraunya. Akibat teriak-teriak karena bertengkar dengan Marisha pita suara Abi jadi lelah.
"Mas Raden katakan sesuatu? Kau mengenal anak ini?"
Raden tidak menjawab tapi tatapannya memerah dan itu cukup memberikan jawaban untuk Kayla.
"Jadi ini rahasia seorang Raden Kalingga? Sangat mengejutkan" ketus Kayla lalu pergi menuju mobilnya meninggalkan Raden yang masih terpaku dengan kenyataan.
"Kau anak... Ku?"
Abi mengusap pipinya kasar. Tetes air yang berasal dari ujung rambutnya mengenai telapak tangannya yang menengadah. Telapak tangan yang selama ini ia harapkan dapat merasakan sentuhan hangat seorang ayah. Abi sangat mengharapkan itu, sambil menangis kencang Abi mengulurkan kedua telapak tangannya ke arah Raden.
Diah... Apa kau bermaksud memberiku kejutan?
"Kata bunda, Anda adalah ayah Abi. Tapi jikapun Anda bukan ayah Abi, maukah Anda memegang telapak tangan Abi? Abi kedinginan... Abi butuh kehangatan---"
Raden langsung merengkuh tubuh Abi dalam dekapannya tanpa menunggu kalimat anak itu selesai. Memberikan kehangatan seperti yang sudah lama Abi rindukan.
"Apa Anda benar ayah kandung Abi?"
Tangan Raden mendarat dipuncak kepala Abi, mengusapnya penuh kasih sayang. Mendengar penuturan polos dari lelaki kecil ini membuatnya merasa sangat bersalah.
Tanpa mereka berdua ketahui, diseberang jalan didepan Raden kini ada sesosok perempuan yang juga ikut menangis seperti mereka.
"Diah...!!"
Perempuan itu tersenyum dalam tangis dan ambruk setelah panggilan Raden bertalu.