Read More >>"> When Punkers Fall In Love (Datang Bersama Bimbang) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Punkers Fall In Love
MENU
About Us  

Nai : present

Dada Nai sontak mendering-dering. Sempat salah tingkah ketika mata cobranya menatap memancarkan bisa. Sedetik saja memang, karena tatapan itu akhirnya mengarah pada mangsa lain. Jika saat itu Nai tidak sedang duduk pasti lututnya langsung bertekuk mencium lantai.

Si pemilik mata cobra lalu menyisir rak buku pada klasifikasi umum. Dan buku yang paling dia gemari setiap datang adalah buku tentang bisnis dan wirausaha. Tak lama, sekilas saja dia membuka beberapa buku. Merasa tidak ada yang kena dihati si mata cobra berderap ke meja pinjam-meminjam.

“Belum ada buku baru ternyata.” ucapnya duduk tepat depan Nai yang sudah bersemu ungu.

“Belum, bulan ini Pak Abu ingin menambah koleksi fiksi.” kata Nai menunjuk rak yang berdiri tepat sebelahnya.

“Oh, ada rak baru rupanya.” ucap si mata cobra yang melewatkan satu rak itu. Pemandangan lain telah mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang berdiri dekat penunggu perpus.

Penasaran lelaki itu berdiri lalu mengintip punggung buku pada rak berpostur kurus tinggi. Beda dengan ukuran rak yang lain, memanjang dan menjulang.

“Aku belum bisa membaca novel.” ungkapnya masih berdiri depan rak. Matanya tak beranjak dari deretan buku fiksi yang baru dapat dua deret belum penuh.

“Saya memang yang usul. Penghuni asrama putri butuh hiburan cerita-cerita cinta Islami. Tepatnya saya menyampaikan pendapat mereka.”

“Begitu,”

“Tumben pulang.” ucapnya keluar dari topik buku.

“Saya ada perlu dengan Pak Abu.”

“Sudah ketemu?”

“Iya, tadi pagi sudah.”

“Oh,”

Selalu terjadi percakapan singkat bila keduanya tidak sedang membahas tentang buku. Sangat terkesan basa-basi. Dan kadang, ada jeda hening lama, menatap dan bergelut dengan pikiran masing-masing.

Nai menjadi tidak nyaman jika si mata cobra tidak juga beranjak dari sana. Bukan karena dia membencinya, bukan juga karena tidak suka. Sebaliknya, hati Nai serasa mencair sehingga ada kekhawatiran laki-laki itu akan mengetahui rembesan hati yang berwarna merah jambu.

“Hari ini kamu tidak jualan?” tanya Nai bermaksud mengingatkan. Siapa tahu si mata cobra ini lupa. Dengan demikian, dia akan segera berlalu dari hadapannya.

“Tidak,”

Nai, tidak berani bertanya. Dia khawatir percakapan akan semakin panjang. Meski bukan sikap Ric bila suka bercerita banyak hal padanya.

“Sesekali berlibur,” komentar Naimah.

“Baiklah, aku pinjam lain kali saja.” ucap Ric berdiri dari duduk setelah seorang anak terlihat menuju meja Nai.

Nai bernafas lega. Hembusan nafasnya terdengar cukup keras. Ric sempat melirik sejenak. Ada sebentuk perasaan terbuang akibat perlakuan Naimah tersebut. Dia seperti sangat senang melihatnya pergi.

“Dia siapa Mbak?” tanya Siwi mahasiswi yang baru saja masuk ke asrama putri. Kurang lebih baru lima bulan sama dengan jeda waktu kepulangan Ric yang terakhir.

“Ric,” sahut Nai. “Dulu dia pernah tinggal di asrama putra.”

“Berarti sudah lulus ya?”

“Dia bukan mahasiswa. Hanya seorang yang tiba-tiba datang. Tanpa tujuan.”

“Maksudnya?”

“Jangka waktu peminjaman satu minggu.” ucap Nai setelah menuliskan buku tebal berjudul Muhammad. Nai sengaja tidak menjawab pertanyaan Siwi. Dia tak mau membahas lebih jauh tentang masa lalu orang lain.

“Cuma satu minggu?” potesnya. “Eh, tapi ganteng ya.”

“Siwi, aturannya memang demikian. Misal dalam satu minggu kamu belum bisa mengembalikan, kamu bisa memperpanjang. Tentu, dengan datang ke sini dulu.” Nai sama sekali tidak mau berdiskusi tentang Ric dan kegantengannya yang selalu menyesatkan pikiran.

“Ya deh, Mbak.”

Siwi segera berlalu dari hadapan Nai. Lagi-lagi dia mendesah. Kepalanya dia tundukan bertopang pada dua tangan lalu mengusap wajah, ingin segera mengenyahkan bayang Ric si mata cobra yang tiba-tiba datang. Padahal beberapa bulan lalu dia telah berhasil mengusirnya jauh.

Ini salah! Sangat salah. Tidak sepantasnya dia mengagumi seorang Ric. Siapa dia? Mantan berandalan punk yang tobat. Ah, dia sangat tidak yakin tentang itu. Apalagi Ric kini kembali ke jalanan meski untuk berjualan martabak. Hidupnya sungguh teruntai di sana. Sudah lima tahun dia mengembara, setahun sekali kadang pulang kemari, kecuali hari ini. Kalau tidak salah hitung baru lima bulan dia datang, sebelum mengatakan akan mangkal di alun-alun Banyumas.

Dan lagi, dia sama sekali belum menghapus tato kepala dan ekor cobra yang menjuntai di kedua punggung tangannya. Nai sungguh tidak suka laki-laki bertato. Seharusnya dia menyukai pria yang lebih alim selalu menundukkan pandangan, tidak seperti Ric yang selalu terang-terangan berani memandangnya.

Memang, di awal Nai sangat terluka kala mata cobra itu menyorotkan sinar cibiran. Ada yang salah? Batin Nai pernah menjerit demikian. Inilah aku! Sama sekali tidak sempurna. Postur tubuh tak semampai, penampakan wajah pun sedikit ganjil. Tapi ini karunianya, kini aku sama sekali tak menyesali.

Hanya saja, sejak saat itu. Sejak Ric meminta mengajari membuat martabak semua berubah. Nai merasa sikap Ric menjadi lebih manis. Tatapan cobranya tak lagi menusuknya hingga berdarah. Tatapan cobranya kini justru menebarkan bisa asmara. Hampir saja Nai terlena.

Bukan itu, Nai! Ingat umur! Ingat penampilanmu! Ingat bahwa kau dan dia lebih mencerminkan majikan dengan asisten rumah tangga bila disandingkan. Tidak mungkin pula seorang Ric yang rupawan menyukai perempuan cakil. Tidak mungkin Ric suka wanita yang umurnya lebih tua.

Nai kali ini menepuk-nepuk kepalanya. Ingin sekali dia melepas segala hal tentang Ric yang pernah mengisi hari dan benaknya. Cukuplah, satu kali dia merasa sakit teramat karena pria. Nai tak mau itu terulang.

Sejenak memori Nai terbang ke delapan tahun yang lalu. Tanpa terduga Pak Abu mengenalkan dia dengan seorang pria yang ingin menikahinya. Kaget campur senang. Selama tiga tahun ta’aruf baru kali ini ada pria yang bersedia meminangnya. Berbunga-bunga nian hati Nai. Apalagi pemuda yang mau dengannya cukup tampan. Sempat tidak percaya. Sempat buruk sangka apa pemuda itu sakit mata sehingga mau dengannya yang sungguh buruk rupa.

Pernikahan pun terjadi. Nai meninggalkan asrama lalu tinggal di rumah suami tercinta. Masa bulan madu yang senantiasa terangan manis menggurat rasa pahit tak berkesudahan. Tak tahan Nai berkonsultasi dengan Bu Abu. Akhirnya surat cerai terkantongi dan tersimpan rapi di laci meja kamar.

Rasanya Nai tidak mau mengulang perasaan sepihak yang berakhir dengan melukai harga dirinya. Ric yang indah tak pantas dia miliki sebagaimana Halim. Laki-laki berwajah biasa-biasa saja menolaknya terang-terangan apalagi mereka yang berwajah dewa.

Hanya pada teman kamarnya Nai mau bercerita tentang kegundahan hati, Cici. Seorang mahasiswi semester akhir. Seorang mahasiswi yang sedang mengerjakan skripsi dengan dibantu Nai. Seorang mahasiswi jurusan sosiologi yang tengah terlanda cinta sepihak pula. Keduanya merasa sehati. Saling menguatkan, saling mengingatkan.

“Tadi saya lihat ada Kak Ric,” kata Cici senyum-senyum menggoda. “Sudah ketemu?” Cici yang baru saja masuk kamar, meletakkan tas di salah satu meja yang penuh buku-buku. Mejanya sendiri tentu.

Kamar berukuran 4 x 4 meter itu terdiri dari dua buah lemari kecil yang diletakkan di tengah sebagai sekat dua ranjang lantai, ranjang tanpa kaki. Dua buah meja lesehan kecil duduk sejajar dengan ranjang masing-masing. Lantai kamar itu berkarpet sehingga nyaman dan hangat untuk lesehan.

“Sudah,” sahut Nai memancarkan aura merah. “Seharusnya dia tidak usah muncul lagi.”

“Serius? Nanti kangen.” Cici masih saja menggoda.

“Sebenarnya sudah mulai terbiasa tanpa kelebat bayangnya. Tapi malah nongol lagi. Jadi harus berjuang kembali mengusir dia dari kelopak mata.” Nai merebahkan tubuh di ranjang.

“Berat ya,” Cici melongok tetangga tempat tidur lalu selonjor bersandar di meja Nai.

“He-em,” Nai menerawang langi-langit.

“Mari kita berjuang bersama!” Cici mengepalkan dua tangannya depan dada.

“Tapi kamu masih mungkin Ci, aku pikir kalian sepadan. Kalau aku dan dia? Seperti...” Nai berpikir lama mencari perumpamaan yang pas dengan keadaan mereka.

“Seperti langit dan bumi?” Cici membantu mencari padanan.

Nai menggeleng. “Langit dan bumi itu justru pasangan yang serasi indahnya. Mereka tidak terpisahkan, meski tampak tak menyatu. Sementara kami, hmm, aku pikir kami seperti air dan minyak.”

“Haha...” Cici tertawa lepas sebelum tangannya menyumpal mulut yang menganga lebar. “Bisa saja, Kak Nai ini.”

“Air dan minyak tidak pernah bisa bersatu kan? Penampakan minyak di atas air pun tak bagus. Tentu kamu pernah melihat permukaan kolam, sungai, danau atau laut yang tercemar minyak. Bukankah terkesan menjijikkan. Bahkan air yang tercemar minyak tidak bisa layak pakai.”

“Jadi siapa yang minyak dan siapa yang berperan sebagai air.”

“Dia itu minyak, berkilau. Orang-orang selalu mendambanya.”

“Dan air, semua orang butuh air. Bisa jadi Kak Ric butuh air seperti Kak Nai, menghapus dahaga, melepas noda, memberi kehidupan bagi alam. Kalau Kak Nai membayangkan pencemaran air karena minyak. Aku lebih melihat pada sisi kilauan minyak pada sayur sop dari kaldu ayam atau sapi yang asli. Komposisi air dengan minyak dalam sop menjanjikan sensasi gurih, gimana gitu.”

“Kamu ngomong apa sih?” Nai tersenyum menarik selimut hingga ke dada. “Kita tidur yuk, sudah malam.”

Cici beranjak dengan enggan, menanggalkan kerudung yang masih dipakainya. Sebelum naik ke pembaringan, Cici membersihkan wajah.

“Kak, bisa tidak sih perempuan melamar laki-laki?” tanya Cici setelah lampu benderang padam berganti lampu remang.

“Entahlah, tapi setahuku Siti Khadijah yang melamar, dalam tanda kutip, Nabi Muhammad. Tentu saja karena Khadijah tahu benar Muhammad seorang pria yang baik.”

“Jadi boleh?”

“Kamu yakin Ridwan laki-laki baik?”

“Mungkin,”

“Sebaiknya jangan turuti nafsu mata saja. Menuruti hati saja. Kadang cinta itu perlu logika.”

“Baiklah, selamat tidur Kak.” Cici segera memeluk guling melingkar ke samping tembok.

Nai tak menjawab salam Cici, pikirannya telah melayang. Tak tentu kemana akan mendarat. Terombang-ambing kadang penuh harap, kadang lepas harap.

Hatinya hanya terus berkata, bukankah setiap manusia berhak mendapatkan cinta sesama. Lalu tak adakah seseorang yang bisa mencintainya tulus tanpa melihat wujud fisik semata.

Sabar, Nai. Cinta itu pasti akan datang. Entah esok atau lusa. Tentu dia pun telah menantikannya.

Untuk Ric, Nai sungguh berharap dia segera menemukan seorang wanita yang akan dinikahinya. Seorang wanita yang sepadan dengannya. Hingga hati yang telah keliru menerjemahkan perilaku dapat ikhlas menyematkan doa bagi kebahagian dia.

Nai terlalu lelah. Lelah merasai perasaan yang tidak seharusnya. Lelah menyukai seseorang yang tidak pantas dia suka, lelah mengharap sesuatu yang semu. Sungguh kelelahan yang tiada obat penyembuh selain mencoba hanya mengingat-Nya saja.

Malam yang tak pernah jemu menemani tubuh letih manusia akhirnya menenggelamkan jiwa penat Nai. Membawanya berkelana ke negeri antah berantah di mana cinta berdatangan tak terhalang aneka aturan manusia.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    @xies wkwkwk. keren kak idenya.

    btw mampir juga ya ke ceritaku, judul the story of four boys. ksi krisannya ya kak. trims ^^

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
  • xies

    @yurriansan nama martabaknya fiktif ^ ^
    Biar kayak nama martabak yang tenar.

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
  • yurriansan

    nama martabaknya unik, beneran ada kah martabak dengan merek itu?

    Comment on chapter Martabak Pwerto Rico
Similar Tags
Melodi Sendu di Malam Kelabu
3      3     0     
Inspirational
Malam pernah merebutmu dariku Ketika aku tak hentinya menunggumu Dengan kekhawatiranku yang mengganggu Kamu tetap saja pergi berlalu Hujan pernah menghadirkanmu kepadaku Melindungiku dengan nada yang tak sendu Menari-nari diiringi tarian syahdu Dipenuhi sejuta rindu yang beradu
RARANDREW
150      34     0     
Romance
Ayolah Rara ... berjalan kaki tidak akan membunuh dirimu melainkan membunuh kemalasan dan keangkuhanmu di atas mobil. Tapi rupanya suasana berandalan yang membuatku malas seribu alasan dengan canda dan godaannya yang menjengkelkan hati. Satu belokan lagi setelah melewati Stasiun Kereta Api. Diriku memperhatikan orang-orang yang berjalan berdua dengan pasangannya. Sedikit membuatku iri sekali. Me...
Kita
8      4     0     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'
Menuntut Rasa
271      222     3     
Short Story
Ini ceritaku bersama teman hidupku, Nadia. Kukira aku paham semuanya. Kukira aku tahu segalanya. Tapi ternyata aku jauh dari itu.
Renata Keyla
30      17     0     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
Anne\'s Daffodil
361      284     3     
Romance
A glimpse of her heart.
Anak Coklat
4      4     0     
Short Story
Alkisah seorang anak yang lahir dari sebatang coklat.
Kemana Perginya Ilalang
2      2     0     
Short Story
bukan hanya sekedar hamparan ilalang. ada sejuta mimpi dan harapan disana.
FORGIVE
7      5     0     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.
The Dumb Love
47      19     0     
Romance
Aku bukan cewek pendiam, namun jika bicara soal cinta, aku mendadak menjadi bisu. Aku; keturunan kampung yang mengharapkan seorang kota. Apa aku bisa mendapatkanmu?