Ric : sekarang
Sebelum Ric resmi mengeluarkan ketiga anak punk dari Polsek Banyumas, dia menuntut janji agar mereka akan menuruti apapun kata-katanya. Hero, Jul dan Beni menyetujui syarat itu. Ketiganya merasa hutang budi pada Ric yang telah menjamin kebebasan mereka.
Sampai di masjid Ric menyuruh mereka membersihkan diri, memberikan mereka pakaian ganti dan menyiapkan makan siang bagi ketiganya.
“Ada rokok, Kang?” tanya Hero yang selesai lebih dulu, menghampiri Ric yang duduk di pelataran masjid.
“Sudah lama berhenti.” sahut Ric seraya menyodorkan nasi bungkus padanya. “Makan aja itu. Tubuhmu lebih butuh makanan sehat dari asap yang membakar paru-paru.”
Hero tertawa ngikik. Tangannya telah membuka karet pengikat nasi lalu menggelarnya di lantai. Menyuap nasi pertama dengan satu sendokan besar.
“Enak.” serunya sambil mengetuk-ketukan ujung gagang sendok di lantai.
Tak lama kemudian muncul Jul dan Beni. Setelah menerima nasi bungkus jatah masing-masing keduanya turut duduk melingkar membentuk segitiga. Percakapan seru terjadi antara ketiganya. Mereka mengabaikan Ric yang masih setia menunggui acara makan anak-anak seperti mandor yang mengawasi para pekerjanya.
Ric jadi tersenyum melihat senda canda mereka. Sekejap pikirannya melayang jauh kala dia masih seperti ketiga anak punk itu. Kebersamaan yang indah.
“Ada apa tertawa sendiri, Kang?” tanya Beni. “Sudah makan? Maaf kami terlalu lapar hingga tak menawari.”
“Dia itu yang membelikan kita, pasti sudah makan.” balas Hero.
“Betul itu!” Jul ikut berkomentar.
“Beneran?” Beni sangsi.
“Iya sudah,” jawab Ric lalu berdiri menuju mobil setengah gerobak.
Sudah waktunya dia menyiapkan acar mentimun. Tangan Ric telah mencincang mentimun bak seorang chef profesional, irisan wortel tak lupa habis terajam oleh pisau tajam. Selanjutnya tinggal menambah cuka, garam, gula pasir, cincangan bawang merah, cabai rawit dan air secukupnya. Tepat semua bahan telah tercampur adzan Dhuhur menggema di angkasa. Ric menutup baskom dengan plastik bening lalu bergerak menuju masjid.
“Oi kalian!” panggil Ric pada tiga anak yang sudah leyeh-leyeh di teras masjid. “Ambil air wudlu!”
“Buat apa?” tanya Jul.
“Kita sholat bareng,”
“Kami tidak sholat, Kang!” kata Hero terang-terangan. “Kamu saja.”
“Kalian sudah janji akan menuruti kata-kataku kan?” kata Ric berkacak pinggang. “Anak punk pantang ingkar janji.”
“Sok tahu sekali,” terdengar gumaman Hero.
“Ayolah, Bro!” Beni sudah berdiri meski dengan gerakan malas, diikuti Jul yang menjawil lengan Hero.
“Kalian saja.”
Beni dan Jul bimbang sesaat, tapi tatapan tajam Ric berhasil menggerakkan keduanya menuju tempat wudlu. Sebelum masuk masjid, mereka menyempatkan memanggil Hero agar mengikuti ajakan Ric. Sia-sia, Hero tetap pada pendiriannya.
Usai sholat Beni mendekati mobil gerobak martabak. Ric sedang menyendoki acar ke dalam plastik kecil.
“Sudah lama jualan martabak?” tanya Beni.
“Ini masuk tahun keempat.”
“Sini aku bantu, Kang.” Beni menawarkan diri.
“Beneran?” ujar Ric sangsi, meski dalam hati dia senang Beni mau bergerak. Dalam pikiran Ric langsung tergambar rencana untuk ketiga anak itu.
“Iya lah, kalau ada sendok lagi?” Beni melongok-longok perlengkapan Ric.
“Kamu bantu aku mengikat plastiknya saja.” kata Ric sambil memberi contoh.
“Itu sih, gampang. Serahkan pada ahlinya.”
“Ahli apa?” Ric tergelitik dengan ucapan Beni.
“Membuat simpul ikatan, apalagi?” tanggap Beni memperlihatkan deretan gelang dari tali statik kecil. “Tadinya saya jual ke teman-teman, tapi karena sudah banyak yang pandai membuat akhirnya saya pakai sendiri.”
“Ada usaha juga.”
“Demi sesuap nasi, Kang!”
“Dulu saya pernah nge-band untuk mendapatkan uang. Lumayan, setiap manggung dapat honor. Belum lagi jika kaset rekaman kami terjual. Senang sekali rasanya.”
“Wah, ternyata dulu main band juga. Pegang apa?”
“Gitar.”
“Manggung dengan tato ular cobra pasti terlihat keren sekali. Selalu tampil topless dong!”
“Ini saya buat setelah keluar dari band.”
“Kenapa?”
“Beda prinsip, beda pendapat. Dan ternyata prinsipku salah total. Makanya aku tak mau melihat orang lain mengalami hal yang sama denganku. Yah, seperti kalian ini.”
“Bagi orang-orang luar biasa macam kita dunia punk memang menarik ya, Kang.”
“Seperti itulah, aku kenal punk setelah menonton konser mereka.”
Ric akhirnya bercerita awal mula dia jatuh cinta pada dunia punk. Musik menjadi pembuka terjunnya Ric ke komunitas punk. Bersama Reno, Lian dan Erwin mereka bersepakat membentuk Animals Kingdom. Beberapa lagu dan album mereka cukup laris manis di pasaran anak punk. Kabar terakhir yang terdengar Animals Kingdom minus dirinya telah menjadi salah satu band Oi terkenal se-Jateng. Bukan hanya lingkup Yogya saja mereka manggung, sayap Animals Kingdom telah menjajah kawasan Jawa-Bali.
Ric turut bangga dengan pencapaian teman-temannya. Selanjutnya biarlah dia menjalani hidup barunya sebagai penjual martabak. Menjalani dunia punk dengan caranya sendiri. Tetap berkelana mencari kebebasan dengan aturan hidup yang lebih teratur.
Urusan acar selesai berlanjut mencincang daun bawang, alur berikutnya Ric membuat adonan kulit martabak. Setelah Ashar, Ric melaju ke depan alun-alun disertai ketiga anak punk yang tampak enggan mengikuti langkah berjualan Martabak Pwerto Rico.
Tiba di lokasi, Ric segera mengkondisikan anak-anak itu untuk membantunya. Dan selalu saja hanya Hero yang menentang perintah Ric. Melihat Hero yang keras kepala membuat Ric serasa menyaksikan gambaran dirinya kala itu. Ogah diperintah, bertindak semau sendiri, mencari pemuasan diri tak berpikir tentang masa depan.
Ric terus mencari cara mencerabut Hero dari pola pikir yang telah melenceng. Menjadi punk bukan berarti brengsek benar. Menjadi punk berarti punya rasa peduli, semangat juang mandiri dan sikap kritis pada lingkungan.
**
Rembulan telah menggantung tinggi. Ric duduk mendekati Hero yang bersemayam di balik tulisan Banyumas.
“Oi,” sapa Ric. “Kamu boleh pergi, jika tidak mau terdampar di sini bersama tukang martabak.”
Hero mendengus sinis.
“Penyesalan itu selalu datang belakangan, kamu tahu itu?”
Hero menggeleng.
“Yang aku sesalkan bukan karena sekarang hanya menjadi tukang martabak. Justru ini sangat aku syukuri. Kalau aku tidak jadi tukang martabak, mungkin aku sudah jadi bandar narkoba.” Ric memandang langit mencari wajah rembulan yang tinggal separuh. “Mungkin di kepalamu, menjadi bandar narkoba lebih banyak menghasilkan uang dari berjualan martabak. Tapi untung di dunia hanya sementara. Setelah mati semua tidak berarti apa-apa.”
“Kamu ini bicara apa sih?”
“Bicara tentang hidup kawan!” desah Ric.
“Mudah saja, bersenang-senanglah sepuasnya. Setelah mati kita tidak bisa menikmati keindahan dunia. Jangan bicara yang rumit-rumit.”
“Lalu apa rencanamu ke depan?”
“Jalani saja,”
“Jalan seperti apa yang akan kamu pilih?”
“Jalan kebebasan.”
“Apa arti kebebasan bagimu?”
“Seperti hidupku yang kemarin sebelum masuk bui, sebelum kamu mengganggu eksistensi kami.”
“Aku pernah tersesat seperti kamu. Hingga suatu kali aku mendapat pencerahan dari seseorang. Segalanya menjadi tampak jelas setelah itu. Jalan yang aku lewati kala itu ternyata sungguh berbau busuk penuh aneka bangkai bertebaran. Lalu aku coba mengintip jalan sebelah yang ternyata memiliki pendar kesegaran. Aku pun masuk, aroma harum langsung mencubit hidung. Belum lagi berbagai bunga tumbuh indah di sana. Menghangatkan mata. Bukan hanya itu, suara-suara yang terdengar sungguh menyejukkan kalbu.”
“Aku tidak perlu khotbahmu!”
Seolah tak mendengar runtukan Hero, Ric malah asyik mencorat-coret lantai paving dengan menggunakan kapur. Setidaknya ada duabelas lingkaran yang terhubung garis lurus yang panjang pendeknya tidak sama. Ric menggambarnya secara vertikal ke atas. Secara berurutan dia mulai menulisi tiap lingkaran di mulai dari kata dunia bergerak ke atas pada lingkaran berikut terlabel alam kubur, selanjutnya tiupan sangkakala dan kehancuran alam semesta, hari kebangkitan, padang masyar, syafaat, hisab, penyerahan catatan amal, mizan, telaga Rosulullah, shirat dan terakhir neraka-surga.
Ric memandang peta kehidupan yang terdampar di depan. Berpikir mencoba mengingat sudah benarkah urutannya. Atau ada yang terlewat. “Nah, sekarang kita sedang berada di sini.” tunjuk Ric pada lingkaran terbawah, dunia. “Dan di sini adalah perjalanan tersingkat. Kamu lihat kan, betapa jauh jalan kita menuju muara neraka-surga. Di sanalah kehidupan sebenarnya kita nanti. Dan pilihan surga atau neraka tergantung pada persinggahan tersingkat di sini.” Ric mengetuk lingkaran dunia tiga kali.
Hero tak menyangkal kata-kata Ric. Dia memandangi lingkaran dan garis yang mengular di samping kanannya.
“Hidup cuma sekali, jangan disia-siakan.” ucap Ric seraya berdiri setelah menepuk-nepuk pantat menghalau kotoran yang mungkin menempel.
“Ini hanya karanganmu, kan?”
Ric mengangkat bahu. “Aku bukan pengarang, aku tak pandai berimaji sejauh itu. Aku hanya menuliskan apa yang aku tahu dan dapat. Selanjutnya terserah padamu.”
**
Hampir seharian ini Beni sangat giat membantu Ric. Mulai dari membuat acar sampai membuat kulit martabak. Dia terlihat antusias menguleni adonan berwarna kekuningan hasil pencampuran dari tepung, telur, mentega, dan garam seperlunya. Bahkan dia berlatih memutar adonan dan menepukkannya di talenan.
Selalu tak semudah saat melihat. Adonan tak selalu mau lebar ketika mendarat di talenan. Kadang berlipat-lipat, kadang malah kembali menggumpal. Butuh kesabaran demi mendapat keahlian seperti Ric yang telah bertahun-tahun bergelut dengan martabak.
Jul yang melihat Beni berkali-kali gagal tertawa-tawa girang. Beni tak peduli, dia sungguh ingin bisa membuat martabak. Rupanya martabak pertama pemberian Ric senantiasa terngiang-ngiang di benak. Memunculkan hasrat ingin bisa menghasilkan karya martabak sendiri.
Ric tersenyum melihat pertengkaran kecil keduanya berkenaan usaha Beni yang tak dihargai Jul. Kekukuhan Beni demi bisa membentuk adonan siap goreng mengingatkan Ric pada dirinya dulu saat belajar membuat martabak.
Kesan gigitan pertama martabak Naimah yang terasa tebal padat dan gurih memunculkan hasrat ingin terus menikmati sensasi lezat nyaris tak terkatakan. Tapi Ric punya rencana lain untuk dapat senantiasa merasai martabak kegemarannya. Membuat sendiri menjadi pilihannya. Belajar pada si pembuat martabak penggoda lidah menjadi pilihan kedua. Dan tentu saja rentetan tersebut menerbitkan letupan keinginan lain untuk mengenalkan martabak lezat Naimah ke khalayak.
@xies wkwkwk. keren kak idenya.
Comment on chapter Martabak Pwerto Ricobtw mampir juga ya ke ceritaku, judul the story of four boys. ksi krisannya ya kak. trims ^^