Read More >>"> When Punkers Fall In Love (Martabak Tandem) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Punkers Fall In Love
MENU
About Us  

Ric : present

Mobil martabak Pwerto Rico hari ini ada yang beda. Depan belakang bak yang tersekat di tengah dengan aneka tulisan menu kini bermuka dua. Sisi lain yang biasa kosong hanya berisi tulisan MARTABAK PWERTO RICO, kini juga bertuliskan menu yang sama. Aneka bahan martabak dan peralatan pembuatan martabak juga tampak lengkap. Seorang koki juga berdiri menanti pelanggan dengan celemek berwarna kuning cerah.

Beni sangat senang saat mendapat pelanggan pertama. Meski deg-degan tapi dia berusaha yang terbaik. Kursus singkat dengan Ric memunculkan percaya diri apalagi setelah di dukung oleh Jul yang katanya bersedia membantu urusan martabak manis. Memang, Ric sengaja menyerahkan semua hasil penjualan martabak bagian Beni murni untuk mereka sendiri. Ric juga mengajari cara memutar modal agar esok bisa berjualan kembali. Jadi dia tidak boleh semena-mena menggunakan hasil penjualan hari ini, bersenang-senang saja. Harus menyisihkan untuk keperluan pembelian bahan hari selanjutnya.

Hero yang semula enggan bergabung setelah mendapat provokasi dua temannya dia menyerah, mungkin agak terpaksa membantu Ric jika ada yang pesan martabak manis.

Ric cukup lega, mulai malam ini dia tidak akan kerepotan sendiri. Jika banyak pelanggan mengantri pada kursinya, dengan halus Ric mempersilakan pelanggan yang baru datang untuk ke balik gerobak. Di sana Beni akan menyambut riang. Sesuai pesan Ric agar menyambut pelanggan dengan ramah, Beni sungguh mempraktekkan semua saran dari masternya.

Menjelang tengah malam saat adonan tinggal sedikit dan pelanggan telah semakin menghilang keempatnya duduk-duduk di balik tulisan Banyumas. Menatap pesawat tempur yang menjulang tak terbang-terbang. Beberapa gelas kopi tersanding di sebelah kaki masing-masing. Kopi yang mereka pesan dari tenda angkringan tetangga jualan mereka.

Beni mulai menghitung pendapatan malam ini. Dia dan Jul tertawa-tawa girang.

“Baru kali ini kita bisa dapat uang banyak.” ucap Jul menepuk-nepuk uang yang telah ditumpuk rapi.

“Jangan lupa sisihkan untuk modal.” Ric kembali mengingatkan.

“Siap Bos!”

“Ini sangat membosankan!” keluh Hero.

“Kalau kamu mau pergi kami tidak akan mencegah.” kata Ric enteng. “Ini hidupmu, kamu sendiri yang menentukan.”

“Aku ingin sesuatu yang menantang.” ucap Hero.

“Membuat adonan martabak, hingga proses penggorengan merupakan tantangan tersendiri.” balas Beni.

“Menuang adonan martabak manis, hingga matang tanpa gosong itu juga tantangan baru bagiku, Bro. Seumur-umur baru kali ini aku mengolah makanan, berurusan dengan dapur.” timpal Jul.

“Itu pekerjaan gampang.” sumbar Hero.

“Oh ya, buktikan kalau memang kalau kamu bisa membuat martabak telor, tanpa bantuan siapa pun.” Beni merasa perjuangangannya tidak dianggap, bahkan diremehkan.

“Aku tidak tertarik.” mata Hero menatap ke arah angkringan nasi kucing.

“Bilang saja kamu tidak bisa.”

“Sudah aku bilang aku tidak minat. Memasak itu pekerjaan perempuan kan?”

“Tapi yang aku lihat, justru di hotel-hotel berbintang chef-nya laki-laki semua lho.” ucap Jul.

Hero terdiam sejenak. “Baiklah,”

“Oke, mari kita beres-beres saja.” Ric memotong diskusi ketiganya. “Besok kita harus bangun pagi, belanja ke pasar.”

“Gelas kopinya mau kamu antar sendiri?” tanya Jul pada Hero yang masih menyisakan beberapa senti air kopi di gelasnya.

Hero mengangguk. Jul segera mengangkut tiga buah gelas lalu mengantar ke angkringan sebelah. Uang yang tadi dia terima dari Ric tak lupa dia bayarkan. Dalam hati Jul berkata, besok mungkin aku bisa gantian mentraktir yang lain.

Beni sebenarnya enggan tutup cepat. Beberapa bahan makanannya masih tersisa. Tapi mengingat waktu telah melewati tengah malam, dia pun segera membereskan sebagaimana Ric yang bekerja sendiri. Hero sama sekali tidak mau membantu. Selepas meneguk tetes terakhir kopinya, dia malah duduk-duduk di angkringan. Entah apa yang diobrolkan dengan pemilik gerobak remang-remang itu.

Setelah semua beres, Jul memanggil Hero mengajak pulang ke masjid. Hero menolak ajakan pulang bersama. Ric membiarkan saja, meski Beni menggerutu tentang ketidakkompakan Hero.

“Mana sikap kebersamaan seorang punk?”

“Sudahlah, kita beri waktu Hero berpikir tentang masa depannya.”

“Aku sungguh merasa masa depanku di sini, Kang. Bareng martabak Pwerto Rico.” ucap Beni.

“Aku sebenarnya juga belum tahu mau ngapain ke depan. Sekarang aku cuma jadi asisten, tapi jalani saja dulu. Siapa tahu nanti menemukan ide.”

“Jadi berapa lama kita di Banyumas nanti?” tanya Beni. “Aku sudah tidak sabar ingin mencoba peruntungan di kota lain.”

“Satu tahun, Ben. Aku target satu kota satu tahun saja. Setelah itu mau kembali lagi atau berputar ke kota berikutnya tergantung sikon.”

“Itu dia Kang, yang saya suka dari martabak Pwerto Rico ini nomadennya. Sesuai dengan jiwa kita.”

Ric tertawa. Dalam hati, tidak yakin dengan pengembaraannya yang telah berjalan lima tahun. Ada saatnya dia harus menetap tinggal bersama seseorang. Berharap seseorang itu adalah wanita yang secara perlahan berhasil mencuri hatinya.

Tiba di masjid yang tidak sampai lima menit, ketiganya melakukan beres-beres edisi kedua. Mencuci semua peralatan kotor. Membersihkan diri, lalu bergelung dengan sarung di sudut teras masjid.

 

**

Adzan Shubuh membangunkan Beni dan Jul. Selalu begitu secara otomatis mereka terduduk saat mendengar suara Ric memanggil orang-orang agar menjalankan sholat Shubuh. Dengan mata setengah terpejam mereka melangkah ke pancuran mengambil air wudlu. Biasanya setelah muka kena air seketika kantuk yang menggelayut sirna. Mereka berdua siap menjelang hari baru.

Namun pagi itu ada sesuatu yang beda. Mereka tidak melihat Hero di tempat biasa memejamkan mata. Hero hilang. Atau tepatnya Hero pergi tanpa pamit. Beni dan Jul mencari ke sekitar masjid hingga mengelilingi alun-alun, tapi nihil.

“Tidak ada di mana-mana, Kang.” lapor Beni pada Ric yang sedang mencuci mobil pick up.

Ric memandang kedua anak yang setengah terengah-engah. Raut muka keduanya terlihat kecewa. Mungkin juga rasa kehilangan turut merambati. Jiwa punk mereka terluka.

“Kita tidak bisa memaksakan hidup orang lain bersama kita. Dia bebas menentukan jalan dan masa depan.”

“Tapi kenapa tidak bilang pada kami.” kini Beni berubah kesal. “Persahabatan selama bertahun-tahun seakan tidak berarti apa-apa baginya.”

“Dia pergi kemana ya?” ucap Jul yang sudah berjongkok dekat ban mobil.

“Semoga langkahnya benar.” kata Ric mengakhiri aktivitasnya mengelap sisa tetes air di badan pick up. “Ayo, kita harus jalan ke pasar!”

Beni dan Jul tampak tidak bersemangat. Langkah mereka gontai mengikuti pijakan mantap kaki Ric. Pasar masih lengang, hanya terlihat beberapa penjual yang sedang menurunkan barang dagangan. Ketiganya langsung menuju lapak sayur langganan.

Ric benar-benar lepas tangan terhadap segala keperluan jual martabak Beni dan Jul. Mereka harus memilih sayuran yang terbaik dan dapat mengira-ngira berapa kebutuhan untuk satu hari. Sebisa mungkin tidak berlebih atau kurang. Ric melatih mereka mandiri.

Beni menyamakan belanjaannya dengan punya Ric. Bertanya jumlah yang harus dibayarkan lalu mengeluarkan dompet siap membayar semua bahan-bahan pembuatan martabak.

“Lho?” muka Beni menjadi pias. “Jul, kamu ambil uangku?”

Jul yang menerima belanjaan dari ibu penjual menggeleng bingung.

“Yang benar Jul!” Beni sudah pasang tampang tidak bersahabat.

“Tenang Ben,” Ric mencoba meluruh bara yang siap menyala.

“Sama sekali tidak.” balas Jul masih santai. “Pakai uangku dulu tak apa.” lanjutnya mengeluarkan dompet dari saku belakang. “Kok kosong?” Jul menunjukkan isi dompetnya yang melompong.

“Biar saya yang bayar semua.” ucap Ric sudah merogoh saku yang berisi dompet. Seketika wajah Ric menyiratkan keterkejutan. Matanya menatap Beni dan Jul tajam.

“Ada apa Kang?” tanya Beni.

“Uangku juga tidak ada.” kata Ric memeriksa semua kartu yang ada. Dan tentu saja, ATM-nya juga menghilang.

“Hero!” Beni mengepalkan tangan.

“Kok tega sih, makan teman sendiri.” Jul meremas rambutnya seolah tidak percaya.

“Jadi bagaimana nih, Mas?” tanya ibu penjual.

“Maaf Bu, kami habis kecurian.” kata Ric. “Kami tidak jadi beli.”

“Bawa dulu tak apa.” ucap si ibu. “Sudah langganan ini.”

Jul meringis mengambil lagi belanjaan yang tadi sudah dia letakkan kembali. “Mak...”

“Tapi,” potong Ric memandang Jul yang langsung cemberut.

“Tak apa, saya percaya kok.”

Ketiganya saling pandang.

Ric ambil suara, “Aku akan ke kota mengurus ATM, jadi mungkin nanti malam kalian saja yang berjualan.”

“Kami tidak ada yang bisa menyetir?” kata Beni minta pencerahan.

“Ah ya,” Ric menepuk jidatnya. “Mangkal mulai sekarang jelas tidak boleh.”

“Jalan depan masjid bisakah?” usul Jul.

“Nanti aku coba tanyakan pada Pak Bandi.” kata Ric menimbang kemungkinan tersebut.

“Jadi bagaimana?” tanya Beni.

“Bu, kami ambil paket belanjaan yang itu saja ya. Tolong dicatat!” kata Ric menunjuk belanjaan yang berada tepat depan Jul.

“Asyik, kita bisa jualan.”

“Kang Ric?”

“Hari ini aku libur, mungkin aku juga tidak pulang.”

“Menginap di masjid Fatima?”

Ric mengangguk. Gerak selanjutnya ketiganya telah melangkah meninggalkan lapak sayur Bu Reti. Ric cukup bersyukur masih ada orang yang mau percaya padanya. Itu menjadi modal dasar membangun usaha agar lancar sentausa.

Tiba di masjid Nur Sulaiman, Ric memeriksa laci uang. Sekali lagi dia mengucap syukur ada beberapa lembar uang pecahan yang memang sengaja dia tinggal masih ada di tempatnya. Setidaknya itu cukup untuk bekal pulang ke masjid Fatima. Sebenarnya bisa saja dia membawa mobil pick up sebagai sarana pulang. Tapi Ric memikirkan Beni dan Jul. Jika mereka tidak jualan, darimana mereka akan dapat uang. Sementara dirinya, Pak Abu masih bisa meminjamkan uang untuknya selagi proses pembuatan ATM dan pengambilan uang manual.  Mungkin Mbak Nai juga bisa membantu. Tidak bagi Beni dan Jul.

Meski pikiran Ric kacau pasca kecolongan hingga habis-habisan, tapi hati Ric merona berdenyaran. Seseorang yang selama ini dia rindu akan terjumpai segera. Sekilas saja tak mengapa, asal bisa sejenak melihat sosoknya yang hingga kini selalu berhasil memenuhi benak.

Ah wanita itu, bisakah dia merebut hatinya. Bisakah dia menjadi teman setia baginya. Bersediakah dia bersama seorang yang pernah hancur jiwa raga. Bersediakah dia menerima uluran tangan seorang yang menggenggam dosa.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    @xies wkwkwk. keren kak idenya.

    btw mampir juga ya ke ceritaku, judul the story of four boys. ksi krisannya ya kak. trims ^^

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
  • xies

    @yurriansan nama martabaknya fiktif ^ ^
    Biar kayak nama martabak yang tenar.

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
  • yurriansan

    nama martabaknya unik, beneran ada kah martabak dengan merek itu?

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
Similar Tags
Menuntut Rasa
272      223     3     
Short Story
Ini ceritaku bersama teman hidupku, Nadia. Kukira aku paham semuanya. Kukira aku tahu segalanya. Tapi ternyata aku jauh dari itu.
Double F
6      3     0     
Romance
Dean dan Dee bersahabat sejak lama. Dean tahu apa pun tentang Dee, tapi gadis itu tak tahu banyak tentangnya. Seperti cangkang kapsul yang memang diciptakan untuk menyamarkan bahkan menutupi rasa pahit serta bau obat, Dean pun sama. Dia mengemas masalah juga kesedihannya dengan baik, menutup pahit hidupnya dengan sempurna. Dean mencintai Dee. Namun hati seorang Dee tertinggal di masa lalu. Ter...
CEO VS DOKTER
4      4     0     
Romance
ketika sebuah pertemuan yang tidak diinginkan terjadi dan terus terulang hingga membuat pertemuan itu di rindukan. dua manusia dengan jenis dan profesi yang berbeda di satukan oleh sebuah pertemuan. akan kah pertemuan itu membawa sebuah kisah indah untuk mereka berdua ?
"Mereka" adalah Sebelah Sayap
1      1     0     
Short Story
Cinta adalah bahasan yang sangat luas dan kompleks, apakah itu pula yang menyebabkan sangat sulit untuk menemukanmu ? Tidak kah sekali saja kau berpihak kepadaku ?
My Reason
11      7     0     
Romance
pertemuan singkat, tapi memiliki efek yang panjang. Hanya secuil moment yang nggak akan pernah bisa dilupakan oleh sesosok pria tampan bernama Zean Nugraha atau kerap disapa eyan. "Maaf kak ara kira ini sepatu rega abisnya mirip."
Run Away
71      5     0     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Perfect Love INTROVERT
90      19     0     
Fan Fiction
Cinta Aja Nggak Cukup!
4      4     0     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Secret Room
256      208     4     
Short Story
Siapa yang gak risik kalau kamu selalu diikutin sama orang asing? Pasti risihkan. Bagaimana kalau kamu menemukan sebuah ruang rahasia dan didalam ruang itu ada buku yang berisi tentang orang asing itu?
Closed Heart
11      3     0     
Romance
Salah satu cerita dari The Broken Series. Ini tentang Salsa yang jatuh cinta pada Bara. Ini tentang Dilla yang tidak menyukai Bara. Bara yang selalu mengejar Salsa. Bara yang selalu ingin memiliki Salsa. Namun, Salsa takut, ia takut memilih jalan yang salah. Cintanya atau kakaknya?