Ric : Past
Tiga bulan Ric mendekam di masjid Fatima. Selama itu pula Ric banyak belajar agama baik langsung dari Pak Abu atau melalui buku-buku di Perpus Fatima. Sejak mengenal Tuhan hidup Ric tak lagi gelisah, tak lagi hampa, tak lagi mencari arti kesenangan hidup. Di sini Ric menemukan arti kegembiraan, di sini Ric menemukan ketenangan, di sini Ric menemukan kehidupan yang penuh.
Tapi di usia produktif hati Ric kembali terketuk. Tidak mungkin selamanya dia menjadi benalu menumpang hidup pada Pak Abu. Harus ada cara untuk menghasilkan uang sendiri. Seperti hari sebelumnya setelah selesai mengepel masjid, Ric duduk di teras masjid memandang areal taman yang luas. Lagi-lagi matanya terantuk pada sebuah mobil pick up tua yang masih saja setia berdiri di sana.
Selalu saja matanya menumbuk ke sana seolah mobil pick up hitam itu sedang berupaya menarik perhatian Ric. Namun tak sedikit pun terlintas dalam pikiran untuk menggunakan mobil bak terbuka tersebut sebagai ladang mencari uang. Hingga suatu pagi saat Naimah menyajikan martabak di teras rumah Pak Abu, dan Ric mencomot satu untuk dibawa ke depan sambil menyapu halaman masjid, antara martabak dan pick up seolah menemukan perasaan sehati. Ric merasa mereka berjodoh. Ada keterkaitan antara kedua benda tersebut, meski keduanya dari jenis yang berbeda. Satunya jenis makanan dan satunya merupakan kendaraan pengangkut barang.
Lama Ric menimbang. Dia sama sekali tidak bisa memasak, mungkin keinginan menjual martabak enak buatan Naimah bisa menjadi jalan keluar. Ini akan menjadi sebuah kerjasama bisnis yang sama-sama menguntungkan. Dia yang menjajakan dan Naimah yang memasakkan martabak untuknya.
Saat akan mengutarakan maksud hati tersebut, Ric maju-mundur. Dia pun minta pertimbangan Pak Abu, sekaligus menanyakan tentang mobil pick up yang seolah terlantar di parkiran sebelah kanan masjid.
“Pakai saja, kalau kamu ingin memakai.” kata Pak Abu membuat hati Ric membuncah bahagia.
“Terimakasih Pak,”
“Soal rencanamu, mungkin sebaiknya kamu bicarakan sendiri dengan Naimah. Bukankah dia nanti calon partnermu. Setuju tidaknya tergantung dia.”
“Boleh saya membicarakan hal ini berdua saja.”
“Asal tidak murni berdua dan berada di ruang tertutup.”
“Siap Pak!” Ric menyahut dengan mantap segera beranjak dari ruang makan Pak Abu. Langkah selanjutnya tinggal menuju perpustakaan yang berada di lantai dua.
Naimah terlihat sedang menata kembali buku-buku yang baru kembali dari peminjaman. Seorang anak tampak memilih-milih buku pada sudut lain. Ric sengaja menunggu Naimah di meja peminjaman.
Senyum sumringah tertampil saat Naimah berjalan menghampiri dirinya. Hanya saja mata Nai seringkali hanya sanggup menatap sekilas pada Ric. Seringai yang semestinya berupa senyum selalu tertampil dengan canggung.
“Silakan duduk, Mbak.” ucap Ric menganggap dialah pemilik tempat itu.
Gadis itu menjengit. Duduk dengan ragu-ragu dan tatapan curiga.
“Ada apa?”
“Saya ada ide bagus untuk kita berdua.”
“Apa?” Naimah terbelalak tidak percaya. Sepertinya kata-kata Ric telah menimbulkan salah paham.
“Maksud saya, kita buat bisnis bersama.”
“Bisnis apa?” ketegangan tubuh Naimah meluruh.
“Martabak.”
Naimah menggeleng tidak yakin.
“Ayolah, martabak Mbak Naimah sangat menjual. Nanti Mbak Naimah yang membuat martabak, biar saya yang menjual.”
“Bagaimana caranya?”
“Saya akan keliling pakai pick up menawarkan martabak buatan Mbak Naimah.”
Naimah tersenyum. “Kamu sudah melakukan riset usaha?”
“Maksudnya?”
“Membuka bisnis tidak bisa asal. Kamu sudah perhitungkan berapa biaya operasional menjual martabak. Apalagi pakai sistem keliling, pakai mobil pula. Sepadan tidak dengan biaya bensin yang nanti terpakai?” cerocos Naimah seakan menampar wajahnya. Betapa mentah konsep bisnisnya. Tapi bukankah, seorang pebisnis adalah orang yang berani langsung terjun tanpa perlu banyak perhitungan. Jika terlalu banyak menghitung kapan akan memulai usaha? Hanya mengejar angan tanpa tindakan nyata.
“Dan lagi, bukankah orang-orang akan lebih suka makan martabak yang masih panas. Martabak yang masih fresh langsung dari pan penggorengan.” Naimah masih saja memberi kuliah tentang martabak dari rencana bisnisnya.
“Baiklah, nanti saya pikir ulang.” Ric mengalah sudah berdiri. Ada rasa enggan mendengar kicau Naimah yang menurutnya sok tahu. Memangnya dia pernah melakukan usaha atau bisnis sesuatu. Tentu saja tidak, yang dia bilang hanya omong kosong.
“Kenapa tidak memulai dari gerobak sederhana? Kenapa tidak membuat martabak sendiri saja?” dua pertanyaan dari Naimah menghentikan langkah Ric.
“Membuat martabak sendiri?” hampir saja Ric menghentak mustahil. Tapi senyum tak biasa Naimah mengurungkan urat amarah.
“Kamu bisa belajar, kan? Di dunia ini tak ada yang tak bisa untuk dipelajari. Asal ada kemauan, pasti ada jalan.”
“Jadi saya harus mengambil kursus membuat martabak? Uang saja tidak punya. Tidak mungkin menodong Pak Abu untuk membiayai kursus itu.”
“Aku bisa mengajarimu.” gadis itu yang semula berapi-api berani menatap matanya sontak menunduk kembali. “Dengan Bu Wariska tentunya.”
“Serius?”
“Bahkan bonus tambahan martabak manis.”
Ric manggut-manggut puas. Entah kenapa hari itu Naimah terlihat lebih legit. Maaf, tentu di luar penampakannya yang jauh dari kata cantik atau manis.
“Kapan kita bisa mulai?” tanya Ric tidak sabar.
“Selepas Dhuhur?”
“Oke!” Ric mengacungkan ibu jari. “Oh, bahannya bagaimana?” tanya Ric setelah menyadari sesuatu. Tentu saja untuk membuat martabak butuh bahan-bahan dan bumbu.
“Nanti aku minta ijin Pak Abu minta bahan-bahan yang ada di dapur.” jawab Naimah.
“Tentu, saya juga akan minta ijin pinjam dapur dan isinya.” tambah Ric meringis. “Tapi merepotkan tidak ya?” Ric meminta pertimbangan Naimah.
“Pak Abu bukan tipe orang yang suka perhitungan. Beliau akan dengan suka rela membantu meski tanpa kita minta sekali pun.” terang Naimah yang sudah lama tinggal di asrama Fatima.
“Begitu ya,” gumam Ric. “Pasti suatu saat nanti aku akan membayarnya.” janji Ric yang dikuatkan dengan hati. “Selepas Dhuhur, kan?” Ric memastikan sebelum benar-benar meninggalkan pintu perpus.
“Aku tunggu di dapur.”
“Siap! Wassalamu’alaikum...” Ric berlalu sambil melambaikan tangan.
**
Sampai di dapur Naimah sudah tampak mencuci daun bawang dan bumbu yang diperlukan. Di situ Bu Wariska juga terlihat sibuk meracik sayuran untuk persiapan makan malam.
“Maaf Bu, saya pinjam Mbak Naimah buat mengajari saya bikin martabak.” kata Ric sedikit tidak enak karena asisten Bu Wariska hari ini tidak bisa membantu.
“Tidak apa,” sahutnya. “Asal jangan keseringan.”
“Wah Bu, selama saya belum bisa bakal sewa Mbak Naimah terus nih.”
“Walah, saya bagaimana?”
“Tenang Bu, tidak akan lama.” ucap Naimah yakin.
Ric garuk-garuk kepala tidak yakin.
Langkah pertama Ric belajar mengadon kulit martabak. Ric diberikan baskom sendiri mengikuti gerak Naimah menguleni adonan hingga kalis. Setelah adonan kulit siap, selanjutnya tinggal mengolah isian martabak. Telur bebek, daun bawang, bumbu racikan sendiri tanpa tambahan penyedap. Isian martabak beres. Naimah mulai memanaskan wajan datar, kemudian menepuk-nepuk adonan memutar, menepuk lagi di talenan hingga adonan kulit menjadi tipis.
Membuat adonan kulit mulus sempurna tak bolong-bolong atau mengkerut sangatlah tidak mudah, berkali-kali Ric gagal. Naimah tetap sabar memberi instruksi. Saat menggoreng adonan pun Ric kerepotan. Maklum, baru kali ini Ric masuk dapur berkenalan dengan aneka peralatan masak-memasak.
Percikan minyak tak luput mewarnai tangan hingga meninggalkan luka bakar kecil di mana-mana. Bukan itu saja, gorengan pertama malah terlalu matang alias gosong. Naimah memang punya cara tersendiri mengajari muridnya, dia tidak membantu sama sekali usaha Ric dalam membuat martabak. Dia hanya memberi contoh lalu meminta Ric mengikuti setiap instruksi yang dia katakan.
“Belajar dari kesalahan sendiri, bisa membuat seseorang cepat belajar.” kata Naimah tersenyum kala Ric memandang hasil martabaknya yang tidak berbentuk, ada yang gosong, ada yang isiannya meleber keluar.
“Hmph!” desah Ric tidak berselera. Lama dia pelototi martabaknya yang bertengger di atas meja dapur.
“Coba incipi saja, biar tahu bagaimana rasanya. Kamu bisa membandingkan dengan martabak buatanku.” kata Naimah yang sudah mulai membantu Bu Wariska.
Ric mengambil martabak buatannya dengan enggan. Menyuap ke dalam mulut menimbang-nimbang rasanya.
“Boleh saya ikut mencicip?” Pak Abu melongok ke dapur.
“Silakan Pak,” Ric menyodorkan martabaknya. “Edisi perdana, harap maklum kalau belum bagus bentuknya.”
“Rasa bumbunya pas, cuma ada sedikit sensasi pahit.” Pak Abu tertawa diikuti derai tawa yang lain. “Bagian gosong yang pahit.”
“Bu Wariska, tolong kasih pendapat juga!” seru Ric pada Bu Wariska yang baru saja selesai mencuci beras.
Bu Wariska mendekat sambil mengelap tangan yang basah ke celemeknya. Tanpa sungkan dia mengambil martabak Ric lalu menyuap satu gigitan besar. “Terlalu kering ya, kurang menggigit.”
“Sering saja berlatih, Ric.” kata Pak Abu mengambil martabak Naimah, kemudian berlalu dari arena dapur.
“Makasih Mbak Naimah, Bu Wariska.” ucap Ric mengakhiri pelajaran hari ini. Rasanya tidak enak kalau terus berada di dapur tanpa melakukan apapun. “Saya bawa martabak saya ya, siapa tahu di asrama ada yang mau.”
“Iya, bawa saja.” sahut Bu Wariska.
Ric melangkah dengan satu keyakinan tinggi. Meski kali ini belum sempurna selanjutnya pasti akan lebih baik. Yang penting terus berlatih. Jangan cepat menyerah. Besok siang harus mencoba membuat lagi.
Jika urusan masak martabak kelar. Tinggal mencari gerobak untuk berjualan. Ric terus berpikir bagaimana caranya meminta tolong lagi pada Pak Abu.
@xies wkwkwk. keren kak idenya.
Comment on chapter Martabak Pwerto Ricobtw mampir juga ya ke ceritaku, judul the story of four boys. ksi krisannya ya kak. trims ^^